F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-143 Hak Syufah Bagian Keenam

Audio ke-143 Hak Syufah Bagian Keenam
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 04 Dzulhijjah 1445H | 11 Juni 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-143
https://drive.google.com/file/d/1mvlzq5m3Ky2-vJK_NTO7kYXz0O19dAVR/view?usp=sharing

📖 Hak Syuf'ah Bagian Keenam


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita masih bersama untaian kalimat-kalimat yang terangkai dalam Kitab matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh al-Imam Abu Syuja rahimahullahu ta’ala.

Kita sampai pada pembahasan tentang Asy-Syuf’ah (الشفعة). Al-Muallif rahimahullah mengatakan:

وهي على الفور فإن أخرها مع القدرة عليها بطلت

"Dan penggunaan hak syuf'ah ini bersifat otomatis dan spontan."

Ketika B telah mengetahui bahwa partnernya A telah menjual sahamnya kepada si C, maka dia harus segera menentukan sikap. Apakah dia akan menggunakan hak syuf'ah? Ingin membeli ulang aset atau saham si A yang telah dijual kepada si C atau tidak.

Dia tidak boleh menunda, dia sekedar mengetahui, langsung harus segera mengajukan dan menentukan sikapnya bahwa dia akan menggunakan hak syuf'ah. Dia harus segera menyatakan sikap.

Kalau sampai dia menunda-menunda padahal tidak ada hambatan, tidak ada alasan untuk menunda hal tersebut. Dia tahu namun dia tidak segera mengajukan (menentukan) sikap, maka hak mendapatkan syuf'ah itu gugur.

Hak penggunaan syuf'ah itu gugur. Kenapa?

Karena kalau tidak segera maka ini menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak C yaitu pihak ketiga (pembeli). Karena pembeli nasibnya akan terkantung-katung.

Terlebih ada satu riwayat dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah:

الشُّفْعَةُ كَحَلِّ الْعِقَالِ

Katanya: "Penggunaan hak syuf'ah itu cepat bersifat segera (spontanitas) secepat orang melepas tali kakinya unta.” [HR Sunan Ibnu Majah 2491]

Unta itu ketika malam hari seringkali di kaki kiri depan dipasang semacam ring sehingga tertekuk agar unta tersebut tidak bisa berdiri dan berlari. Untuk melepaskan ring yang melingkar di kaki unta tentu sangat mudah tidak membutuhkan waktu yang lama.

Nabi menggambarkan bahwa spontanitas penggunaan hak syuf'ah itu bagaikan secepat melepas ring yang melingkar di kaki unta.

Mafhumnya dapat disimpulkan bahwa:

Ketika partner telah mengetahui bahwa si A telah menjual. Si B telah mengetahui bahwa si A (partnernya) telah menjual sahamnya kepada si C, namun dia menunda-nunda sampai berlarut-larut (berlalu beberapa hari) maka secara otomatis hak syuf'ahnya gugur.

Kenapa gugur?

Selain hadits ini yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, juga dalam rangka memproteksi agar si C (pembeli) nasibnya tidak terkatung-katung segera mendapatkan kepastian.

Namun sayang hadits ini (الشُّفْعَةُ كَحَلِّ الْعِقَالِ) adalah hadits yang lemah karena periwayatannya melalui salah seorang perawi yang bernama Muhammad bin Abdurrahman Al-Bailamani, yaitu dikenal sebagai perawi yang lemah, sehingga riwayatnya tidak bisa dijadikan sebagai dasar dalam menentukan satu hukum.

Al-Imam Asy-Syafi'i dalam madzhab yang qadim ketika beliau masih berada di Al-Iraq sebelum berpindah ke Mesir, beliau berpendapat lain. Bahwa hak syuf'ah itu tidak bersifat spontanitas, tetapi hak syuf'ah itu akan terus eksis dimiliki oleh si B sampai dia betul-betul menentukan sikap.

Sehingga si B memiliki kelapangan untuk menentukan sikap tanpa harus tergesa-gesa. Dia boleh berpikir, dia boleh bermusyawarah, dia boleh membuat kalkulasi perhitungan terlebih dahulu, dia boleh persiapan terlebih dahulu.

Sehingga setelah semuanya beres, baru dia menentukan sikap, akankah dia menggunakan, menuntut penggunaan hak syuf'ah atau tidak?

Selama dia belum menentukan sikap dengan jelas iya atau tidak, menggunakan hak syuf'ah atau tidak menggunakan maka dia masih berhak untuk mengajukan hak tersebut kapanpun. Selama proses penjualan saham A tidak terlebih dahulu ditawarkan kepada si B sebagai partner.

Kenapa demikian? Hal ini berdasarkan satu kaidah bahwa:

الأصل بقاء ما كان على ما كان

Hukum asal sesuatu yang telah tetap, sesuatu yang telah eksis tidak bisa serta merta dianggap hilang (sirna) tetapi sesuatu yang telah terbukti eksis, terbukti ada, seharusnya tetap dianggap ada, dianggap eksis, dianggap tetap valid, tetap berlaku sampai ada sesuatu yang meyakinkan.

Sesuatu yang pasti (valid) yang kemudian menganulir keberadaan (eksistensi) dari sesuatu tersebut.

Secara tinjauan hukum syari', شَرْع (partner) yang telah dilangkahi haknya tersebut. Si B sebagai partner ternyata diabaikan tidak ditawari terlebih dahulu untuk membeli saham si A.

Secara dalil dia memiliki hak syuf'ah maka kepemilikan atas hak syuf'ah ini tidak bisa dinyatakan gugur sampai ada sesuatu yang meyakinkan yaitu si B menyatakan sikapnya, atau si B menolak untuk membeli dengan harga yang telah berlaku, atau harga yang telah terjadi. Dia ingin menawar ulang dengan harga yang berbeda.

Maka ketika tidak terjadi kesepakatan harga, maka batallah hak syuf'ah dari si B. Namun selama tidak ada sikap yang jelas maka hukum asalnya hak syuf'ah ini tetap berlaku dan boleh digunakan di kemudian hari.

Karenanya kalau si C merasa haknya kepemilikan atas aset yang telah dia beli dari si A terkatung-katung karena tidak ada kepastian maka dia bisa segera menyampaikan fakta transaksi ini kepada si B.

Apakah dia akan menggunakan hak syuf'ah atau tidak? Terlebih kalaupun si B menggunakan hak syuf'ah itu dikemudian hari maka si C tidak akan menanggung kerugian. Secara kalkulasi dia tidak menanggung kerugian.

Kalaupun dia dikemudian hari setelah transaksi itu membangun bangunan di tempat tersebut, maka dia akan mendapatkan ganti rugi atas bangunan yang telah dia bangun di tanah tersebut.

Dan kalau ternyata tanah tersebut dia kelola dan menghasilkan buah-buahan atau panen, maka hasil panen itu menjadi milik dia. Sehingga penundaan si B dalam menggunakan hak syuf'ah secara teori tidak akan merugikan si C sebagai pembeli.

Karena selama si B belum mengajukan penggunaan hak syuf'ah, berarti si C berhak memanfaatkan aset tersebut, karena secara prinsip aset tersebut telah dia beli dan penjualan itu secara hukum sah.

Penjualan saham si A kepada si C secara hukum sah, sehingga si C berhak memanfaatkan dan mendapatkan kegunaan dan seluruh apa yang ada di lahan ataupun aset yang telah dia beli.

Sehingga tidak ada alasan untuk kemudian menyatakan bahwa hak syuf'ah itu bersifat spontanitas. Terlebih riwayat yang menyatakan bahwa,

الشُّفْعَةُ كَحَلِّ الْعِقَالِ

Hak syuf'ah itu bersifat spontanitas bagaikan Anda melepas tali ring yang melingkar di kaki unta, itu riwayat yang lemah.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang lebihnya saya mohon maaf sampai jumpa di lain kesempatan

بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.