F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Tiga Landasan Utama – 02 – Perkara yang Wajib Dipelajari Seorang Muslim

Tiga Landasan Utama – 02 – Perkara yang Wajib Dipelajari Seorang Muslim - AKADEMI BELAJAR ISLAM
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
📘 Tsalatsatul Ushul : ❝ PERKARA YANG WAJIB DIPELAJARI SEORANG MUSLIM❞
Dosen : Ustadz Beni Sarbeni, Lc, M.Pd Hafidzhahullah Ta'ala
🎧 Simak Audio 🎧

Perkara yang Wajib Dipelajari Seorang Muslim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, washolatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala ‘alihi wa ashabihi wa mau walah ‘amma ba’du

Sahabat sekalian yang semoga senantiasa dimuliakan oleh Allah rabbul ‘alamin. Kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul (Tiga Landasan Utama).

Sebelumnya sudah kita bahas tentang pola hidup Muslim, bahwa seorang Muslim harus berilmu, kemudian ilmunya harus diamalkan, kemudian dia pun harus berdakwah, minimal dakwah itu kepada keluarga sebagaimana yang Allah firmankan,

قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka. (QS. At-Tahrim: 6)
Dan yang keempat adalah harus bersabar, baik sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam mengamalkannya, maupun sabar dalam mendakwahkan ilmu. Generasi yang memenuhi empat perkara ini disebut dengan generasi rabbani.

Kita lanjutkan bagian yang kedua, tentang Tiga Perkara Yang Wajib Dipelajari. Tiga perkara ini merupakan dasar-dasar dalam ilmu tauhid.

Penulis rahimahullah berkata,

اِعْلَمْ رَحِمَكَ اللهُ ، أَنَّـهُ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ تَعَلُّمُ ثَلَاثِ هـٰذِهِ الْمَسَائِلِ وَالْعَمَلُ بِـهِنَّ .
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari ketiga masalah berikut dan mengamalkannya.
Jadi, ini sifatnya fardhu ‘ain, yaitu kewajiban yang ditetapkan atas setiap Muslim laki-laki maupun perempuan. Baik, tiga perkara ini apa saja?

Perkara Pertama, Bahwasanya Allah telah menciptakan kita serta memberikan rizki, dan Allah tidak meninggalkan kita begitu saja. Akan tetapi, Allah mengutus seorang Rasul kepada kita; siapa saja yang mentaatinya, niscaya ia masuk Surga; dan siapa saja yang bermaksiat kepadanya, niscaya ia masuk Neraka.

Penulis berkata,

الْأُولَى : أَنَّ اللهَ خَلَقَنَا وَرَزَقَنَا ، وَلَـمْ يَتْرُكْنَا هَمَلًا ، بَلْ أَرْسَلَ إِلَيْنَا رَسُوْلًا ، فَمَنْ أَطَاعَهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَاهُ دَخَلَ النَّارَ .

Pertama: Bahwasanya Allah telah menciptakan kita serta memberikan rizki, dan Allah tidak meninggalkan kita begitu saja. Akan tetapi, Allah mengutus seorang Rasul kepada kita; siapa saja yang mentaatinya, niscaya ia masuk Surga; dan siapa saja yang bermaksiat kepadanya, niscaya ia masuk Neraka.

Dalam perkara pertama ini ada beberapa faidah. Mohon diperhatikan dengan baik.

Faidah pertama dari kata,


أَنَّ اللهَ خَلَقَنَا وَرَزَقَنَا
Bahwa Allah yang telah menciptakan kita dan telah memberikan kepada kita rizki.
Ini sesuatu yang diyakini oleh seluruh makhluk secara fitrah, bahwa kita mengakui Allah-lah yang Mahakuasa, yang telah menciptakan kita, mengurus kita, dan Allah-lah yang memiliki kita. Yang dalam ilmu tauhid disebut dengan Tauhid Rububiyah, keyakinan bahwa hanya Allah yang menciptakan kita, yang memiliki kita dan yang mengatur kita.

Kemudian faidah yang kedua dari kata,

وَلَـمْ يَتْرُكْنَا هَمَلًا
Allah tidak meninggalkan kita begitu saja.
Tidak meninggalkan kita begitu saja” di sini ada dua artinya, Allah subhanahu wa ta'ala menciptakan kita dengan tujuan yang jelas, ini makna yang pertamanya bahwa Allah menciptakan kita dengan tujuan yang jelas, yaitu ibadah. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Surat Adz-Dzariyat,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku (mentauhidkan-Ku). (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Makna yang kedua artinya, ketika Allah menciptakan kita dengan tujuan yang jelas -yaitu ibadah- Allah tidak begitu saja meninggalkan kita, akan tetapi Allah mengutus kepada kita seorang Rasul yang membimbing kita bagaimana beribadah kepada-Nya (Allah subhanhu wa ta’ala). Karena itu kalimat selanjutnya,

بَلْ أَرْسَلَ إِلَيْنَا رَسُوْلًا
Akan tetapi, Allah mengutus seorang Rasul kepada kita.
وَلَـمْ يَتْرُكْنَا هَمَلًا, Allah menciptakan kita dengan tujuan yang jelas yaitu ibadah. وَلَـمْ يَتْرُكْنَا هَمَلًا , juga bermakna, Allah subhanahu wa ta'ala mengutus seorang Rasul yang membimbing kita dalam beribadah kepada-Nya.

Faidah yang ketiga dari kata,

فَمَنْ أَطَاعَهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَاهُ دَخَلَ النَّارَ
Siapa saja yang mentaatinya, niscaya ia masuk Surga; dan siapa saja yang bermaksiat kepadanya, niscaya ia masuk Neraka.
Ini berkaitan dengan Manhaj atau cara kita dalam beragama. Bahwa dalam beragama di antara cara kita (manhaj kita) dalam beragama adalah taat kepada Rasul. Maka barangsiapa yang taat kepada Rasul, dia masuk surga. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Rasul, dia masuk neraka. Begitu saja, sederhana dalam beragama.

Kemudian penulis membawakan dalil tentang apa yang beliau sampaikan tadi, terutama terkait dengan Manhaj, yaitu cara kita beragama. Dalam beragama kita taat kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam. Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka dia masuk surga. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Rasul, maka dia masuk neraka.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

إِنَّآ أَرْسَلْنَآ إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَٰهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَآ أَرْسَلْنَآ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًا
Sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul (yaitu Muhammad) kepada kamu (wahai orang kafir Makkah), yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami (Allah) telah mengutus seorang Rasul kepada Fir´aun. Kemudian Fir´aun mendurhakai Rasul itu (Musa ‘alaihisalam), maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat.
Jadi, taat kepada Rasul menjadikan seseorang itu selamat, sedangkan bermaksiat kepada Rasul menjadikan seseorang itu celaka. Karena itu dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi sasallam bersabda,

كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل ومن يأبى يا رسول الله؟! قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan untuk masuk surga”. Ada seseorang yang bertanya, “siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga”
Ini perkara pertama yang wajib dipelajari oleh setiap muslim dan wajib diamalkan. Baca juga artikel Tiga Landasan Utama – a – Tiga Perkara Yang Wajib Dipelajari Bagian 1 ( DASAR-DASAR TAUHID ) - Belajar Islam BIS

Perkara Kedua, Bahwasanya Allah subhanahu wata’ala tidak ridha apabila Dia disekutukan dengan sesuatu apapun dalam ibadah kepada-Nya, tidak dengan Malaikat yang dekat (dengan Allah), tidak pula dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul.

Penulis berkata,

الثَّانِيَةُ : أَنَّ الله لَا يَرْضَى أَنْ يُشْرَكَ مَعَهُ أَحَدٌ فِـيْ عِبَادَتِهِ ، لَا مَلَكٌ مُقَرَّبٌ ، وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ .

Kedua: Bahwasanya Allah subhanahu wata’ala tidak ridha apabila Dia disekutukan dengan sesuatu apapun dalam ibadah kepada-Nya, tidak dengan Malaikat yang dekat (dengan Allah), tidak pula dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul.

Ini perkara yang kedua yang wajib dipelajari dan diamalkan. Kalau perkara yang pertama berkaitan dengan Tauhid Rububiyah maka yang kedua ini berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah, yaitu kewajiban beribadah hanya kepada Allah saja. Dan itu pula yang menjadi tujuan Allah menciptakan jin dan manusia sebagaimana yang tadi saya sebutkan dalilnya, yaitu Surat Adz-Dzariyat Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku (mentauhidkan-Ku). (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Di poin yang kedua ini, penulis menyampaikan kepada kita bahwa perkara yang paling dibenci oleh Allah subhanahu wa ta'ala adalah as-syirku, menyekutukan Allah dalam Ibadah. Dalam pernyataannya penulis mengatakan “Allah tidak ridha disekutukan dengan sesuatu apapun”, seolah-olah yang yang tidak diridhai oleh Allah hanya perkara syirik saja, padahal yang tidak diridhai oleh Allah termasuk di dalamnya adalah maksiat walaupun itu bukan kesyirikan, hanya saja ini menunjukkan bahwa perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah kesyirikan. Bahkan dalam Surat An-Nisa ayat 116 Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala tidak akan mengampuni dosa syirik. Tidak akan. Artinya kalau seseorang meninggal dalam keadaan membawa dosa syirik, maka Allah tidak akan mengampuninya. Dan Allah akan mengampuni selain syirik bagi siapa saja yang Allah kehendaki, artinya kalau seseorang mati dalam keadaan membawa dosa, walaupun dia tidak tobat sebelum matinya, akan tetapi masih ada kemungkinan Allah memaafkannya jika Allah menghendaki. Berbeda dengan dosa syirik, pasti Allah tidak akan mengampuninya.
Kemudian kata penulis, Allah tidak ridha disekutukan walaupun disekutukan dengan Malaikat yang dekat dengan Allah (Malaikat Jibril), tidak pula ridha disekutukan dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul —karena setiap Rasul pasti Nabi, tetapi tidak setiap Nabi itu Rasul. Artinya, Allah tidak ridha disekutukan dengan siapapun walaupun dengan semulia-mulianya makhluk, sedekat-dekatnya makhluk dengan Allah subhanahu wata'ala. Apalagi jika Allah disekutukan dengan batu, disekutukan dengan pohon, disekutukan dengan apa saja, Allah subhanahu wata'ala tidak ridha. Karena itu Muadz bin Jabal radhiyallahu ta'ala ‘anhu pernah ditanya oleh Rasul shallallahu’alaihi wasallam,

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.
Wahai Mu’âdz! Tahukah kamu apakah hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apakah hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allâh?’ Aku menjawab, ‘Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâh ialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’
Kemudian penulis membawakan dalilnya, yaitu Surat Al-Jin ayat 18, di mana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

وَأَنَّ ٱلْمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدًا
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya bersamaan menyembah Allah.
Yang menjadi dalil di sini adalah kalimat فَلَا تَدْعُوا۟, janganlah kalian beribadah bersamaan dengan Allah dan kepada seorang pun. Jangan kalian menyekutukan Allah dalam ibadah. Oleh karena itu di antara faidah yang paling penting, bahwa wajib bagi kita mengetahui macam-macam kesyirikan —bukan untuk melakukannya tapi untuk menghindarinya— karena itu adalah perkara yang paling dibenci oleh Allah rabbul ‘alamin.

Perkara Ketiga, Bahwasanya siapa saja yang taat kepada Rasulullah (sebagaimana disampaikan pada poin pertama) dan mentauhidkan Allah (sebagaimana dalam poin kedua), maka tidak boleh baginya bersikap loyal kepada siapa saja yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun ia adalah sedekat-dekatnya kerabat

Penulis berkata,

الثَّالِثَةُ : أَنَّ مَنْ أَطَاعَ الرَّسُوْلَ وَوَحَّدَ اللهَ ، لَا يَجُوْزُ لَـهُ مُوَالَاةُ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُوْلَـهُ ، وَلَوْ كَانَ أَقْرَبَ قَرِيْبٍ .

Ketiga: Bahwasanya siapa saja yang taat kepada Rasulullah (sebagaimana disampaikan pada poin pertama) dan mentauhidkan Allah (sebagaimana dalam poin kedua), maka tidak boleh baginya bersikap loyal kepada siapa saja yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun ia adalah sedekat-dekatnya kerabat.

Dalam Perkara Ketiga ini, penulis ingin menjelaskan bahwa di antara konsekuensi taat kita kepada Rasul dan di antara konsekuensi mentauhidkan Allah adalah kita berlepas diri dari setiap orang kafir, tidak boleh seorang muslim memberikan loyalitas kepada orang kafir, ini hukum asalnya walaupun dia adalah sedekat-dekatnya kerabat. Di antara dalilnya, penulis membawakan Surah Al-Mujadilah, Allah berfirman,

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Engkau (wahai Muhammad) tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka sendiri.
Jadi, konsekuensi keimanan kita kepada Allah dan hari akhir adalah kita berlepas diri dari orang-orang kafir, dari orang-orang yang melakukan kekufuran, dari orang-orang yang melakukan kesyirikan. Karena itu nanti penulis akan membawakan definisi Islam, bahwa di antara konsekuensi keislaman seseorang adalah البراءة من الشرك وأهله, berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.

Loyalitas kepada orang kafir itu kalau dirinci menjadi beberapa bagian, di antaranya,

A. Memberikan loyalitas kepada orang kafir atau orang musyrik yang bisa menjadikan pelakunya juga kafir atau keluar dari Islam.

Bagian yang pertama ini loyalitas yang merupakan kekufuran, yaitu memberikan loyalitas kepada orang kafir karena agama mereka, karena keyakinan mereka, sementara kewajiban kita adalah menyatakan kebatilan akan sebuah kekufuran, kebatilan akan sebuah kesyirikan. Nah, yang pertama ini, dia malah memberikan loyalitas kepada orang kafir karena kekufuran mereka, karena kesyirikan mereka, ini masuk ke dalam kekufuran juga, maka pelakunya bisa keluar dari Islam. Karena itu sikap kita dalam beragama ini terhadap orang-orang kafir adalah لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ, “Bagi kalian agama kalian, bagiku Agamaku”, harus tegas! Tidak boleh campur-campur dalam masalah agama.

B. Memberikan loyalitas kepada orang kafir karena tujuan dunia,

Bangga akan orang kafir karena perkara dunianya, misalnya mencintai seorang pemain sepak bola yang kafir, tentunya bukan karena agamanya tapi karena perkara dunianya, karena keahliannya dalam bermain sepak bola, ini masuknya ke dalam dosa besar.

C. Loyalitas kepada orang kafir yang dikecualikan. Maksudnya, yang dikecualikan dari hukum asal (diperbolehkan),

Yaitu memberikan loyalitas kepada mereka yang memang itu dibolehkan dalam agama, misalnya mencintai orang tua atau berbakti kepada orang tua yang non-muslim, ini diperbolehkan karena memang Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kita untuk berbakti kepada mereka sebagaimana yang Allah subhanahu wata'ala firmankan,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan ketika kedua orang tua memaksa kamu agar kamu menyekutukan-Ku yang tentunya tidak ada ilmu”, artinya setiap kesyirikan itu tidak ada dasarnya, tidak ada alasannya, maka kata Allah, “maka janganlah kau ta’ati mereka berdua” kemudian, “dan perlakukanlah mereka di dunia ini secara ma'ruf (dengan baik)”. (QS. Lukman: 15)
Kewajiban berlepas diri kepada orang-orang kafir itu bukan berarti menafikan (melarang) kita berbuat baik kepada mereka. Mereka punya hak untuk kita berbuat baik dalam batasan-batasan tertentu sebagai muamalah kita sehari-hari. Misalnya ketika dia adalah tetangga kita, maka tidak boleh seorang Muslim menyakiti tetangganya walaupun dia non-muslim. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

من كان يؤمن بالله واليومِ الآخر فلا يؤذ جاره
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menyakiti tetangganya. (HR. Bukhori dan Muslim)
Nabi —shallallahu’alaihi wasallam— mengatakan disini “tetangganya”, tidak membatasi apakah yang muslim atau non-muslim. Bahkan dalam hadits yang sama, Nabi —shallallahu’alaihi wasallam— bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya. —Walaupun dia adalah non-muslim. (HR. Bukhori dan Muslim)
Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. (QS. al Mumtahanah: 8)
Oleh karena itu dalam kajian ilmu fiqih seorang kafir itu terbagi menjadi tiga;
  1. Orang kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi) kafir yang hidup secara damai bersama kita di negeri ini
  2. Orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd) kafir yang memohon perlindungan keamanan
  3. Orang kafir harbi (al-muhâribîn)
Untuk dua kafir adz-dzimmi dan ahlu al-‘ahd tidak boleh kita menyakiti mereka bahkan kita diperbolehkan untuk berbuat baik kepada mereka.

Adapun yang harbi, nah inilah yang memang kita wajib juga memerangi mereka yaitu orang-orang kafir yang memerangi kita atau mengusir kita dari negeri kita

Baca juga artikel lama belajar islam tentang perkara ketiga ini pada link Tiga Landasan Utama – c – Tiga Perkara Yang Wajib Dipelajari Bagian 3 ( DASAR-DASAR TAUHID )

Demikianlah para jamaah sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul alamin, semoga bermanfaat. Mohon diperhatikan secara seksama, jika ada sesuatu yang kurang dipahami bisa ditanyakan nanti insya Allah.

semoga bermanfaat, wallahualam

wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.