F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-190 Nafkah Kepada Orang Tua dan Anak Bagian Pertama

Audio ke-190 Nafkah Kepada Orang Tua dan Anak Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 02 Rabi’ul Awwal 1445 H | 18 September 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-190

📖 Nafkah Kepada Orang Tua dan Anak (Bag. 1)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و أصحابه ومن والاه
اما بعد


Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Al-Imam Al-Muallif (Al-Imam) Abu Syuja' rahimahullāhu ta’ālā menyatakan,

ونفقة العمودين من الأهل واجبة للوالدين والمولودين

Beliau menyatakan bahwa memberi nafkah, memberikan kecukupan kepada jalur nasab atas dan jalur nasab bawah itu adalah sesuatu hal yang wajib, hukumnya wajib. Kalau ditinggalkan, kalau ditelantarkan, diabaikan, atau ditunaikan tidak dengan sempurna, maka dosa haram hukumnya.

Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan tegas memberikan penjelasan perihal dampak dan berapa besar dosa orang yang menelantarkan nafkah anaknya, nafkah keluarganya.

Beliau menyatakan,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

(HR Muslim)

Cukup sebagai satu dosa yang dapat menjerumuskan, menceburkan pelakunya ke dalam siksa Neraka yang akan membinasakan dia di dalam Neraka kelak, bila dia telah menelantarkan, menyia-nyiakan nafkah orang yang wajib dia tanggung.

Dan para ulama menjelaskan orang yang wajib dia nafkahi itu mencakup dua jalur nasab ini, atas dan nasab bawah. Jalur nasab atas artinya ayah kita, ibu kita, kakek kita, nenek kita dan seterusnya. Yaitu orang-orang yang pernah melahirkan kita secara langsung ataupun melahirkan orang tua kita.

Sebagaimana yang wajib dinafkahi adalah jalur nasab ke bawah, anak kita, cucu kita atau cicit kita, selama mereka memenuhi kriteria orang-orang yang wajib dinafkahi sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Al-Muallif rahimahullāhu ta'ālā.

Dengan tegas Al-Muallif mengatakan,

نفقة العمودين من الأهل واجبة

Hukumnya itu wajib.

Kenapa? Darimana para ulama bisa menyimpulkan memberi nafkah orang tua atau anak keturunan yang membutuhkan nafkah itu hukumnya wajib? Dengan mengkaji dalil-dalil yang ada, karena kita dapatkan dalil-dalil yang ada memberikan ancaman berupa siksa di Neraka ketika nafkah mereka terlantarkan atau terabaikan seperti yang saya sebut di atas.

Yang kedua (indikasi kedua) adalah adanya pahala yang besar yang Allāh berikan kepada orang yang menunaikan nafkah mereka. Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang betapa besarnya pahala yang akan didapat oleh orang yang menunaikan nafkah dengan benar. Menafkahi, memberikan kecukupan keluarganya.

Beliau menyatakan,

دِينَار أنفقته فِي سَبِيل الله
Satu dinar yang engkau belanjakan untuk berjihad di jalan Allāh.
ودينار أنفقته فِي رَقَبَةٍ
Satu dinar yang engkau belanjakan untuk memerdekakan budak.
Satu dinar lagi yang engkau belanjakan untuk menafkahi orang-orang miskin (menyantuni orang-orang miskin) dan satu dinar lagi yang engkau nafkahkan kepada keluargamu.

Kata Nabi,

أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أنفقته على أهلك
Yang paling besar pahalanya adalah yang engkau belanjakan untuk menafkahi keluargamu. Ini janji pahala.
Dalam riwayat lain Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan betapa luas kerahmatan Allāh, betapa besar imbalan yang Allāh akan berikan kepada seorang suami atau seorang muslim bila dia mencukupi kebutuhan keluarganya sampai pun urusan yang sangat sepele (makan, minum) yang itu merupakan kebutuhan sehari-hari.

حتى لُقمة تجعلها في فم امرأتك لك بها الصدقة
Sampai pun sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu itu akan membawa pahala bagimu.
Dan Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam di lain kesempatan juga menjelaskan bahwa andai, (andai) ada orang yang tidak menunaikan kewajiban nafkah ini. Orang tuanya membutuhkan, anaknya memiliki kelapangan namun dia tidak memberi nafkah kepada orang tuanya.

Atau seseorang tidak memberikan nafkah kepada anaknya, maka dalam hukum Islam mereka semua, orang tua ataupun anak, boleh mengambil harta milik anak mereka atau ayah mereka yang nyata-nyata tidak memberi kecukupan kepada mereka, tidak menafkahi mereka, tidak menyantuni mereka.

Suatu hari ada seorang sahabat yang mengadu kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam perihal ayahnya yang ingin mengambil harta anaknya.

إِنَّ أَبِي يريد ان يجْتَاحَ مَالِي
Ayahku ingin mengambil harta kekayaanku.
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, meluruskan pola pikir si anak ini.

أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ
Engkau beserta seluruh harta kekayaanmu itu, adalah milik ayahmu.
Sehingga tidak ada kata ayah mengambil harta anak, alias merampas, menzhalimi, itu tidak ada. Karena memang engkau dan hartamu adalah milik (ayahmu).

Sehingga ketika ayahmu membutuhkan, merasa perlu terhadap hartamu. Dia boleh mengambilnya engkau suka atau tidak suka, rela atau tidak rela secara hukum syar'i ayah bila membutuhkan kepada harta anaknya, boleh mengambilnya.

Apalagi bila harta yang diambil orang tua itu tidak menyebabkan sang anak terjatuh dalam perbuatan dosa lain, misalnya menyebabkan nafkah anak istrinya terlantar. Tidak! Selama itu harta yang berlebih (melimpah) dari kebutuhan sang anak, kebutuhan nafkah yang wajib dia tunaikan. Sedangkan orang tua membutuhkan maka orang tua berhak mengambilnya.

Sehingga pola pikir sebagian anak yang kurang peduli dengan orang tuanya, membiarkan orang tuanya sampai merasa perlu mengambil. Padahal biasanya, tradisi orang tua itu punya semangat untuk memberi bukan semangat meminta. Selama orang tuanya mampu, maka orang tua itu akan memberikan apa yang bisa dia lakukan, dia bisa berikan kepada sang anak.

Sampai pun kalau dia harus berkorban dengan nyawa demi keselamatan anak, maka dia akan korbankan nyawanya demi kebahagiaan, ketentraman, kenyamanan sang anak. Tetapi ketika orang tua sampai berada dalam posisi terjepit, dalam posisi merasa tidak ada pilihan lain kecuali mengambil harta sang anak, maka ini memang berarti betul-betul dalam kondisi emergency.

Apalagi ternyata anaknya acuh tak acuh, maka ini bentuk dari sikap durhaka. Sehingga tidak ada secara logika, secara tradisi orang tua yang berkecukupan namun tetap ingin mengambil harta anak. Pasti orang tua ketika ingin mengambil harta anak itu ada alasan yang sangat kuat, sehingga akhirnya dia tega mengambil harta itu dari sang anak. Membutuhkan, karena betul-betul butuh.

Biasanya orang tua itu, normalnya itu wajarnya lebih semangat memberi dibanding meminta harta anak.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.