F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Tiga Landasan Utama – 06 – Macam-macam Ibadah Bagian Kedua

Tiga Landasan Utama – 06 – Macam-macam Ibadah Bagian Kedua - AKADEMI BELAJAR ISLAM
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
📘 Tsalatsatul Ushul : ❝ Macam-macam Ibadah Bagian Kedua ❞
Dosen : Ustadz Beni Sarbeni, Lc, M.Pd Hafidzhahullah Ta'ala
🎧 Simak Audio 🎧

Macam-macam Ibadah Bagian Kedua


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد

Sahabat sekalian yang semoga senantiasa dimuliakan oleh Allah rabbul ‘alamin. Kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul (Tiga Landasan Utama). masih membahas tentang macam-macam ibadah. Bisa dibuka di halaman 16 yaitu Dalil

Khosyah dan Inabah Sebagai Ibadah.

Khosyah adalah rasa takut hampir sama maknanya dengan al-khauf, hanya saja khosyah itu rasa takut yang lebih tinggi, rasa takut yang dimiliki oleh ahli ilmu sebagaimana yang Allah subhanahuwata'ala firmankan dalam Surat Fatir: 28, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟
Sesungguhnya yang memiliki Khosyah (rasa takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hambanya hanyalah para ulama. (QS. Al-Fathir: 28)
Jadi, khosyah adalah rasa takut yang disertai dengan keilmuan, dia lebih tinggi daripada al-khouf. Kemudian yang kedua adalah inabah, inabah artinya kembali kepada Allah. Adapun hakikatnya, inabah itu adalah seseorang yang bertaubat kepada Allah dengan disertai pengamalan agama yang lebih baik daripada sebelumnya.

Jadi bisa dikatakan inabah itu “tobat plus”, karena kalau bertaubat yang penting memenuhi tiga syarat,
  • yang pertama dia menyesali perbuatan maksiat yang telah dia lakukan,
  • yang kedua adalah dia bertekad untuk tidak mengulanginya lagi,
  • yang ketiga dia tinggalkan perbuatan maksiat tersebut.
Ini tiga syarat taubat dan kalau ada hubungannya dengan manusia maka dia kembalikan hak orang lain atau dia meminta maaf kepada orang yang telah ia dzolimi.

Tiga atau empat syarat ini merupakan syarat taubat.

Adapun inabah adalah seseorang bertaubat dengan memenuhi syarat yang tadi plus dia tingkatkan pengamalannya terhadap agama ini, misalnya yang tadinya tidak pernah shalat malam, setelah dia berbuat maksiat kemudian dia taubat, dia tingkatkan lagi pengamalannya terhadap agama ini, maka yang seperti itu dinamakan inabah.

Khosyah dan inabah merupakan ibadah yang tidak boleh seseorang melakukannya kecuali kepada Allah rabbul ‘alamin. Dia tidak boleh takut kecuali kepada Allah subhanahuwata'ala, dia tidak boleh ber-inabah (kembali) kecuali karena Allah subhanahu wa ta'ala dan kepada Allah subhanahuwata'ala, karena khosyah dan inabah merupakan ibadah.

Jika ditanya mana dalilnya bahwasanya khosyah dan inabah merupakan ibadah? Penulis disini rahimahullah berkata,

وَدَلِيْلُ الْـخَشْيَةِ قَوْلُـهُ تَعَالَى :فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِى
Adapun dalil dari khasy`yah (rasa takut) adalah firman Allah subhanahuwata’ala (yang artinya), “Maka janganlah kamu merasa takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku (saja).” (QS. Al-Ba: 150)

Di sini Allah subhanahuwata’ala berfirman, “tetapi takutlah kepada-Ku saja”, jadi Allah memerintahkan kita untuk takut kepada Allah berarti takut kepada Allah adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah, jika demikian maka takut kepada Allah merupakan ibadah karena sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

Kemudian, selanjutnya mana dalil bahwasanya inabah itu merupakan ibadah? Penulis rahimahullah berkata,

وَدَلِيْلُ الْإِنَابَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى :وَأَنِيبُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا۟ لَهُ
Dan dalil dari inabah (kembali kepada Allah) adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian, dan berserah dirilah kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 54)
Di sini Allah memerintahkan kita untuk berinabah, untuk kembali kepada Allah, bukan kembali kepada selain Allah tapi kepada Allah rabbul ‘alamin, menunjukkan bahwa inabah merupakan ibadah yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang kecuali kepada Allah dan untuk Allah rabbul ‘alamin.


Kemudian, selanjutnya adalah

Isti’anah (memohon pertolongan) Adalah Ibadah.

Jadi, memohon pertolongan adalah bagian daripada ibadah. Penulis rahimahullah berkata,

وَدَلِيْلُ الْاسْتِعَانَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى : إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Adapun dalil isti’anah bahwasanya isti’anah (memohon pertolongan) itu bagian daripada ibadah adalah Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Fatihah: 5,“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah:5)
Hanya kepadamu”, menunjukkan bahwa isti’anah (memohon pertolongan) adalah ibadah. Karena itu baginda Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang beliau sampaikan kepada Sahabat yang mulia Abdullah Ibnu Abbas yang pada waktu itu masih kecil, Nabi bersabda,

إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
Jika engkau meminta —meminta pertolongan— maka mintalah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. (Shahih: HR. Tirmidzi)
Pada asalnya kita tidak boleh meminta pertolongan kepada siapapun, tidak boleh pada asalnya, kita memohon atau meminta pertolongan hanya kepada Allah rabbul ‘alamin.

Lalu apakah boleh kita memohon pertolongan kepada makhluk atau kepada manusia? Boleh jika memenuhi syaratnya,
  1. pertama syaratnya meminta pertolongan kepada makhluk adalah dalam perkara yang pada asalnya mampu dilakukan oleh makhluk, misalnya kita minta pertolongan kepada seseorang, “Tolong dong ambilkan embernya”, “Tolong dong perbaiki motornya”, dalam hal yang pada asalnya makhluk bisa melakukan maka itu boleh.
  2. Yang kedua di antara syaratnya adalah tidak boleh meminta pertolongan kepada seseorang yang telah wafat, tidak boleh. Karena orang yang sudah meninggal tidak bisa melakukan apapun, dan tidaklah seseorang meminta pertolongan kepada orang yang telah wafat kecuali ada keyakinan bahwa orang yang wafat ini memiliki kekhususan tertentu, nah disini bahayanya.
Karena itulah Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada baginda Nabi shallallahu’ alaihi wasallam,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, engkau akan mati dan sesungguhnya mereka pun akan mati. (QS. Az-Zumar: 30)
Jadi tidak boleh minta pertolongan kepada orang yang telah wafat atau menjadikan orang yang telah wafat sebagai wasilah, sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, tidak boleh! Bahkan itulah perbuatan syirik yang dilakukan oleh kaum jahiliyah. Jadi, kalau kita hendak memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah rabbul ‘alamin.

Baca juga dua artikel lama berikut tentang poin ini
Kemudian ibadah selanjutnya adalah

Isti'adzah (memohon perlindungan) Adalah Ibadah

Penulis rahimahullah berkata,

وَدَلِيْلُ الْاِسْتِعَاذَةِ قَوْلُـهُ تَعَالَى : قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلْفَلَقِ
Adapun dalil bahwasanya istiadath (memohon perlindungan) itu adalah ibadah, firman Allah subhanahu wata'ala, “Katakanlah olehmu, Muhammad,’Aku berlindung kepada Allah yang menguasai subuh’.” (QS. Al-Falaq: 1)
Kemudian dalam surah An-Nas,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ
Katakanlah olehmu, Muhammad, ‘Aku berlindung kepada Rabb (Tuhan) yang menguasai manusia. (QS. An-Nas: 1)
Nabi diperintahkan untuk berlindung kepada Allah rabbul ‘alamin, berarti memohon perlindungan adalah bagian daripada ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah rabbul ‘alamin. Tidak boleh kita memohon pertolongan kepada jin atau memohon pertolongan dengan mengatakan, “Wahai penguasa tempat ini, lindungi aku” seperti itu tidak boleh. Sekali lagi, memohon perlindungan adalah ibadah, oleh karena itu tidak boleh kita memohon perlindungan kecuali kepada Allah rabbul ‘alamin.


Kemudian ibadah yang selanjutnya adalah

Istighotsah Adalah Ibadah

Istighotsah maknanya hampir sama dengan isti’anah yaitu memohon pertolongan, hanya saja istighotsah adalah memohon pertolongan di waktu yang sangat sempit (darurat) itulah Istighotsah.

Jadi, istighotsah adalah memohon pertolongan di waktu atau dalam kesempatan yang sangat sempit dan sangat membutuhkan.

Penulis rahimahullah berkata,

وَدَلِيْلُ الْاسْتِغَاثَـةِ قَوْلُـهُ تَعَالَى : إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَٱسْتَجَابَ لَكُمْ
Dan dalil dari istighosah (memohon pertolongan saat sulit) adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika kalian ber-istighotsah (memohon pertolongan) kepada Rabb kalian, lalu diperkenankan-Nya bagi kalian.” (QS. Al-Anfal: 9)
Ini ayat menjelaskan tentang kejadian ketika Perang Badar ketika kaum Muslimin dalam keadaan sempit dengan jumlah pasukan yang sangat sedikit, sementara musuh dalam jumlah yang sangat banyak, lalu kaum muslimin beristighotsah kepada Allah rabbul ‘alamin.


Kemudian di antara macam ibadah adalah

Menyembelih Adalah Ibadah

Menyembelih itu ibadah, maka tidak boleh seseorang menyembelih dengan niat sebagai pengorbanan kepada jin atau sembelihannya untuk sesajen, tidak boleh! Karena menyembelih adalah ibadah sebagaimana yang Allah subhanahuwata'ala firmankan dalam Surat Al An'am: 162

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’am:162)
Karena itu tidak boleh seseorang menyembelih dengan niat sebagai pengorbanan dia untuk leluhur, misalnya, untuk jin, untuk apa saja kecuali untuk Allah rabbul ‘alamin. Dan ketika menyembelih dia harus membaca “Bismillah”, adapun ketika seseorang menyembelih tanpa membaca “Bismillah” maka sesembelihannya menjadi bangkai yang haram dimakan. Oleh karena itu dalam Surat Al-An'am ayat 118, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

فَكُلُوا۟ مِمَّا ذُكِرَ ٱسْمُ ٱللَّهِ عَلَيْهِ
Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (QS. Al-An’am:118)

Selanjutnya yang termasuk ibadah adalah

Nadzar Adalah Ibadah

Nadzar itu adalah ucapan seseorang untuk melakukan salah satu bentuk ibadah, ucapan seseorang dimana dalam ucapan tersebut ada janji bahwa dia akan melakukan salah satu bentuk ibadah. Misalnya seseorang berkata, “aku bernadzar bulan depan aku akan puasa selama tiga hari” nah itu namanya nadzar, dan memenuhi nadzar itu wajib.

Jadi kalau seseorang sudah bernadzar maka dia wajib untuk memenuhinya. Nadzar itu ibadah, maka tidak boleh seseorang bernadzar kecuali untuk Allah rabbul ‘alamin, tidak boleh seseorang bernadzar karena wali atau karena seseorang yang sudah meninggal, tidak boleh! Nadzar hanya untuk Allah rabbul ‘alamin karena nadzar adalah ibadah.

Oleh karena itu Allah subhanahu wata'ala memuji orang-orang yang memenuhi nadzarnya sebagaimana yang Allah subhanahuwata'ala firmankan dalam Surat Al-Insan,

وَدَلِيْلُ النَّذْرِ قَوْلُـهُ تَعَالَى :يُوفُونَ بِٱلنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُۥ مُسْتَطِيرًا
Mereka menunaikan Nadzar dan takut akan suatu hari yang atapnya merata di mana-mana.(QS, Al Insan: 7)
Itu di antara sifat orang-orang yang terpuji jadi hukum menunaikan Nazar adalah wajib, adapun hukum bernadzar itu sendiri maka nadzar terbagi menjadi dua:
  1. Nadzar Mutlak, yaitu seseorang bernadzar tanpa ada embel-embel, misalnya seseorang mengatakan, “Wajib atas saya puasa selama 3 hari di bulan depan” itu namanya Nadzar Mutlak, tidak masalah seseorang mengucapkan seperti itu.
  2. Nadzar Muqayyad, yaitu nadzar yang dikaitkan dengan sesuatu, misalnya seseorang berkata, “Wajib atas saya puasa selama 3 hari bulan depan kalau saya lulus” itu ada kalimat, “kalau saya lulus”. Nadzar yang seperti ini hukumnya makruh walaupun menunaikannya wajib. Mengucapkannya makruh tapi menunaikannya kalau dia sudah bernadzar itu hukumnya adalah wajib.

Demikianlah sebagian contoh ibadah yang dibawakan oleh penulis. Dan ibadah itu sebagaimana definisi yang pernah saya sampaikan di antara macamnya adalah ibadah hati, dan ibadah hati ini adalah ibadah yang paling sulit dibandingkan dengan ibadah anggota badan.

Karena itu di antara doa yang sering kali dibacakan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu. (HR. Tirmidzi)
Tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu” ini menunjukkan bahwa hati bisa saja keluar dari Islam, na’udzubillah tsumma na’udzubillahi min dzalik .

Baik, demikian para jamaah sekalian, semoga bermanfaat

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.