🗓 SELASA | 26 Rabi’ul Akhir 1446 H | 29 Oktober 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-102
https://drive.google.com/file/d/14mvnw2RHDRDnsfXdtXR-az5Jh6jL_MfL/view?usp=sharingBab Shalat Jum’at (Bag. 2)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد
Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.
Kita lanjutkan kajian kita dari kitab Matnul Ghāyah wat Taqrīb (متن الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā.
Adapun kali ini kita akan membahas bersama tentang hukum shalat Jum’at. Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,
وَشَرَائِطُ فِعْلِهَا ثَلَاثَةٌ
Adapun Syarat melaksanakan shalat Jumat ada 3
Di pembahasan sebelumnya kita membahas tentang syarat wajibnya shalat Jum’at atas pribadi-pribadi muslim. Sekarang beliau membahas tentang syarat penyelenggaraan shalat Jum’at, syaratnya ada 3:
1. Adanya tempat itu berupa kota atau desa
أَنْ تَكُونَ البَلَدُ مِصْراً أَوْ قَرْيَةً
Hendaklah negeri yang menyelenggarakannya berupa kota atau desa. Artinya yang wajib untuk mengerjakan shalat Jum’at dan sah mengerjakan shalat Jum’at adalah mereka yang tinggal di suatu kota atau di suatu desa.
Yakni pemukiman yang memiliki fasilitas berupa rumah tinggal kemudian jalan-jalan yang ini kemudian dijabarkan menjadi desa atau kota. Dalam arti mereka yang tinggal di tengah hutan 1 rumah, 2 rumah tidak disebutkan sebagai desa, tidak disebut sebagai kota.
Juga mereka yang tinggal secara nomaden, badui, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka juga tidak disunnahkan untuk mengerjakan shalat Jum’at. Jadi syarat yang pertama adalah hendaknya negeri yang menyelenggarakannya adalah suatu desa atau suatu kota.
Dan hal ini didasari oleh praktek yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabat bahwasanya mereka selalu mengerjakannya di tempat pemukiman yang umum di suatu desa atau di suatu kota.
Dan juga ada kabilah-kabilah Arab yang tinggal, mereka mukim (tinggal, tidak musafir). Mereka tinggal di sekitar kota Madinah namun mereka dahulu tidak menyelenggarakan shalat Jum’at. Kalau mereka ingin shalat Jum’at mereka datang ke Kota Madinah, shalat bersama Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan juga Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka untuk menyelenggarakan shalat Jum’at sendiri.
2. 40 jamaah Jum’at harus terdiri dari ahli Jum’at (yang diwajibkan shalat Jum’at)
وَأَنْ يَكُونَ العَدَدُ أَرْبَعِينَ مِنْ أَهْلِ الجُمْعَةِ
Hendaklah orang yang menyelenggarakan shalat Jum’at ini jumlahnya paling tidak 40 orang dari orang yang wajib (shalat) Jum’at, yaitu orang-orang mukallaf, orang-orang yang muslim, aqil, baligh, kemudian pria, sehat, mukim, dan juga merdeka. Kalau ada 40 orang yang wajib shalat Jum’at seperti ini maka disyariatkan bagi mereka untuk menyelenggarakan shalat Jum’at, adapun kalau tidak maka tidak disyariatkan untuk mengerjakan shalat Jum’at.
Dan hal ini didasari oleh hadits riwayat Al-Baihaqi dari Jabir bin Abdillah radhiyallāhu ‘anhu. Jabir mengatakan,
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمْعَةٌ
Sunnah Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah berjalan. Bahwasanya pada setiap 40 orang ke atas wajib untuk mengerjakan shalat Jum’at.
Kemudian hal ini diperkuat oleh hadits Ka’ab bin Malik radhiyallāhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud juga, bahwasanya shalat Jum’at pertama yang diselenggarakan di kota Madinah dipimpin oleh As’ad bin Zurarah dan jumlah mereka pada saat itu adalah 40 orang. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i.
Dan pada hakikatnya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallāhu ‘anhu adalah hadits yang lemah. Bahkan Al-Baihaqi sendiri yang meriwayatkan hadits ini beliau mengatakan,
لا يحتج به
Hadits Jabir tidak bisa dipakai untuk berhujjah. Karena sanadnya yang lemah.
Jadi ini adalah hadits yang sebenarnya memberikan batasan, hadist yang tegas memberikan batasan minimal 40 orang tapi haditsnya lemah. Sedangkan hadits As’ad bin Zurarah tidak memberikan batasan. Karenanya sebagian ulama berpendapat bahwasanya asal ada syarat tamasysyur (تمشر), yaitu orang yang tinggal di pemukiman yang umum yaitu desa atau kota kalau jumlahnya mereka tidak mencapai 40 maka mereka bisa menyelenggarakan shalat Jum’at. Meskipun jumlahnya hanya 15 atau 10 atau bahkan menurut sebagian ulama hanya 3 atau 4 orang saja.
3. Waktunya cukup untuk melaksanakan shalat. Apabila waktunya habis atau syarat tidak terpenuhi, maka diganti shalat Zhuhur.
وَأَنْ يَكُونَ الوَقْتُ بَاقِياً فَإنْ خَرَجَ الوَقْتُ أَوْ عُدِمَتْ الشُّرُوطُ صُلِيَتْ ظُهْراً
Hendaknya waktu shalat Jum’atnya masih ada. Karena Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat Jum’at pada waktunya.
Dan dalam madzhab Syafi’i waktu shalat Jum’at adalah dimulai dari awal masuknya waktu Zhuhur. Sebagian ulama seperti Ahmad bin Hambal membolehkan sebelum Zhuhur. Tapi dalam madzhab Syafi’i waktunya adalah setelah masuknya waktu Zhuhur, yaitu setelah matahari tergelincir ke arah barat. Dan kalau waktunya sudah mepet tidak cukup untuk mengerjakan shalat Jum’at, maka shalat itu diselenggarakan dalam bentuk shalat Zhuhur.
Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan, dan kalau waktunya sudah lewat atau syarat-syaratnya tidak terpenuhi, yaitu syarat yang tadi. Penyelenggaranya harus tinggal di suatu pemukiman yang umum berupa desa atau kota. Kemudian jumlahnya 40 dan kalau tidak terpenuhi syarat itu atau waktunya sudah lewat, maka shalat ini diselenggarakan dalam bentuk shalat Zhuhur, jadi tidak ada Jumat yang ada adalah shalat Zhuhur.
Barangkali ini yang bisa kita pelajari bersama pada kesempatan kali ini, semoga bermanfaat. Wallāhu ta’ālā a’lam.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلموآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment