F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-124 Al-Ikrar Sebagai Alat Bukti - Bagian Kedua

Audio ke-124 Al-Ikrar Sebagai Alat Bukti - Bagian Kedua
🗓 RABU | 9 Ramadhan 1445H | 20 Maret 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-124
https://drive.google.com/file/d/1JQqSVL9u6pqixXLLs1LdfkVqhjK7X-dp/view?usp=sharing

📖 Al-Ikrar Sebagai Alat Bukti - Bagian Kedua


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله أمام بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama tema ikrar. Dalam madzhab lain, misalnya Al Imam Malik.

Dalam madzhab Al Imam Malik, dinyatakan bahwa penafsiran seorang muqir (orang yang membuat satu pengakuan) dan pengakuan itu global, ketika kita minta dia klarifikasi tentang pengakuan tersebut maka perlu dilihat apakah klarifikasi dan penjabarannya (penafsirannya) itu يسبه (normal, wajar) atau tidak normal (tidak wajar)?

Kalau penafsirannya itu wajar misalnya satu unit Avanza tadi disepakati untuk dibeli atau dijual dengan seharga 220 juta, 230 juta misalnya. Maka ini pengakuan yang wajar (nilai yang wajar). Maka penafsiran ini bisa diterima.

Dengan demikian kalau ternyata si A (pihak penjual yang tidak memiliki alat bukti) mengklaim lebih dari itu, maka ini tidak diterima. Penafsiran atau dakwaan si A sebagai penjual tidak dapat diterima karena tidak didukung oleh bukti. Sedangkan si B (pihak pembeli) telah membuat pengakuan dan penafsiran (penjelasan tentang pengakuannya) dengan penjelasan yang normal (yang wajar). Maka sejalan dengan kaidah ﺑـﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣـﺔ maka si B tidak berkewajiban membayar kepada si A kecuali sebesar yang diakui yaitu sekitar senilai 220 juta, misalnya.

Namun kalau ternyata si B menafsirkan dengan nominal yang tidak wajar, satu unit kendaraan roda empat yang baru. Kemudian terjadi kesepakatan transaksi tanpa alat bukti apa pun, kemudian terjadi sengketa. Dan si B sebagai pembeli mengakui telah terjadi transaksi tersebut dan dia mengakui belum membayar.

Namun ternyata ketika diminta penjabaran tentang pengakuan yaitu berapa nominal pembayaran yang harus dilakukan, dia mengatakan “Saya mengakui adanya transaksi ini dengan pembayaran berjangka senilai 10 juta rupiah saja.” Penafsiran ini tidak normal (tidak logis), tidak sesuai dengan harga yang sewajarnya. Maka penafsiran si B ini yang tidak wajar (tidak normal) tertolak dengan sendirinya.

Kenapa? Karena penafsiran dia (penjabaran dia) tidak wajar. Apapun alasannya. Semua orang tahu (sadar) bahwa minimal 1 unit kendaraan Avanza misalnya harganya kisaran 200 juta. Pedagang ketika menjual dia mencari keuntungan bukan mencari kerugian. Sehingga logikanya, wajarnya dia akan menjual dengan harga yang sesuai dengan harga pasaran.

Ketika si pembeli yang mengakui adanya transaksi tersebut, dia menafsirkan pengakuannya dengan harga yang tidak wajar, maka penafsirannya ini diabaikan. Karena ada kaidah, ada satu dalil, satu alat bukti lain yang mementahkan pengakuan si B bahwa,

العادة محكمه

Tradisi itu dapat dijadikan sebagai dalil, dapat dijadikan sebagai alat bukti. Sehingga itu perlu dipertimbangkan. Bahkan wajib diakomodir sebelum kita menetapkan suatu hukum.

Karena pengakuan dan penafsiran si B ini bertentangan dengan tradisi, yaitu hukum pasar, hukum kewajaran. Maka ucapannya ini bukannya diterima justru malah penafsiran ini mementahkan pengakuan dia. Dia berarti bertentangan dengan tradisi. Sehingga pengakuannya, penafsirannya ini diabaikan.

Lalu bagaimana dalam madzhab Imam Malik dan madzhab yang lain? Karena penafsiran dia bertentangan dengan hukum adat, kebiasaan kewajaran, maka diabaikan. Dan solusinya adalah kita mendatangkan para ahli. Orang-orang yang ahli berdagang dalam kendaraan.

Kita tanyakan kepada mereka, “wajarnya berapa sih harganya satu unit kendaraan Avanza?” Berdasarkan pengakuan mereka, kita tetapkan (kita putuskan) seorang hakim memutuskan berdasarkan keterangan para ahli tersebut.

Kenapa? Karena tentu ketika si pembeli membuat satu penafsiran terhadap pengakuan dia ternyata penafsiran ini tidak wajar. Bertentangan dengan tradisi, kewajaran yang biasa berlaku di masyarakat. Ini sebagai qarinah tersendiri yaitu menjadi indikator yang kuat bahwa dia telah berdusta.

Maka ketika dia menafsirkan pengikrarnya itu dengan sesuatu yang tidak wajar, penafsirannya tertolak. Namun ketika dia menafsirkan dengan sesuatu yang wajar, sesuai dengan harga pasaran, kurang sedikit atau lebih sedikit maka pengakuannya itu (penafsirannya itu) dapat diterima.

Adanya perbedaan pendapat ini di kalangan para ulama, ini adalah konsekuensi langsung akibat dari adanya perbedaan persepsi. Tentang, apa itu alat bukti? Dalam madzhab Syafi'i, serta yang lainnya. Alat bukti dalam peradilan itu terbatas. Yaitu saksi, sumpah, kemudian pengakuan, atau alat bukti yang lain yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Sehingga ketika alat bukti ini menunjukkan sesuatu hal maka ya itulah yang akan diterima dan diputuskan. Tetapi dalam madzhab lain, dalam madzhab Al Imam Malik, Al Imam Abu Hanifah serta yang lainnya dan ini yang lebih dikuatkan oleh Al Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim serta yang lain. Dan ini yang sejalan dengan fakta peradilan di zaman modern.

Bahwa alat bukti itu adalah segala hal yang dapat mengungkap kebenaran. Baik itu alat bukti yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits ataupun alat-alat bukti yang modern yang belum ada di zaman dahulu. Seperti foto, kornea mata, misalnya ataupun DNA atau sidik jari atau yang lainnya. Selama itu bisa mengungkapkan fakta, maka itu dapat diterima.

Termasuk kewajaran tradisi itu bisa menjadi alat bukti. Kenapa? Al-Bayyinah dalam literasi ilmu fiqih alat bukti itu disebut dengan Al-Bayyinah، dalam madzhab Hanafi dan juga Maliki, mereka mendefinisikan alat bukti itu,

كل ما يبين الحق

Semua yang dapat menyibak kebenaran, mengungkap kebenaran, maka itu adalah alat bukti yang bisa diterima dan dibenarkan secara hukum. Dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan suatu keputusan hukum dalam peradilan Islam.

Berdasarkan penjelasan ini maka mereka mengatakan adanya qorinah, adanya indikator yang mengisyaratkan bahwa penafsiran pembeli tersebut si B itu tidak wajar dan itu tidak dapat diterima secara logika ini mementahkan pengakuan dan penafsirannya dia. Maka seorang hakim dalam hal ini harus mencari alat bukti lain yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menyelesaikan perselisihan di antara kedua belah pihak. Antara penjual dan pembeli.

Ini pola pikir atau sudut pandang para ulama yang mengatakan bahwa penafsiran dari seorang muqir (seseorang yang membuat pengakuan) itu haruslah penafsiran yang wajar. Karena kalau tidak, maka penafsirannya akan diabaikan. Karena tradisi sudah membuktikan bahwa penjual itu berdagang. Menjual ingin mencari keuntungan, bukan mencari kerugian.

Apalagi pihak penjual mengklaim walaupun dia tidak punya alat bukti, tidak punya data, hitam di atas putih tidak punya. Tetapi tradisi seorang pedagang yang berdagang mencari keuntungan itu sudah menjadi alat bukti lain yang mengisyaratkan bahwa kita harus memahami akad yang terjalin antara Si A dan si B ini sesuai dengan tradisi para pedagang. Yaitu menjual dengan harga yang wajar dan harga tersebut dapat mendatangkan keuntungan bagi penjual.

Ini penjabaran dari apa yang diutarakan oleh Al Mualif Rahimahullahu Ta'ala. Karena ini masalah yang khilafiyah terjadi perselisihan dan sudut pandang yang berbeda, maka terjadilah satu kesimpulan hukum yang berbeda pula.

Dan tentu ini juga akan berimbas pada putusan hakim di peradilan ketika hakimnya bermadzhab Syafi'i tentu akan memutuskan sesuai dengan pengakuan dan penafsiran pembeli. Ketika hakimnya itu berafiliasi menerapkan norma-norma peradilan yang diajarkan dalam madzhab lain, tentu dia akan memutuskan dengan keputusan yang berbeda.

Dan sebagai kesimpulan, peradilan modern nampaknya Wallahu Ta'ala A'lam, lebih sejalan atau lebih menguatkan apa yang diajarkan dalam madzhab Al Imam Malik dan yang lainnya. Yang mempersyaratkan bahwa penafsiran muqir itu haruslah pengakuan yang wajar, bukan pengakuan atau penafsiran yang tidak wajar atau bertentangan dengan tradisi yang sudah berjalan di masyarakat.

Wallahu Ta'ala A'lam.
Ini penjelasan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.