F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-108 Wakalah - Bagian Kedua

Audio ke-108 Wakalah - Bagian Kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 17 Sya’ban 1445H | 27 Februari 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-108
https://drive.google.com/file/d/1z2QsMi1-rzkaY9OVI2stTAxofbBVmYz7/view?usp=sharing

📖 Wakalah - Bagian Kedua


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد


Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita sampai pada pembahasan Al-Wakalah (الوكالة), yaitu Perwakilan.

Dalam hal الوكالة (perwakilan) ini, apa dasarnya? Apa dalilnya kalau kita boleh mewakili dan boleh mewakilkan?

Banyak kasus yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang pada kasus tersebut nabi mewakilkan sebagian sahabatnya untuk bertindak atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Misalnya, telah kita sebutkan bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kepercayaan kepada sahabat, misal Hakim bin Hizam untuk membeli seekor hewan kurban.

Demikian pula beliau mewakilkan kepada sahabat Urwah Al-Bariqi radhiyallahu ta'ala anhum untuk membeli hal yang sama, membeli seekor hewan kurban, bukan untuk membeli sendiri, tapi membelikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beliau serahkan satu dinar untuk digunakan membeli seekor kambing dan kemudian akan diserahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan sahabat Amr bin Umayyah al-Damri untuk bertindak mewakili beliau dalam pernikahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah.

Kala itu Ummu Habibah bintu Abu Sofyan sedang berada di Habasyah di Ethopia hijrah ke sana. Suaminya, suami dari Ummu Habibah murtad ketika di Habasyah, tergoda imannya ketika melihat agama orang Nasrani di sana, akhirnya suaminya itu murtad dan berpindah agama menjadi Nasrani.

Maka pernikahan Ummu Habibah dengan suami tersebut akhirnya batal demi hukum, atau yang disebut (munfasikh) di-fasakh pernikahannya, karena suaminya murtad, sedangkan seorang muslimah tidak boleh menjadi istri dari orang kafir.

Setelah masa iddah dari Ummu Habibah berlalu, Raja Najasi kala itu menjadi perantara antara keduanya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendapat kehormatan dari Raja Najasi difasilitasi untuk bisa menikah dengan Ummu Habibah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendapat laporan bahwa suami Ummu Habibah murtad, sedangkan dia di sana (negeri habasyah) dia tidak punya karib, tidak punya kerabat, suaminya murtad di negeri orang.

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam merasa iba kepada Ummu Habibah, dan kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mewakilkan, memerintahkan Amr bin Umayyah al-Damri untuk pergi ke Habasyah melamar dan mewakili beliau dalam pernikahannya dengan Ummu Habibah.

An Najasi kala itu sebagai raja setempat yang notabene dia telah masuk Islam bertindak sebagai walinya, karena beliau adalah seorang hakim, sehingga pernikahan ini menggunakan wali hakim.

An Najasi memfasilitasi (memberi) mas kawin, walimah dan sebagainya, semua dibiayai oleh Najasi dan dia sebagai raja, beliau bertindak sebagai wali hakim. Dan sahabat Amr bin Umayyah al-Damri yang sekaligus sebagai utusan Nabi beliau bertindak mewakili Nabi dalam prosesi pernikahan ini.

Sehingga dalam kasus ini terjadi praktek perwakilan dalam pernikahan, bukan hanya mewakili wali tapi juga bisa mewakili mempelai pria. Dan ini satu hal yang bisa dilakukan dan legal secara hukum syariat, boleh diwakilkan.

Karena apa? secara hukum, Amr bin Umayyah al-Damri boleh menikah sendiri, kalau dia ingin menikah maka dia boleh menikah sendiri. Sehingga karena dia boleh menikah, maka dia boleh mewakili orang lain dalam prosesi pernikahan.

Bagaimana kalau seseorang itu ternyata ada hambatan, dia tidak bisa melakukan tindakan untuk dirinya sendiri. Misalnya, orang dalam kondisi mahjur, telah divonis oleh pengadilan dianggap pailit, sehingga harta kekayaannya disita, dia tidak bisa bertindak atas kekayaannya, tidak bisa menjual, tidak bisa menghibahkan.

Apakah dia boleh mewakili orang lain dalam transaksi jual beli? Maka jawabannya tidak. Yaitu yang bisa kita fahami dari penjelasan al-muallif rahimahullahu ta’ala

Mengapa? karena dia bertindak untuk dirinya sendiri saja tidak boleh, apalagi dia mewakili orang lain. Kalau dia bertindak untuk dirinya sendiri, padahal kalau seseorang secara logika orang bertindak untuk diri sendiri itu biasanya dia akan betul-betul serius, betul-betul bersungguh-sungguh agar tindakannya itu betul-betul menguntungkan, tindakannya itu benar.

Karena logikanya, tidak ada orang yang ingin sengaja mencelakakan diri sendiri, tidak ada orang yang ingin menjadikan dirinya rugi, atau terjerembab ke dalam satu masalah. Tapi bisa jadi orang melakukan itu untuk orang lain, sengaja, teledor berbuat sesuka hatinya karena dia merasa kalaupun celaka, kalaupun sengsara, dia tidak menanggung.

Kalau untuk dirinya sendiri saja dia tidak memiliki kewenangan apalagi bertindak untuk orang lain.

Makanya siapapun yang tidak memiliki kewenangan untuk bertindak atas nama sendiri (diri sendiri), maka dia tidak bisa mewakili orang lain. Sebagaimana seorang yang muhrim (sedang berihram) dia tidak boleh menikah.

لا يَنْكِحُ المحرم
“Seorang yang sedang ihram itu tidak boleh menikah.”

ولا ينكح
“Dan juga dia tidak boleh menikahkan orang lain.”
Baik menjadi wali atau menjadi wakil dalam pernikahan, mewakili walinya atau mewakili mempelai pria, tidak boleh. Karena dia terlarang untuk bertindak atas nama sendiri apalagi atas nama orang lain.

Sekali lagi al-mualif mengatakan,

وكل ماجاز للانسان التصرف فيه بنفسه جازله أن يوكل أويتوكل فيه

Semua urusan yang anda dibenarkan untuk bertindak atas nama sendiri, maka anda boleh memberikan kepercayaan kepada orang lain, mewakilkan kepada orang lain, dan juga anda boleh menerima kepercayaan sebagai wakil, sebagai perwakilan untuk orang lain. Ini kaidah yang berlaku dalam hal wakalah.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, Wabillahi Taufik walhidāyah. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.