F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Fiqih Muyassar – 42 – Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Dalam Keadaan Junub

Fiqih Muyassar – 42 – Hal-Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Dalam Keadaan Junub
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
📘 Fiqih Muyassar : ❝ HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN DALAM KEADAAN JUNUB ❞
Dosen : Ustadz Beni Sarbeni, Lc, M.Pd Hafidzhahullah Ta'ala
🎧 Simak Audio 🎧

Hal-Hal yang Tidak Boleh Dilakukan Dalam Keadaan Junub

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد

Saudara sekalian di grup WhatsApp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kita lanjutkan kajian kitab Al-Fiqhul Muyassar.

Kali ini saya akan membahas beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam keadaan junub.

Ada beberapa hal yang terlarang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan junub:

1. Terlarang berdiam di dalam masjid, kecuali jika hanya untuk lewat saja.

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala,

وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟
“Dan jangan pula kalian memasuki masjid ketika kalian dalam keadaan junub, kecuali sekedar melewati saja, sebelum atau sehingga kalian mandi (mandi junub).” (QS. An-Nisaa’[4]:43)
Ayat ini tentunya berbicara tentang masalah junub, tidak berbicara tentang masalah wanita haidh. Oleh karena itu, larangan bagi orang haidh untuk berdiam di dalam masjid adalah dengan meng-qiyas (menganalogikan) wanita haidh kepada orang dalam keadaan junub. Dan karena itu pula sebagian ulama mengatakan, ini tidak berlaku bagi wanita haidh, selama wanita haidh bisa menjaga kebersihan masjid, wallahu ta’ala a’lam.

Kemudian penulis berkata,
namun apabila ia telah wudhu’, maka boleh baginya untuk berdiam di dalam masjid. Karena ada riwayat yang menyebutkan hal tersebut dari beberapa Shahabat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Jadi, kalau dia berwudhu’ maka itu diperbolehkan, juga karena wudhu’ dapat meringankan hadats besar. Ini larangan pertama bagi orang dalam keadaan junub.

2. Tidak diperkenankan untuk menyentuh Mush’haf.

Dalilnya adalah Surat Al-Waaqi’ah ayat 79, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.”(QS. Al-Waaqi’ah[56]:79)
Demikian pula dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam,

لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ .
“Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”
Jadi larangan yang kedua adalah, orang dalam keadaan junub atau wanita atau dalam keadaan haidh tidak diperkenankan untuk menyentuh Mush’haf.

Para ulama dalam hal ini pun berbeda pendapat. Jumhur ulama (kebanyakan ulama) sebagaimana dalam buku ini, berpendapat bahwa orang dalam keadaan junub atau wanita dalam keadaan haidh tidak diperkenankan untuk menyentuh Mush’haf. Adapun pendapat yang lain dan ini adalah pendapat yang paling kuat -wallahu a’lam-, bahwa orang dalam keadaan junub atau wanita dalam keadaan haidh itu tidak terlarang untuk menyentuh Mush’haf. Alasannya adalah kaidah,

البراءة الأصلية

Yakni, hukum asalnya tidak ada kewajiban suci dalam menyentuh Mush’haf. Jadi, kaidah

البراءة الأصلية

Artinya, hukum asalnya tidak ada kewajiban suci dalam menyentuh Mush’haf, perlu adanya dalil yang kuat dan tegas.

Kemudian, bagaimana dengan dalil Surah Al-Waaqi’ah ayat 79?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ
“Tidak ada yang menyentuhnya.”
Ada kalimat “nya” (kata ganti). Kata ganti dalam firman Allah,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ

Tidak ada yang menyentuhnya.”

Jika dilihat dari siyaaqul ayat atau konteks ayat, maka ayat sebelumnya berbicara tentang Al-Qur’an yang ada di Al-Lauhul Mahfuzh. Jika ayat ini berbicara tentang Al-Qur’an yang ada di Al-Lauhul Mahfuzh, maka Al-Muthahharuun (hamba hamba yang disucikan), yang dimaksud dengannya adalah para Malaikat.

Jadi,

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya (menyentuh Al-Qur’an yang ada di Al-Lauhul Mahfuzh), kecuali para malaikat yang disucikan.”
Demikian maknanya.

Kemudian, bagaimana dengan hadits yang dibawakan oleh penulis?
Dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ

“Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”

Hadits ini pun diperdebatkan oleh para ulama tentang keshahihannya. Ada yang menyatakan shahih, ada yang menyatakan dha’if (lemah).

