F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-24 Bab Pembatal-Pembatal Wudhu Bag. 03

Audio ke-24 Bab Pembatal-Pembatal Wudhu Bag. 03
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 8 Jumadal Akhirah 1445 H | 21 Desember 2023 M
🎙 Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-24

📖 Bab Pembatal-Pembatal Wudhu (Bag. 3) Pasal: Pembatal-Pembatal Wudhu Ada 6

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد
Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Kita lanjutkan kajian kita dari kitab Matnul Ghāyah wat Taqrīb (متن الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā.

In sya Allāh pada kesempatan kali ini kita akan membahas bersama yaitu pasal tentang pembatal-pembatal wudhu.

Imam Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan

وَلَمْسُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ الْأَجْنَبِيَّةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ

4. Memegang wanita (menyentuh wanita) yang asing tanpa ada penghalang yang menghalangi kulit dari sentuhan itu.

Yang dimaksud dengan wanita yang asing adalah wanita yang bukan mahram kita, maka dalam madzhab Syafi’i kalau seseorang menyentuh wanita yang bukan mahramnya, bahkan pasangannya sendiri, jadi orang yang bukan mahramnya termasuk dalam hal ini adalah istrinya sendiri.

Dan sentuhan itu dilakukan tanpa ada penghalang, baik penghalang yang menghalangi tangan seorang pria misalnya dia memakai kaos tangan atau kain yang menutupi kulit wanita yang asing darinya ini atau kain yang menutupi kulit istrinya, maka sentuhan tersebut membatalkan wudhu menurut madzhab Syafi’i.

Para ulama madzhab Syafi’i berdalil dengan firman Allāh subhānahu wa ta’ālā,

أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ

[QS Al-Maidah: 6]

Yang dalam sebuah qira’ah disebutkan (dibaca),

أَوْ لَـمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ

Maka kalau kalian sakit, atau berada dalam perjalanan, atau seorang di antara kalian buang air besar, atau kalian bersenggama dengan pasangan kalian.

Ini terjemahan saya dan sebagian ulama menerjemahkannya atau menafsirkannya sebagai menyentuh atau kalian menyentuh para wanita

أَوْ لَـمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ

Atau kalian menyentuh para wanita.

Mereka bawa kepada makna wanita yang bukan mahram bagi mereka, maka itu membatalkan wudhu menurut madzhab Syafi’i.

Adapun kalau ada hāil (حائل), ada yang menghalangi berupa sarung tangan atau berupa kain yang menutupi kulit wanita yang disentuh maka hal tersebut tidak membatalkan wudhu menurut madzhab Syafi’i.

Ini beginilah madzhab Syafi’i dan ada pendapat lain yang menyatakan bahwasanya bersentuhan dengan lawan jenis tidak membatalkan wudhu, mereka menafsirkan ayat di atas sebagai jima’ atau senggama.

أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ

Atau kalian bersenggama dengan istri-istri kalian, maka itu yang membatalkan wudhu bahkan mewajibkan mandi.

Adapun kalau sekedar bersentuhan saja maka ini tidak membatalkan wudhu karena disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dari Aisyah radhiyallāhu ‘anha beliau mengatakan,

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقَبّل بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam dahulu mencium sebagian istri beliau kemudian beliau berangkat shalat tanpa berwudhu lagi.
Juga dalam sebuah hadits riwayat Imam Malik yang lain yaitu bahwasanya disebutkannya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam shalat malam dan ummul mukminin Aisyah radhiyallāhu ‘anha kadang-kadang tidur dihadapan beliau di mana posisi kaki Aisyah berada di arah kiblat Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Maka kalau beliau ingin sujud beliau memegang kaki Aisyah menggerakannya agar kaki tersebut diangkat sehingga beliau bisa sujud di tempat itu. Itu beliau lakukan dalam kondisi shalat.

Maka ini menunjukkan bahwasanya memegang istri atau memegang lawan jenis (menyentuh kulitnya) tidak membatalkan wudhu karena pada dasarnya hukum yang berlaku untuk Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi umat beliau kecuali kalau ada dalil yang mengkhususkan hukum tersebut berlaku hanya untuk Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam saja.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga Allāh subhānahu wa ta’ālā memberikan keberkahan ilmu dan memudahkan kita untuk mengamalkannya.

إنَّه وليُّ ذلك والقادِرُ عليه
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.