F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-189 Bila Suami Tidak Mampu Menafkahi Bagian Ketiga

Audio ke-189 Bila Suami Tidak Mampu Menafkahi Bagian Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 29 Shafar 1445 H | 15 September 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-189

📖 Bila Suami Tidak Mampu Menafkahi (Bag. 3)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و أصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Proses khulu’, proses minta gugatan cerai, di negeri kita memang proses itu hanya berlaku di pengadilan agama, sebagaimana kalau Anda telah menikah Anda bisa dapatkan penjelasan itu di buku nikah Anda, di akhir halaman buku nikah. Anda akan temukan penjelasan shigat ta’liq (صيغة التعليق)

Jika suami berbuat demikian, menyakiti tidak menafkahi selama sekian lama, menghinakannya, pergi tanpa memberi nafkah baik lahir maupun bathin kepada istri, dalam sekian waktu dan istri merasa tidak terima. Kemudian istri mengajukan gugatan ke pengadilan agama dan gugatannya dibenarkan. Kemudian istri membayar iwadh (uang ganti dari mas kawin yang pernah dia terima sebesar Rp 10.000,-) maka pengadilan agama akan menjatuhkan satu talak (satu perceraian).

Ini ketetapan yang sudah ada dalam buku nikah dan ini sejalan dengan penjelasan para ulama, bahwa istri bila terzhalimi boleh meminta untuk diakhiri pernikahannya (difasakh). Hanya saja bedanya, dalam pernyataan muallif di sini, beliau menyatakan,

فلها فسخ النكاح

Dia boleh membatalkan pernikahan.

Sedangkan dalam buku nikah dinyatakan jatuh talak satu. Kalau kita lihat dari referensi-referensi madzhab Syafi'i kita dapatkan, khulu' (meminta cerai) karena terzhalimi, karena haknya tidak tertunaikan, itu bukanlah perceraian tetapi itu pembatalan akad, sehingga tidak terhitung sebagai perceraian yang satu atau satu perceraian.

Sebagaimana yang kedua, ini ada hal yang prinsipil yang berbeda dari apa yang kita praktikkan di negara kita dan apa yang dijelaskan oleh muallif.

Al-Muallif rahimahullāhu ta'ālā menyatakan,

فلها فسخ النكاح

Dia boleh meminta untuk diakhiri pernikahannya tanpa memberikan pernyataan apakah permintaan itu terjadi di majelis hakim atau boleh secara langsung kepada suami. Kalau disepakati suami menerima permintaan tersebut maka jatuhlah (terjadilah) pembatalan pernikahan itu atau fasakh ataupun khulu'.

Namun diperjelasan buku nikah harus dilakukan di pengadilan agama, sehingga ini ada kesenjangan praktik madzhab Syafi'i dengan apa yang di pengadilan agama.

Hal ketiga yang membedakan antara yang ada di dalam buku nikah dengan penjelasan madzhab Imam Syafi'i, bahwa muallif rahimahullāh mengatakan:

فلها فسخ النكاح

Keputusan untuk menentukan dibatalkan pernikahan atau tidak, itu sepenuhnya kembali kepada istri.

Kalau istri betul-betul terbukti terzhalimi, disakiti tidak mendapatkan haknya, maka dia boleh langsung datang kepada suami dan mengatakan, "Saya kembalikan mas kawinmu dan saya berpisah, saya minta untuk berpisah”. Kalau permintaan itu disepakati oleh suami, maka jatuhlah, selesailah hubungan pernikahan mereka, batallah hubungan pernikahan mereka.

Kalau ternyata suami tidak mau menerima, padahal istrinya nyata-nyata dizhalimi, nyata-nyata disakiti, maka berdasarkan hadits Sahlah bintu Suhail atau hadits Tsabit bin Qais bin Syammas.

Nabi mengatakan,

اقبل الحديقة وطلقها تطليقة

Terimalah! Ada perintah alias suami tidak berhak untuk menolak kalau memang betul-betul dia zhalim, betul-betul dia tidak mampu menafkahi, betul-betul dia tidak mampu menunaikan hak istrinya. Baik hak lahir maupun hak bathin. Maka dia hanya memiliki satu opsi yaitu harus menerima, kalau memang nyata-nyata terbukti dia tidak mampu menunaikan hak istri.