Kemudian, anggaplah bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih, maka kata “Thaahir” itu kalimat musytarak (kalimat yang memiliki beragam makna). Thaahir disini bisa berarti orang yang suci, Thaahir di sini bisa berarti Muslim, karena orang Kafir oleh Allah subhanahu wa ta’ala disebutkan sebagai orang yang najis.

إنما المشركون نجس
“Sesungguhnya orang Musyrik itu najis.”(QS. At-Taubah[9]:28)
Jadi sekali lagi, kalaupun hadits ini kita anggap shahih, maka kalimat “thaahir” atau kalimat suci dalam hadits ini termasuk kalimat musytarak, yaitu kalimat yang punya ragam makna. Jadi, kalimat “thaahir” bisa berarti suci dari hadats kecil dari hadats besar, kalimat “thaahir” juga bisa berarti Muslim, kenapa?
Karena Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan bahwa orang Musyrik adalah najis, maka kalimat “thaahir” disini adalah Muslim.

Jadi,

لَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali Muslim.”
Artinya orang Kafir terlarang untuk menyentuh Mush’haf Al-Qur’an.

Walhasil, para pendengar yang dimuliakan oleh Allah rabbul ‘alamin. Ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan sebagai dalil oleh penulis disini adalah tidak tegas untuk menyatakan bahwa orang dalam keadaan tidak suci, tidak boleh atau tidak diperkenankan untuk menyentuh Mush’haf.

Maka kembalilah kepada hukum asal yaitu,

البراءة الأصلية

Pada asalnya tidak ada kewajiban untuk suci dalam menyentuh Mush’haf, wallahu ta’ala a’lam.

3. Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub untuk membaca Al-Qur’an.

Inipun termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama, Asy-Syaikh Abu Malik dalam kitabnya Shahiih Fiqhis Sunnah, beliau mengatakan bahwa membaca Al-Qur’an bagi orang dalam keadaan hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar adalah “laaba’sa biha” (tidak apa-apa).

Dengan beberapa alasan.
Alasan yang pertama, “Tidak ada satu riwayat pun yang shahih, yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan membaca Al-Qur’an.”

Bahkan hadits yang dibawakan oleh penulis pun, yaitu hadits Ali radhiyallahu ta’ala anhu. Ini termasuk hadits yang diperdebatkan pula keshahihannya.

Sementara ada riwayat misalnya dari Aisyah radhiyallahu ta'ala anha, sebagaimana dalam Shahih Muslim,

أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya.”
Qiraa’atul Qur’an atau membaca Al-Qur’an termasuk dzikir.

Kemudian dalam hadits Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu dalam keadaan haidh,

افْعَلِي ما يَفْعَلُ الحَاجُّ، غيرَ أنْ لا تَطُوفي بالبَيْتِ

Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Lakukanlah segala sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang yang sedang melakukan haji, hanya saja kamu tidak boleh thawaf mengelilingi Ka’bah.”

Jadi kata Nabi, “Lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang sedang melakukan haji selain tawaf.”

Ini menunjukkan bahwa orang yang sedang haidh boleh membaca Al-Qur’an, karena diantara amalan orang yang melakukan haji biasanya adalah membaca Al-Qur’an. Ini untuk yang ketiga, yaitu tentang membaca Al-Qur’an.

4. Diharamkan bagi orang yang junub untuk shalat,

ini jelas. Orang yang junub demikian pula wanita haidh terlarang untuk melakukan shalat.

5. Diharamkan bagi orang yang junub, demikian pula wanita haidh untuk mengelilingi Ka’bah atau untuk melakukan thawaf.

Inilah lima larangan orang dalam keadaan junub termasuk di dalamnya wanita haidh:
  1. Tidak diperkenankan untuk berdiam di masjid. Walaupun, ayat yang dibawakan oleh penulis sebagai dalil adalah hanya berbicara tentang orang-orang junub, bukan wanita haidh.
  2. Tidak diperkenankan bagi orang dalam keadaan junub dan wanita haidh untuk menyentuh Mush’haf. Walaupun pendapat yang paling kuat -wallahu a’lam- adalah boleh.
  3. Tidak diperkenankan untuk membaca Al-Qur’an. Inipun demikian pembahasannya sebagaimana tadi sudah saya sampaikan.
  4. Diharamkan bagi orang yang junub untuk sholat.
  5. Diharamkan baginya untuk mengerjakan thawaf atau mengitari Ka’bah.

Wallahu ta’ala a’lam, demikianlah saudara sekalian materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.