F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-150 Al-Qiradh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bag. 05 – Syarat Kedua

Audio ke-150 Al-Qiradh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bag. 05 – Syarat Kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 20 Dzulhijjah 1445H | 27 Juni 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-150
https://drive.google.com/file/d/11AGlQUdkc2ZZc2NyeBPSIkngCEh3iYn3/view?usp=sharing

📖 Al-Qirādh atau Mudharabah (Bagi Hasil) Bagian Kelima – Syarat Kedua

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama pembahasan tentang Al-Qirādh (القراض) atau yang lebih familiar di kita dengan sebutan Al-Mudharabah atau Bagi Hasil.

Al-Muallif (Al Imam Abu Syuja') mengatakan atau merinci satu demi satu dari keempat persyaratan tersebut,

2. Pemodal harus memberikan kewenangan penuh kepada pengelola untuk mengelola modal tersebut


وأن يأذن رب المال للعامل في التصرف مطلقا

Kemudian (syarat kedua) pemodal harus memberikan kewenangan penuh kepada pengelola untuk mengelola modal tersebut dalam perdagangannya.

Sebagai pemahamannya dari aplikasi dari penjelasan ini, maka dalam madzhab Syafi'i dinyatakan bahwa kerjasama bagi hasil, pemodal tidak boleh memberikan batasan ruang kerja sama yang sempit, sehingga membatasi ruang gerak pengelola untuk berniaga dan mencari keuntungan.

Anda harus serahkan modal tersebut dan percayakan seratus persen kepada pengelola, entah dia gunakan untuk jual beli pakaian, jual beli makanan, jual beli hewan atau jual beli yang lainnya. Anda tidak boleh membuat batasan-batasan yang menyebabkan pengelola merasa kurang bebas dalam berniaga atau menjadi ruang kerjanya menjadi sempit.

Karena ini akan menjadikan peluang pengelola untuk mendapatkan keuntungan itu menjadi sempit. Anda tidak boleh batasi dalam unit usaha yang sempit, misalnya anda mengatakan, "Kerjasama bagi hasil untuk jual beli kambing kurban saja".

Ini tidak boleh dalam madzhab Syafi'i. Anda harus biarkan dia, terserah dia cari keuntungan dengan caranya sendiri. Mau dagang apa saja biarkan, percayakan sepenuhnya agar dia memiliki kelapangan seluas-luasnya untuk bisa berniaga dan kemudian mendatangkan keuntungan.

Alasan dari mempersyaratkan hal ini adalah berdasarkan tinjauan kepada maksud dan tujuan dari akad mudharabah.

Akad mudharabah itu dalam madzhab Syafi'i didefinisikan bahwa itu adalah kerjasama antara dua orang dalam perdagangan dengan salah satu dari keduanya adalah pemodal dan satu pengelola dengan tujuan mencari keuntungan.

Sehingga semua persyaratan yang menyebabkan sempitnya ruang bagi pengelola untuk bisa mendapatkan keuntungan itu, maka syarat ini perlu dihindari.

Tentu tidak diragukan ketika anda hanya membatasi, ini modal untuk anda kelola berdagang di pakaian saja, jual beli pakaian saja, ini menjadikan peluang pengelola untuk mendapatkan keuntungan menjadi sempit. Sehingga ini menjadikan kerjasama mudharabah kurang efektif.

Namun pendalilan ini sekali lagi juga kurang kuat. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

"Seluruh kaum muslimin hukum asalnya wajib memenuhi persyaratan ataupun kesepakatan yang telah mereka capai.”

إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kecuali satu persyaratan yang menyebabkan anda mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Sedangkan, memberikan persyaratan bahwa kita kerjasama dalam jual beli pakaian saja, atau jual beli bahan makanan saja, jual beli hewan kurban di musim idul adha saja. Persyaratan-persyaratan semacam ini tidaklah menghalalkan yang haram ataupun mengharamkan yang halal.

Sehingga konsekuensi dari hadits di atas seharusnya adalah dibolehkannya adanya persyaratan-persyaratan semacam ini, karena itu persyaratan yang memiliki tujuan yang baik, tujuan yang dibenarkan, dan tidak mengharamkan yang halal ataupun menghalalkan yang haram.

Sehingga hukum asalnya persyaratan semacam ini dibenarkan, dibolehkan. Karena tentu pengelola ataupun pemodal tentu punya alasan tersendiri kenapa dia bersyarat agar perdagangannya hanya pada sektor tertentu atau mungkin kerjasamanya atau jual belinya dengan kriteria tertentu saja, tentu pasti ada alasan.

Dahulu Al-Hakim ibn Hizam, beliau adalah saudara sepupu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bila menjalin kerjasama bagi hasil dengan seseorang, beliau pemodal dan ada orang lain yang ingin mendapatkan modal dari Hakim ibn Hizam untuk dia kelola dalam perniagaan.

Hakim ibn Hizam memberikan persyaratan, agar pengelola tidak menggunakan modalnya (modal milik Hakim ibn Hizam) untuk berdagang pada makhluk hidup, baik itu hewan ternak ataupun budak.

Kemudian syarat kedua, pemodal juga ketika dia berbelanja atau ingin menjual (berdagang), tidak boleh membawa serta barang dagangannya ataupun modalnya untuk melintasi lembah yang mengalir, dan juga tidak boleh dibawa dengan perahu karena khawatir tenggelam.

Makanya dia bersyarat kalau ingin mengelola modal saya harus melewati jembatan, kalau memang harus menyeberang sungai ataupun lembah yang mengalir atau tidak boleh pergi (bepergian) menggunakan perahu.

Apalagi kalau anda bayangkan kondisi perahu ataupun kapal zaman dahulu sangat sederhana. Sehingga potensi kapal tenggelam, terkena ombak, rusak karena terkena terpaan air laut dan lain sebagainya itu sangat-sangat dimungkinkan

Makanya Hakim ibn Hizam radhiyallahu anhu bersyarat kepada pengelola agar tidak membawa barang dagangan yang dimodali oleh Hakim ibn Hizam dengan perahu ataupun menyeberangi lembah, khawatir tenggelam, khawatir terkena air dan yang lain sebagainya.

Ini ada persyaratan dan ternyata apa yang dilakukan oleh sahabat Hakim ibn Hizam ini tidak pernah ada satupun yang mengingkari dari kalangan para sahabat ataupun para ulama, yang itu dapat dijadikan sebagai indikasi adanya restu atau yang sering diistilahkan ijma' sukuti.

Apalagi kita perlu pahami bahwa sahabat Hakim ibn Hizam itu adalah salah satu tokoh (figur) pengusaha yang sangat sukses dan tentu semisal Hakim ibn Hizam ini akan menjadi acuan, akan menjadi panutan bagi para pengusaha dan para pemodal lainnya Karena memang sahabat Hakim ini telah berprofesi sebagai pengusaha, sebagai pedagang sejak zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Sekali lagi perlu saya garis bawahi bahwa skema kerjasama bagi hasil itu adalah salah satu akad muamalah yang dalam prinsip besarnya, akad muamalah hukum asalnya halal sampai ada dalil yang mengharamkan.

Sehingga selama tidak ada dalil yang tegas mengharamkan salah satu model kerjasama maka konsekuensinya (seharusnya, idealnya) hukum asalnya adalah halal. Wallāhu Ta'āla A'lam.

Sampai jumpa di lain kesempatan.

بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.