F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-215 Laqith Barang Temuan berupa Anak Manusia Bag. 02

Audio ke-215 Laqith Barang Temuan berupa Anak Manusia Bag. 02
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 15 Jumadal Akhirah 1446H | 16 Desember 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-215
https://drive.google.com/file/d/1Sm6bcBLb7bcHV7HbJXu1E-gjV5TCigSz/view?usp=sharing

Laqith Barang Temuan berupa Anak Manusia Bagian Kedua


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama Bab Al-Luqathah (اللقطة).

Kali ini Al-Imam Al-Muallif (Imam Abu Syuja') rahimahullāhu ta'āla, mengajak kita untuk berbicara tentang barang temuan spesial yaitu barang temuan berupa anak manusia atau yang disebut dengan Laqith (لقيط).

Al-Muallif rahimahullāhu ta'āla, mengatakan:

ولا يقر إلا في يد أمين

Namun ada suatu hal yang perlu digarisbawahi siapapun yang menemukan anak kecil, terancam dalam bahaya yang anak itu tersesat atau dibuang oleh orang tuanya, maka dia wajib menyelamatkan. Siapapun dia, dia orang yang ahli ibadah atau mungkin dia pelaku dosa, pelaku maksiat, dia berkewajiban untuk menyelamatkannya, tidak boleh membiarkan anak itu celaka.

Namun setelah anak itu selamat, maka anak tersebut dalam Islam tidak boleh dibiarkan dirawat oleh orang yang agamanya bejat, oleh orang yang agamanya rusak.

Kenapa? Karena membiarkan anak tersebut berada di tangan orang yang fasik, pelaku dosa (maksiat) bisa jadi anak itu nanti dijual sebagai budak, atau anak tersebut dieksploitasi seksual, tentu tidak benar seperti itu.

Karena tujuan menyelamatkan nyawa bukan berarti selesai tanggung jawab kita, kita punya kewajiban apa? Juga menyelamatkan moral, menyelamatkan agamanya. Sehingga campur tangan pemerintah dalam hal ini penting, ketika terbukti bahwa yang menyelamatkannya adalah orang yang fasik, orang yang agamanya rusak.

Maka Islam mewajibkan kepada pemerintah untuk intervensi dan kemudian memungut atau menarik anak tersebut untuk dipercayakan kepada orang yang mampu mendidiknya, merawatnya agar dia bermoral, agar dia beragama, bertakwa kepada Allāh Azza wa Jalla.

فإن وجد معه مال أنفق عليه الحاكم منه

Dan kalau ternyata anak tersebut ditemukan dengan membawa sejumlah harta, maka harta tersebut harus dibawah penguasaan, harus dibawah kontrol pemerintah, agar tidak menjadi rebutan, agar tidak dieksploitasi hartanya.

Sehingga pemerintah dalam hal ini (hakim) pemerintah setempat, bukan hanya berkewajiban menyelamatkan nyawanya, tetapi juga berkewajiban menyelamatkan hartanya.

Kenapa? Karena dua-duanya adalah sesuatu yang muhtaram, jiwanya adalah jiwa yang dilindungi, hartanya juga harta yang dilindungi. Tidak boleh diambil, tidak boleh digunakan tidak boleh ditelantarkan, tanpa alasan yang dibenarkan.

Sehingga kalau (memang) dikhawatirkan hartanya itu akan dirampas, diambil oleh orang, maka hakim (pemerintah) dalam hal ini berkewajiban menyelamatkannya dengan mengelola harta anak tersebut, dikelola oleh Baitulmaal atau ditunjuk orang yang dipercaya oleh pemerintah untuk mengelola hartanya dan kemudian membelanjakannya demi kepentingan anak tersebut.

Serupa dengan barang temuan lainnya, tidak serta merta boleh diambil, bahkan keberadaan harta itu bersama anak itu sudah menjadi bukti otentik bahwa harta itu adalah milik anak tersebut.

Sehingga keberadaan harta ini tidak dianggap sebagai Al-Luqathah (اللقطة) karena barang tersebut bukan barang temuan, tetapi barang tersebut terbukti secara meyakinkan ada data yang kuat yaitu keberadaan harta itu bersama anak, itu cukup sebagai bukti bahwa itu adalah harta milik anak tersebut. Baik dia dapat melalui warisan atau hibah atau yang lainnya.

Intinya keberadaan harta itu di tangan anak ini, ini sebagai bukti yang valid (meyakinkan) secara syari'at bahwa itu adalah harta anak, sehingga ini tidak berlaku padanya hukum Al-Luqathah (اللقطة). Tidak berlaku hukum barang temuan tetapi itu sah, dianggap sah menjadi harta milik anak tersebut sehingga hanya boleh digunakan untuk keperluan si anak temuan itu.

Dan kalau ternyata hartanya tidak cukup atau dia ditemukan dalam kondisi tidak memiliki harta maka kewajiban Baitulmaal, kewajiban negara untuk membiayainya. Kalau di negara kita mungkin ini adalah kewajiban dari dinas sosial untuk menyelamatkan, mendidik, dan merawat anak tersebut.

وإن لم يوجد معه مال فنفقته في بيت المال.

Dan kalau ternyata anak tersebut ditemukan tanpa membawa sedikitpun kekayaan atau harta, bahkan bisa jadi ditemukan tanpa sehelai kainpun yang membungkus badannya. Maka biaya untuk mendidik, merawat, membesarkan anak tersebut ditanggung oleh Baitulmaal, oleh negara, oleh kas negara.

Kalau di negara kita tentu ini adalah merupakan peran dari dinas sosial, dinas sosial berkewajiban untuk menitipkan anak tersebut di panti asuhan-panti asuhan milik pemerintah, sehingga didanai, dibiayai dari anggaran dinas sosial.

(Tentu itu) itulah konteks Baitulmaal di zaman sekarang atau di negeri kita saat ini, sehingga tidak ada alasan bagi siapapun, pejabat atau yang lainnya untuk mengatakan tidak ada anggarannya. Ada atau tidak ada, maka tanggung jawab pemerintah untuk menanggung kehidupan anak tersebut tidak boleh membiarkannya celaka. Karena memang inilah fungsi negara.

Dalam kondisi semacam inilah kehadiran pemerintah itu dibutuhkan, sehingga seperti kata Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika beliau menjelaskan konteks sebuah negara. Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

من مات وترك مالاً فماله لِوَرثَتِه

Siapa pun yang meninggal dunia dalam kondisi meninggalkan harta kekayaan maka kekayaan itu menjadi milik ahli warisnya.

Namun ketika seseorang meninggal dunia,

و من مات وعليه دين

Siapapun yang mati dalam kondisi menanggung utang tidak meninggalkan aset atau harta yang bisa digunakan untuk melunasi utangnya.

Maka kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

فعلَيَّ قضاؤُهُ

Maka tanggung jawab melunasi utang tersebut adalah tanggung jawabku (kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Itu adalah tanggung jawabku, dan kemudian para ulama seperti Imam Al-Mawardi dan yang lainnya menjelaskan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,

فعلَيَّ قضاؤُهُ

Kami atau Aku yang akan menanggungnya (membayarnya).

Itu dalam konteks beliau sebagai pemimpin umat Islam, sehingga kewajiban ini akan berpindah kepada seluruh pemimpin atau setiap pemimpin di setiap masa di setiap daerah.

Sehingga tanggung jawab negara ketika ada rakyatnya yang meninggal dunia atau hidup tanpa memiliki apapun, maka itu tanggung jawab negara untuk membiayainya. Sampai pun kalau dia mati dalam kondisi meninggalkan utang yang belum terbayar, padahal dia tidak lagi memiliki aset yang bisa digunakan untuk melunasi utangnya.

Maka seharusnya utang-utang tersebut ditanggung dan dilunasi oleh negara. Ini tentu satu konteks yang luar biasa dari indahnya konsep negara dalam Islam.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla membuka pintu hati para pemimpin kita, untuk bisa menerapkan konsep yang diajarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini.

و من مات وعليه دين فعلَيَّ قضاؤُهُ

Siapapun mati dalam kondisi meninggalkan utang, maka utang itu Aku yang akan melunasinya.

Subhānallāh. Ini adalah satu tuntunan syari'at yang begitu indah.

Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia kali ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق والهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.