F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-69 Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk Budak

Audio ke-69 Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk Budak
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 27 Rabi’ul Awwal 1445 H | 13 Oktober 2023 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-69

📖 Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk Budak


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Masih bersama tema kita yaitu Al-Hajru, membatasi kewenangan sebagian pemilik harta untuk membelanjakan hartanya.

Kali ini kita sampai pada pernyataan beliau:

وتصرف العبد يكون في ذمته يتبع به بعد عتقه
Seorang budak, dia berstatus tidak memiliki harta kekayaan, sehingga seandainya dia mendapatkan hadiah, hibah, pemberian dari orang lain, atau bahkan mendapatkan restu atau izin dari majikannya untuk berdagang (jual-beli), bekerja mencari penghasilan, tetap saja apa yang dia dapat dari perdagangan atau pekerjaan tersebut statusnya adalah milik majikannya.
Karena seorang budak hanya bertindak mewakili majikannya. Kecuali dalam satu kondisi yaitu bila dia membeli dengan skema pembayaran terhutang atau dia memberikan satu komitmen kepada lawan transaksinya untuk menunaikan transaksi tersebut setelah dia merdeka.

Adapun bila budak tersebut dalam kondisi melakukan tindakan atau transaksi secara tunai, maka transaksi tunai itu terlaksana atas nama majikannya. Karena budak tersebut bertransaksi, berniaga setelah mendapatkan izin dari majikannya.

Berbeda halnya kalau dia membeli dengan kesepakatan bahwa pembayarannya dilakukan setelah dia merdeka. Maka dalam kondisi semacam ini, penjual atau yang lainnya tidak berhak untuk menuntut pembayaran dari budak tersebut kecuali setelah budak tersebut betul-betul merdeka.

Kenapa demikian? Karena itu adalah kesepakatan antara mereka dan konsekuensi itu telah diketahui oleh lawan transaksi budak tersebut. Semua orang mengetahui bahwa budak itu tidak memiliki (harta). Budak bertindak atas nama majikan, kewenangannya terbatas.

Namun ternyata ketika ada orang yang tetap melakukan transaksi dengan skema pembayaran berjangka dan telah terjadi kesepakatan jatuh temponya adalah setelah dia merdeka, maka dia tidak berhak untuk menuntut majikannya, dia tidak berhak untuk menuntut budak tersebut, karena budak tidak memiliki (harta).

Majikan juga tidak boleh dituntut karena budak tersebut bertindak bukan atas nama majikannya, karena dia berkata, "Saya akan melunasi, saya membayar ketika saya telah merdeka".

Ini dalam konteks ketika budak tersebut membeli dengan pembayaran berjangka dan jatuh temponya adalah pasca dia dimerdekakan.

Apalagi dalam beberapa kasus perbudakan, majikan bisa jadi memberikan restu memberikan izin kepada budak untuk bekerja mencari pendapatan atau penghasilan guna menebus dirinya, agar dia merdeka, agar dia dimerdekakan oleh majikannya yaitu dengan cara dia mengumpulkan sejumlah harta untuk digunakan menebus dirinya.

Seperti yang terjadi pada Abu Bayadhah, atau yang lainnya, seorang budak yang dia memiliki skill (keahlian) untuk membekam orang lain, dia memiliki skill medis, maka dia terus bekerja melayani memberi jasa kepada orang (membekam). Salah satu yang menggunakan jasa beliau adalah Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.

Nabi memanggil budak tersebut untuk membekam, dan setelah berbekam Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memberinya upah dua dirham. Selanjutnya Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memberikan rekomendasi kepada majikan budak tersebut agar mereka meringankan tebusan yang mereka minta dari budak ini sehingga dia bisa segera merdeka.

Dalam kasus seperti ini, di saat ada kesepakatan antara budak dan majikannya. Majikan mengizinkan budak untuk bekerja mencari penghasilan guna menebus dirinya. Maka dalam kondisi semacam ini, sering kali di zaman dulu (zaman masih ada perbudakan), sering kali budak itu membeli suatu barang dengan pembayaran setelah dia merdeka.

Kenapa demikian? Untuk menyegerakan dirinya agar bisa segera merdeka, membayar tebusan yang diminta oleh majikannya sehingga dia bisa segera merdeka.

Ini keenam orang yang dalam tuntunan syari'at kewenangannya atas harta kekayaannya dibatasi atau yang disebut dengan mahjur.

Demikian yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.