🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 17 Jumadal Ula 1446H | 19 November 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-196
https://drive.google.com/file/d/1gR2RnVzXPTu-DAXXx8iTGRXIuxYHRjd4/view?usp=sharingWakaf Bagian Keenam
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama pembahasan tentang, الوَقْف (wakaf).
Al-Muallif Al-Imam Abu Syuja' mengatakan:
والوقف جائز
Wakaf itu dibolehkan.
Pernyataan beliau jaiz (جائز) mungkin bagi yang belum mendalami ilmu fiqih merasa itu sesuatu yang aneh. Kenapa demikian? Karena, kita semua tahu wakaf itu adalah sesuatu yang disyari'atkan, sunnah hukumnya.
Kenapa dikatakan boleh? Alias seakan ada kesan bahwa al-muallif (al-Imam Abu Syuja') melunakkan bahasa sunnah menggunakan kata boleh, sehingga ada pemudaran arti atau kurang tajam dalam ungkapan.
Namun demikian kalau kita kaji secara tinjauan ilmu fiqih yang mendalam, pernyataan beliau itu membawa satu pesan yang sangat mendalam karena beliau ingin mengatakan (mengesankan) kepada kita bahwa hukum sunnahnya wakaf itu tidak perlu lagi diragukan.
Kenapa? Karena hakikat wakaf itu adalah salah satu model dari sedekah, karena Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagaimana dalam hadits yang ma'ruf, telah diketahui oleh semua orang.
إِذَا مَاتَ ابنُ آدم من انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ
Kalau manusia itu telah meninggal dunia maka pahala seluruh amalannya terputus kecuali dari tiga jalur.
Salah satunya shadaqah jariyyah. Sedekah yang pahalanya terus mengalir dan itulah hakikat dari wakaf, sehingga beliau seakan ini berkata kepada kita bahwa tidak perlu lagi saya menjabarkan, tidak perlu lagi saya menjelaskan tentang sunnahnya wakaf karena itu sudah diketahui oleh semua orang.
Tetapi yang perlu diingatkan barangkali itu luput dari sebagian kita, bahwa wakaf itu adalah sesuatu yang boleh alias kata-kata jaiz (جائز) di sini artinya bahwa wakaf itu bukan sesuatu yang wajib sehingga Anda tidak ada kewajiban.
Seakan beliau ingin menepis image atau kesan yang mungkin salah paham tentang arti wakaf bahwa wakaf itu hukumnya wajib atau kesan yang mengatakan bahwa wakaf itu bagian dari sedekah yang wajib.
Apalagi memang dalam literasi ilmu fiqih ada satu pemahaman bahwa berwasiat dengan sebagian harta agar disedekahkan setelah meninggal dunia oleh ahli waris, itu adalah suatu yang wajib, dulu dalam awal Islam seperti itu.
Setiap orang harus mewasiatkan sebagian hartanya untuk disalurkan fisabilillāh, sehingga seakan beliau ingin menepis bahwa wakaf tidak sedemikian itu, wakaf itu sesuatu yang boleh alias kembali kepada pilihan kita bukan sesuatu yang wajib, karena mungkin ada orang yang juga salah paham dengan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla,
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ
Kalian tidak akan bisa mencapai kebajikan tingkat yang sangat tinggi dalam keimanan, sampai kalian menginfakkan sebagian harta kalian yang kalian cintai. [QS Ali-Imran: 92]
Dan telah disampaikan sebelumnya bagaimana aplikasi dari ayat ini yang dilakukan oleh sahabat Abu Thalhah radhiyallāhu ta’ala 'anhu.
Kemudian dari pernyataan والوقف جائز bahwa wakaf itu adalah sesuatu yang boleh ada satu pesan yang ingin disisipkan oleh al-muallif (Iman Abu Syuja') bahwa wakaf itu ketika seorang mengatakan, "Saya telah wakafkan harta ini Fisabilillāh”.
Ada kesan bahwa menarik kembali atau membatalkan wakaf, itu sesuatu yang dibolehkan dalam literasi madzhab Syafi'i selama pewakafnya masih hidup.
Karena itu arti dari kata jawaz (kata boleh) dalam literasi ilmu fiqih, boleh itu bukan sekedar tidak haram, tetapi boleh itu artinya boleh dibatalkan, atau boleh dilanjutkan, itu artinya.
Karena dalam literasi ilmu fiqih madzhab Syafi'i membatalkan hibah, membatalkan wakaf yang sudah diikrarkan, itu adalah sesuatu yang legal, sesuatu yang dibenarkan. Walaupun memang ini masalah yang diperselisihkan di kalangan para ulama.
Tetapi sekali lagi, dalam tinjauan ilmu fiqih Syafi'i menarik kembali hibah, menarik kembali atau membatalkan wakaf, itu sesuatu yang boleh. Tapi wallāhu ta'ala a'lam, pendapat yang lebih kuat dalam hal ini memang pendapat kedua bahwa membatalkan hibah, membatalkan wakaf, itu adalah sesuatu yang tercela.
Karena Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam telah bersabda:
اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ، ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik kembali hibah yang telah dia berikan, itu perumpamaannya bagaikan seperti seekor anjing yang muntah (mengeluarkan makanan yang telah dia telan).
Muntah-muntah kembali dan setelah muntah, si Anjing itu memakan kembali sesuatu yang telah keluar dari mulutnya tersebut, yang telah masuk dalam perutnya kemudian ditelan kembali.
Orang yang menarik kembali hibahnya, itu bagaikan orang yang telah mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Dia telah mengikrarkan hibah kemudian ditarik kembali, ini bagaikan orang muntah kemudian dimakan kembali. Ini satu perumpamaan yang sangat buruk.
Kemudian para fuqaha (ahli fiqih) dalam madzhab Syafi'i menganalogikan wakaf dengan hibah. Kalau rujuk dalam hibah saja boleh, maka rujuk dalam wakaf pun boleh.
Kenapa? Mereka memiliki logika demikian, dengan dalil yang sama, dengan hadits yang sama tadi, perumpamaan orang yang menarik kembali hibahnya itu bagaikan Anjing yang muntah dan kemudian dimakan lagi.
Secara logika mereka dalam madzhab Syafi'i bahwa Anjing itu tidak haram untuk makan muntahannya bahkan makan babi pun boleh, makan bangkai pun boleh (Anjing), tidak ada haramnya.
Kalau demikian berarti itu adalah sebuah pesan bahwa menarik kembali hibah, menarik kembali wakaf itu hukumnya seperti Anjing memakan kembali muntahnya. Artinya sama-sama boleh. Walaupun itu sesuatu yang buruk, itu suatu gambaran yang buruk tetapi apakah Anjing itu haram untuk makan muntahannya? Tentu jawabannya tidak.
Berarti demikian pula, walaupun kita sepakat membatalkan wakaf, membatalkan hibah, itu sesuatu yang buruk sesuatu yang jelek, tetapi sebagaimana Anjing tidak haram untuk makan muntahannya demikian pula tidak haram orang yang hibah, orang yang wakaf, untuk menarik kembali wakaf atau hibahnya. Itu logika, itu cara pandang para ahli fiqih dalam madzhab Syafi'i rahimahullah.
Karena itu al-muallif rahimahullah mengatakan والوقف جائز, wakaf itu sesuatu akad yang jaiz alias boleh dibatalkan walaupun hukumnya makruh.
Hukumnya makruh membatalkan wakaf, membatalkan hibah, itu pendapat yang dianut oleh madzhab Syafi'i walaupun menurut sebatas yang saya pelajari, dan sebatas keilmuan yang saya miliki yang sangat sedikit, bahwa yang lebih rajih bahwa hukumnya haram.
Karena tentu Anda tidak akan rela diumpamakan bagaikan Anjing yang muntah, ini suatu perumpamaan yang sangat buruk. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menggariskan bahwa seorang muslim seharusnya memiliki akhlak yang mulia, karena itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
ليسَ لنا مَثَلُ السَّوْءِ
Nabi mengawali perumpamaan di atas dengan mengatakan seorang muslim, kita sebagai umat Islam itu tidak sepatutnya diperumpamakan dengan perumpamaan yang buruk.
Kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan perumpamaan orang yang menarik kembali hibahnya, "Bagaikan Anjing yang muntah kemudian dimakan kembali".
Ini berarti kalau kita kolerasikan antara awal hadits dengan akhir hadits, maka akan ketemu satu pesan yang jelas bahwa Nabi memberikan perumpamaan ini dalam rangka mencela, dalam rangka mencegah dan dalam rangka menjelaskan bahwa itu suatu perbuatan yang buruk dan itu tidak sepatutnya, tidak layak dilakukan oleh seorang muslim.
Tentu logikanya itu lebih relevan bila kita simpulkan bahwa perumpamaan ini untuk memberikan kesan yang sangat buruk, dan tentu itu lebih relevan kalau dikatakan sebagai satu tindakan yang haram.
Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment