🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 26 Jumadal Ula 1446 H | 28 November 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-124
https://drive.google.com/file/d/12SjI81DXd2LO23BaV925WZAxt9ki_CGN/view?usp=sharingBab Seputar Jenazah (Bag. 7)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد
Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.
Larangan-larangan terkait kuburan
Abu Syuja’ al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,
وَيُسَطَّحُ القَبْرُ وَلَا يُبْنَى عَلَيْهِ وَلاَ يُجَصَّصَ
Dan kuburan itu dibuat datar tidak boleh dibangun di atas kuburan dan juga tidak boleh dikapur.
Kuburan itu dibuat datar tidak bergunduk
Sekarang kita berbicara tentang beberapa hukum tentang bagaimana seharusnya kuburan dalam Islam. Di bab pertama beliau mengatakan,
وَيُسَطَّحُ القَبْرُ
Dan kuburan itu dibuat datar.
Jadi setelah kuburan, setelah jenazah kita kubur maka bagian atas kuburan ini dibuat datar tidak bergunduk, jadi musyaththah (مُسَطَّح) tidak musannam (مسنم), dibuat datar dan tidak dibuat bergunduk.
Dan ini dasarnya adalah hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih bahwasanya kuburan Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga kuburan Abu Bakar dan Al-Faruq yakni Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu dibuat musyaththah (مُسَطَّح), yaitu dibuat datar.
Di bagian lain Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā menyebutkan bahwasanya itu diangkat, boleh dinaikkan kurang lebih 1 jengkal dari tanah, dinaikkan 1 jengkal kemudian bentuknya di datarkan.
Kenapa dibuat 1 jengkal karena shahih Ibnu Hibban disebutkan bahwasanya kuburan Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga diangkat dari tanah kurang lebih 1 jengkal. Ini untuk membedakan antara kuburan dengan bagian tanah yang lain dengan area pekuburan yang lain dan juga agar bisa diketahui untuk kemudian nanti diziarahi.
Jadi sunnahnya adalah ditinggikan kurang lebih 1 jengkal kemudian kuburan ini didatarkan dan tidak dibuat bergunduk.
Tidak boleh untuk dikapur dan dibangun diatasnya.
وَلَا يُبْنَى عَلَيْهِ وَلاَ يُجَصَّصَ
Dan tidak boleh untuk dibangun di atas kuburan ini, juga tidak boleh untuk dikapur.
Ini berdasarkan hadits yang masyhur hadits riwayat Muslim dari Ali Bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu bahwasanya beliau berkata kepada Abul Hayyāj Al-Asadi rahimahullāhu ta’ālā dengan mengatakan
ألا أَبْعَثُك على ما بَعَثَني عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Wahai Abul Hayyāj aku akan mengutusmu sebagaimana dahulu Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengutusku. Aku akan mengutusmu dengan cara yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam saat mengutus aku.
Kemudian beliau mengatakan,
أن لا تَدْعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَه، ولا قَبْرًا مُشْرِفًا إلا سَوَّيْتَه
Janganlah engkau meninggalkan satu potongpun kecuali engkau hilangkan dan jangan engkau membiarkan kuburan yang menonjol kecuali engkau ratakan dengan tanah.
Jadi ini adalah wasiat Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu kepada Abul Hayyāj Al-Asadi dan beliau mengatakan bahwasanya ini adalah wasiat dari Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam saat mengutus Ali bin Abi Thalib.
Jadi ini adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Di sini Beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan dan menghilangkan semua patung tidak boleh ada patung dalam Islam.
Kemudian Beliau juga memerintahkan kalau ada kuburan yang menonjol, yang terlalu tinggi, yang terlalu menonjol dibandingkan dengan yang lain maka itu harus diratakan dengan tanah. Maka inilah sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian dalam hadits yang lain diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallāhu ‘anhuma beliau mengatakan,
نَهَى رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم - أن يُجَصَّصَ القَبْرُ، وأنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأنْ يُبْنَى عَلَيْهِ وعند الترمذي وأنْ يُكْتَبَ عَلَيهِ وأَنْ يُوطَأَ
Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan itu dikapur, Beliau juga melarang kuburan itu diduduki atau dibangun di atasnya dan dalam riwayat Tirmidzi juga Beliau melarang kuburan itu ditulis di atasnya atau diinjak.
Ini adalah beberapa larangan yang berhubungan dengan kuburan yang disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Jadi kita dilarang untuk membangun di atas kuburan atau sekedar mengapurnya, kalau pada zaman dahulu orang mengapur, diberi kapur (labur).
Dan bentuknya pada zaman kita adalah disemen atau dikeramik apalagi dibangun marmer di atasnya. Para ulama menjelaskan bahwasanya ini semuanya sama dan termasuk dalam larangan tajshīshul qubūr (تجصيص القبور) atau mengapur kuburan.
Dilarang niyahah
Kemudian Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,
وَلَا بَأْسَ بِالبُكَاءِ عَلَى المَيِّتِ
Boleh menangisi orang yang meninggal, ini adalah sesuatu yang manusiawi dan juga dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu disebutkan bahwasanya ketika Ibrahim bin Muhammad putra shallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggal Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam menangis, air mata Beliau mengalir maka Abdurrahman bin Auf radhiyallāhu ‘anhu mengatakan,
وَأَنْتَ يَارَسُولَ الله؟
Engkau juga ya Rasūlullāh, engkau menangis atas meninggalnya putramu?
Maka Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِنّهَا رَحْمَةٌ يَا ابْنَ عَوْف
Wahai putra ‘Auf ini adalah rahmat.
Kemudian Beliau menambahkan,
إنَّ العَيْنَ لتَدْمَعُ، وإنَّ القَلْبَ ليَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يُرْضِى رَبَّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Mata mengalirkan air, mata menangis, hati sedih, tapi kita tidak mengucapkan kecuali perkataan yang membuat ridha Tuhan kita. Dan sungguh kami wahai Ibrahim sedih dengan perpisahanmu, kami sedih karena berpisah denganmu, wahai Ibrahim.
Juga hadits-hadits yang menunjukan bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam menangis ketika Beliau menghadapi kematian putri Beliau, juga saat Beliau berziarah mengunjungi kuburan ibunda Beliau, Beliau juga menangis dan membuat orang-orang di sekitar Beliau ikut menangis.
Maka sesuatu yang mausiawi kalau kita menangisi orang yang kita cintai yang baru saja meninggal. Itu adalah rahmat dari Allāh subhānahu wa ta’ālā. Namun tidak boleh berlebihan dalam menangisi mereka. Karenanya Abu Syuja’ mengatakan,
مِنْ غَيْرِ نَوْحٍ وَلَا شَقِّ جِيبٍ
Tapi tanpa niyahah, tanpa tangisan yang berlebihan dan juga tanpa merobek-robek kantong dan pakaian.
Ini adalah yang dilarang dalam agama kita. Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang niyahah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallāhu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Bukan bagian dari kami orang yang memukul-mukul pipinya saat menghadapi musibah atau yang merobek-robek kantong bajunya atau orang-orang yang menyeru dengan seruan jahiliyyah.
Yang dimaksud dengan menyeru dengan seruan jahiliyyah adalah memuji-muji mayit secara berlebihan, menangisinya dengan tangisan yang berlebihan. Ini semuanya dilarang oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dan dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallāhu ‘anhu,
أنَّ النَّبِيَ عليه الصلاه والسلام قال النَّائِحَةُ إذا لَمْ تَتُبْ قَبلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَومَ القِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِربَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
Bahwasannya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita yang hiyahah, wanita yang menagis meraung-raung berlebihan jika dia tidak taubat sebelum kematiannya maka dia akan dibangkitkan pada kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang terbuat dari cairan aspal dan pakaian yang terbuat dari jarab (جَرَب) yaitu dari kudis. Pakaian yang membuat badannya terasa gatal-gatal yang sangat.
Jadi ini menunjukan bahwasanya niyāhah (نَياحة) adalah sesuatu yang dilarang Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Bahkan riwayat yang terakhir menjelaskan bahwasanya niyāhah (نَياحة) adalah termasuk dosa besar.
Barangkali ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini.
Walhamdulillāh, wallāhu ta’ālā a’lam.
وصلى الله علي نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلموآخر دعوانا ان الحمدلله رب العالمين
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment