F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Fiqih Muyassar – 37 – Mengusap Jabirah, Imamah, dan Kerudung Wanita

Fiqih Muyassar – 37 – Mengusap Jabirah, Imamah, dan Kerudung Wanita
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
📘 Fiqih Muyassar : ❝ MENGUSAP JABIRAH, 'IMAMAH, DAN KERUDUNG WANITA ❞
Dosen : Ustadz Beni Sarbeni, Lc, M.Pd Hafidzhahullah Ta'ala
🎧 Simak Audio 🎧

Mengusap Jabirah, 'Imamah, dan Kerudung Wanita

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ، أما بعد

Saudara sekalian di grup WhatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Al-Fiqhul Muyassar.

Kali ini saya akan menyampaikan bahasan tentang mengusap Jabirah, mengusap ‘Imaamah, demikian pula kerudung wanita.

Penulis berkata,

Masalah Ketujuh: Mengusap Jabirah, ‘Imaamah dan Kerudung Wanita

Jabirah

Jabirah adalah batang kayu atau yang serupa dengannya, seperti Gips, yang diikat pada tulang patah agar kembali seperti biasa, termasuk juga perban yang dilekatkan pada luka.

Itulah jabirah, jabirah itu Gips atau perban yang diikat pada luka. Nah, kata penulis keduanya bisa diusap dengan syarat sesuai dengan kadar kebutuhan. Adapun yang tidak diperlukan maka wajib dicabut.

Maksudnya begini para pendengar yang dimuliakan oleh Allah, jika ada bagian badan kita yang mesti dibasuh ketika berwudhu’ atau ketika mandi besar, yang ditempelkan padanya perban, maka cukup baginya hanya diusap tidak perlu dibasuh.

Kemudian kata penulis, mengusap perban ini berlaku bagi hadats akbar maupun hadats asghar. Artinya berlaku bagi wudhu’ atau mandi besar. Dan untuk mengusapnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu, akan tetapi berlaku sampai Gips atau perbannya itu dicabut, atau sampai sembuh bagian tubuh yang ada di bawahnya.

Alasannya adalah karena mengusapkannya disebabkan darurat, sementara darurat itu sesuai dengan kebutuhan.

الضرورة تقدر بقدرها
"Darurat itu sesuai dengan kebutuhan.”
Sampai perbannya dibuka atau sampai sembuh luka yang ada di bawahnya.

Berbeda dengan pembahasan tentang mas’hul khuffain atau mengusap kedua sepatu itu mah dibatasi waktu.

Kemudian selanjutnya kata penulis,

Imaamah (penutup kepala)

Demikian pula halnya dengan mengusap ‘Imaamah (penutup kepala) ia adalah penutup kepala yang dipakai.

Dalilnya adalah hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ta’ala anhu:

أَنَّ النَّبِـيَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ عَلَى عِمَامَتِـهِ وَعَلَى النَّاصِيَـةِ وَالْـخُفَّيْنِ .
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap ‘Imaamah-nya, juga ubun-ubunnya dan kedua sepatunya.”
Jadi, ketika seseorang menggunakan ‘Imaamah (penutup kepala) yang biasa ada buntut di belakangnya, itu tidak mesti dibuka ‘Imaamah-nya, tapi cukup dengan mengusap ‘Imaamah-nya dan ubun-ubunnya.

Demikian pula hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam demikian pula hadits yang mengatakan,

أَنَّـهُ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ عَلَى الْـخُفَّيْنِ وَالْـخِمَارِ .
“Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kedua sepatunya dan khimaar-nya.”
Yang dimaksud dengan khimaar dalam hadis di atas adalah ‘imaamah (penutup kepala). Kedua hadits di atas adalah hadits yang shahih diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
Kemudian kata penulis,

Mengusap ‘imaamah sebenarnya tidak pula dibatasi dengan waktu, akan tetapi jika seseorang ingin berhati-hati sehingga dia tidak mengusapnya kecuali jika dia memakainya dalam keadaan suci dan dibatasi dengan waktu sebagaimana al-mashu ‘alal khuffain atau mengusap kedua sepatu.

Jadi, kata penulis pada asalnya untuk ‘Imaamah pun aturannya seperti mengusap perban, tidak ada batasan waktu atau tidak ada syarat-syarat tertentu. Hanya saja untuk ikhtiar untuk ke hati-hatian maka ‘Imaamah ini disamakan dengan mengusap kedua sepatu. ‘Imaamah ini disamakan dengan mengusap kedua sepatu, yakni:
  1. Dipakai dalam keadaan suci
  2. Dibatasi dengan waktu, dimana bagi orang yang musafir tiga hari tiga malam, adapun untuk yang tidak safar hanya satu hari satu malam.

Karena ‘imaamah ini berbeda dengan perban, kalau perban diusapnya itu karena darurat sementara ‘imaamah tidak demikian, akan tetapi karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusapnya.

Jadi yang pertama tadi mengusap perban, yang kedua mengusap ‘imaamah.

Selanjutnya, para pendengar yang dimuliakan oleh Allah adalah tentang

Mengusap khimaar atau kerudung wanita.

Penulis mengatakan, adapun yang dimaksud dengan khimaar adalah sesuatu yang menutup kepala wanita. Beliau mengatakan, dan yang lebih utama adalah tidak diusap kecuali didapati masyaqqah atau kesulitan ketika membukanya. Ketika ada masyaqqah membuka kerudung misalnya di tempat yang di situ banyak laki-laki, maka diperbolehkan untuk mengusapnya.

Demikianlah pembahasan kita kali ini yang pertama adalah tentang:
  • Mengusap jabirah atau perban
  • Mengusap ‘imaamah
  • Khimaar atau kerudung bagi wanita.

Saudara sekalian, ini materi yang ingin saya sampaikan semoga bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.