F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-211 Luqothoh Barang Temuan Bag. 07

Audio ke-211 Luqothoh Barang Temuan Bag. 07
🗓 SELASA | 9 Jumadal Akhirah 1446H | 10 Desember 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-211
https://drive.google.com/file/d/1L_-H-2nCdZz9QMugtRrnzlsSO6SgwQWz/view?usp=sharing

Luqothoh Barang Temuan Bagian Ketujuh


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama pembahasan tentang Al-Luqothoh (اللقطة) atau Barang Temuan.

Al Imam Abu Syuja’, setelah menjelaskan tentang hukum mengambil barang temuan bahwa itu kalau anda merasa yakin memiliki praduga kuat mampu menyimpannya dan kemudian mengumumkannya maka anda dianjurkan untuk mengambilnya.

Dan bahkan bila anda memiliki praduga kuat bahwa hanya anda yang bisa. Kalau tidak anda ambil maka barang itu akan diambil oleh orang yang berkhianat. Maka bisa sampai pada level wajib hukumnya untuk memungut. Karena itu bentuk dari ta'awun (tolong-menolong) untuk menyelamatkan harta saudara anda.

Dan sebelumnya juga telah disampaikan bahwa setelah anda mengambil barang tersebut, anda diwajibkan untuk mengenali ciri-ciri barang tersebut untuk dijadikan sebagai alat untuk menguji (memverifikasi) siapa saja yang datang dan mengaku bahwa dia adalah pemilik barang tersebut.

Kalau dia bisa menyebutkan kriteria barang itu dengan tepat maka itu cukup sebagai bukti yang dengannya anda dibolehkan untuk menyerahkan barang itu kepada orang yang bisa menyebutkan kriteria-kriteria barang tersebut.

Kemudian Al Mualif mengatakan,

ثم إذا أراد [ تملكها ] عرفها سنة [على أبواب المساجد وفي الموضع الذي وجدها فيه ] فإن لم يجد صاحبها كان له أن يتملكها بشرط الضما

Kemudian setelah anda menyimpannya, mengenali kriteria atau ciri-ciri dari barang tersebut, maka bila anda berniat untuk memilikinya, berniat untuk membelanjakannya atau memanfaatkannya, menggunakannya, maka syaratnya anda harus terlebih dahulu menanti selama setahun dan selama penantian setahun tersebut anda harus secara proaktif mengumumkan perihal barang yang anda temukan tersebut secara global.

Barang siapa yang kehilangan misalnya, barang, kehilangan sejumlah harta silakan hubungi nomor sekian atau silakan datang ke alamat ini dan itu. Terus demikian diumumkan secara berkala.

Kata Beliau,

على أبواب المساجد

Di pintu-pintu Masjid dan juga di,

في الموضع الذي وجدها فيه

Di tempat yang anda temukan barang itu di sana.

Karena ini adalah tempat yang paling potensial untuk kemudian pengumuman itu bisa sampai kepada pemilik barang. Karena kalau dia seorang muslim, dia akan sering datang ke Masjid. Kalau dia merasa kehilangan, dia mungkin akan kembali ke tempat sediakala yang barang tersebut jatuh, kemudian dia berusaha mencari.

Sehingga ketika dia datang ke Masjid atau berusaha mencari ke tempat yang semula (yang dia ketinggalan barang itu), dia akan menemukan pengumuman atau tulisan yang anda tulis di sana. Sehingga dengan itu berarti anda telah berusaha semaksimal yang bisa anda lakukan untuk bisa mengembalikan barang itu kepada pemiliknya.

Dan pengumuman ini bukan dilakukan setiap hari. Tetapi secara berkala. Sebagian ulama mencontohkan bahwa pada pekan pertama anda umumkan setiap pekan, setiap minggu sekali. Kemudian pada beberapa waktu selanjutnya anda umumkan sebulan sekali, diulang lagi setiap bulan sampai genap berlalu 12 bulan.

Bila telah berlalu 12 bulan padahal anda telah secara proaktif dan secara periodik telah mengumumkan keberadaan barang temuan tersebut, ternyata tidak ada yang datang mengakui barang itu atau tidak ada yang bisa menyebutkan kriteria barang itu, yang ada hanya orang-orang yang mengaku-ngaku tanpa bisa membuktikan dia sebagai pemilik, tanpa bisa menyebutkan secara tepat kriteria barang yang anda temukan.

Maka setelah setahun genap anda boleh memiliki barang tersebut menggunakannya sesuka anda untuk dijual atau untuk anda belanjakan atau untuk anda gunakan sebagai barang milik. Namun catatannya,

بشرط الضما

Anda sanggup untuk menggantinya.

Bila suatu saat kapan saja ada orang yang betul-betul kemudian bisa membuktikan barang itu adalah miliknya. Kalau itu kemudian terjadi maka berarti setelah barang itu anda gunakan, misalnya hingga musnah (hingga habis) atau anda jual, maka anda siap mengganti rugi.

Kenapa? Karena izin untuk menggunakan itu hanya sebatas rukhsoh. Dalam kondisi ini anda berada dalam kondisi yang serba dilematis. Kalau anda harus merawatnya, menyimpannya terus-menerus maka anda tentu terbebani.

Yang kedua, bisa jadi nilai barang tersebut menjadi hilang atau barang tersebut menjadi rusak, kehilangan nilai jualnya, kehilangan nilai fungsinya. Sehingga ini satu kondisi juga yang tidak boleh terjadi.

Karena itu, tentu anda sudah beritikad baik kalau harus menanggung repot yang berlebihan. Tentu juga Islam tidak merestui hal itu. Tidak ingin menjadikan anda susah. Sebagaimana membiarkan barang itu rusak, kehilangan nilai jualnya, kehilangan fungsinya juga tidak dibenarkan. Karena itu adalah bentuk dari أضَاعَة المال (menyia-nyiakan harta).

Karena itu, Islam menempuh jalur tengah. Bahwa anda mendapat izin untuk menjualnya, menggunakannya, membelanjakan hasil penjualannya. Agar anda tidak repot untuk menyimpannya dan barang tersebut tidak kehilangan nilai jualnya, tidak kehilangan manfaatnya.

Kenapa? Karena ketika anda jual anda berkewajiban menanggung, mengganti rugi bila suatu saat ditakdirkan ada yang bisa membuktikan itu barang miliknya.

Namun kalau ternyata hingga akhirnya tidak satupun yang bisa membuktikan, maka berarti anda boleh menggunakannya, halal menggunakannya dan tidak harus mengganti. Karena anda mendapatkan izin secara syari'at.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam literasi ilmu fiqih ada izin dari syari'at, ada izin dari pemilik barang. Idealnya dua hal ini harus bersandingan. Pemilik barang merestui dan restu pemilik barang ini sejalan dengan aturan syari'at.

Namun kadangkala dua hal ini tidak bisa disandingkan. Seperti contoh dalam kasus اللقطة ini. Di mana meminta izin dari pembeli barang tidak mungkin, karena tidak ketahuan siapa pemiliknya.

Dan karena tadi ada tuntutan, adanya alasan maka kemudian Islam memberikan keringanan kepada anda. Memberikan izin (restu) untuk anda menggunakan, membelanjakan barang tersebut. Karena Islam tidak ingin menyusahkan anda yang sudah beritikad baik menyimpan, menjaganya, mengumumkan secara periodik selama 1 tahun dan ternyata tidak ada yang datang.

Maka Islam tidak ingin membalas niat baik anda, usaha keras baik anda itu dengan anda tetap dipaksa atau diharuskan menanggung repot ditimpa kesusahan gara-gara itikad baik anda. Karenanya, Islam memberikan restu (izin), kompensasi kepada anda untuk bisa membelanjakan harta tersebut.

Dengan catatan ini hanya sebatas rukhsoh (keringanan) saja. Sehingga anda dibolehkan menggunakan dengan catatan anda wajib mengganti bila di kemudian hari terbukti ada pemilik yang sah bisa membuktikan dia adalah pemiliknya.

Ini adalah opsi pertama, keringanan pertama.

Opsi kedua yang bisa anda lakukan walaupun ini tidak disebutkan oleh Al Mualif, tapi itu bisa dipahami secara kontekstual dari pernyataan Al Mualif. Bila anda tidak ingin memilikinya karena memang anda tidak perlu, anda tidak butuh, anda merasa cukup sehingga tidak perlu. Dan bisa jadi anda juga tidak merasa repot.

Kalau memang berkenan anda tetap menyimpan barang tersebut sampai entah kapan hingga ada yang mengakui barang tersebut atau bisa membuktikan itu barang miliknya. Ini opsi kedua.


Opsi ketiga, anda mensedekahkan barang tersebut atas nama pemiliknya. Sehingga anda tidak memanfaatkannya tetapi anda mengembalikan barang tersebut secara حكما secara hukum anda dianggap telah mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Dengan cara apa?

Dengan mensedekahkan barang itu. Baik dijual terlebih dahulu dan hasilnya di salurkan kepada fakir miskin atau proyek sosial yang lainnya, atau kalau memang barang itu bisa langsung disedekahkan kepada orang lain karena memang bisa digunakan.

Maka anda ketika menyedekahkan itu atas nama pemiliknya itu berarti secara hukum anda telah dianggap mengembalikan barang itu. Kenapa? Karena berarti pahala sedekah itu akan didapat oleh pemilik barang. Berarti manfaat barang tersebut telah kembali kepada pemiliknya.

Dengan demikian ada tiga opsi yang bisa anda lakukan yang itu bisa dipahami dari pernyataan Al Mualif bahwa,

فإن لم يجد صاحبها كان له أن يتملكها بشرط الضما

Kalau tidak menemukan,

كان له

Dia boleh, bukan harus.

Dia boleh memilikinya, membelanjakannya dengan catatan dia harus siap mengganti rugi. Alias kalau kita pahami secara terbalik, kalau dia tidak siap berarti dia tidak boleh menggunakannya.

Tetapi apa? Ada opsi lain. Kalau dia tidak ingin memilikinya, dia berarti siap menyimpannya terus menerus. Kalau dia tidak siap, maka opsinya adalah dia sedekahkan atas nama pemiliknya. Karena berarti dengan menyedekahkan itu dia telah mengembalikan barang itu secara hukum.

Karena mengembalikan barang itu bisa berarti mengembalikan fisik barangnya. Bisa jadi mengembalikan nilai dari barang tersebut. Dan tentu nilai pahala, nilai itu bisa berarti nilai rupiah dalam nominal atau nilai barang dalam bentuk pahala di sisi Allāh Subhānahu Wa Ta'ala.

Dengan demikian, sebagaimana anda mengembalikan barang itu dalam bentuk fisiknya atau dalam bentuk nilai nominal rupiahnya, atau dalam bentuk nilai berupa pahala di akhirat. Dan itu sama-sama dianggap dalam tinjauan syari'at telah dianggap mengembalikan pahala tersebut atau barang tersebut kepada pemiliknya.

Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق والهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.