Bolehkan suami keukeuh untuk tidak menerima? Maka jawabannya, tidak! Karena Islam tidak pernah membiarkan, tidak pernah merestui, orang memaksakan diri, menzhalimi orang lain. Kalau sudah terbukti suami zhalim, tidak mampu menafkahi, tidak mampu memberi hak istri, maka ini berarti istri terzhalimi. Walaupun bisa jadi suami tidak sengaja, dia tidak mampu menafkahi.

Iya, betul. Tetapi dia tidak mampu, dia tidak sengaja, dia tidak mempunyai niat jahat. Itu cukup sebagai alasan dia untuk dikatakan tidak berdosa, tetapi tidak berdosanya dia bukan berarti hak istri gugur. Istri berhak untuk tetap memilih pilihannya, menentukan pilihannya yaitu mengembalikan mas kawin dan kalau itu telah terjadi maka batallah pernikahannya.

Kalau Anda bertanya, lalu mengapa di dalam buku pernikahan harus dilakukan di majelis peradilan, tidak boleh spontanitas secara sepihak antara suami dan istri kemudian terjadi kesepakatan khulu'?

Iya, ada minimal dua alasan utama.

1. Alasan pertama karena pernikahan Anda dilaksanakan secara formal di KUA di hadapan petugas, maka administrasi yang dilakukan secara formal, normalnya harus diakhiri, dibatalkan, digugurkan dengan keputusan yang formal pula, yaitu keputusan dalam proses peradilan. Karena dokumen negara hanya bisa digugurkan dengan dokumen negara pula.

Sesuatu yang memiliki kekuatan hukum, harus bisa dibatalkan oleh sesuatu yang memiliki kekuatan hukum pula, yaitu secara hukum positif tentunya.

2. Yang kedua, ada redaksi dan gugatannya itu dibenarkan oleh hakim atau peradilan agama.

Kenapa harus ada klausul tersebut? Karena wanita sering kali emosional sedangkan hukumnya sangat-sangat bergantung dengan alasan.

Kalau alasan wanita meminta cerai ingin mengembalikan mas kawin, itu adalah alasan yang dibuat-buat, alasan yang fiktif, bahkan lebih pada dialah sebagai pelaku kezhalimannya. Istri yang menzhalimi suami bukan suami yang menzhalimi istri, bisa saja istri karena ingin menikah dengan laki-laki lain, tergoda dengan laki-laki lain, ingin berbuat serong dan lain sebagainya.

Atau alasan-alasan yang tidak dibenarkan secara syari'at, alasan karena sudah tidak pengen mengurus anaklah (misalnya) atau karena suami melarang istri dari perbuatan dosa, dia merasa terkekang akhirnya dia ingin berpisah. Ini alasan yang tidak dibenarkan.

Maka ada kewajiban, verifikasi bahwa alasan istri itu minta cerai, betul-betul alasan yang valid dan dibenarkan.

Karena itu di dalam buku nikah dipersyaratkan gugatan cerai itu harus dilakukan di meja hakim, karena walaupun secara idealnya boleh dilakukan di luar pengadilan agama tetapi ada potensi terjadinya praktik-praktik yang salah. Yaitu istri secara zhalim, istri membuat rekayasa perkara palsu atau bahkan istri ingin berpisah dengan alasan-alasan yang haram (perselingkuhan dan lain sebagainya).

Maka untuk membedakan apakah alasan istri itu betul sehingga dia halal untuk meminta cerai atau alasan yang haram, maka istrilah yang harus dibenahi, istrilah yang harus dinasihati, istrilah yang harus ditegur, karena melakukan perbuatan dosa.

Maka secara regulasi pemerintah perlu ditertibkan yaitu dengan adanya proses peradilan, pengajuan gugatan ke pengadilan untuk diverifikasi alasannya apa. Karena perceraian itu memiliki dampak yang sangat besar, baik sosial, ekonomi ataupun kemasyarakatan, ataupun keagamaan.

Karena itu kemaslahatan umum, pemerintah kita alhamdulillah melakukan kajian. Para ulama yang menetapkan, memberikan draft kompilasi hukum Islam, mengkaji masalah ini secara komprehensif, maka mengusulkan adanya klausul-klausul yang telah saya sebutkan di atas.

Karena itu apa yang ada tertera pada buku pernikahan di akhir halaman itu adalah suatu yang bagus yang sangat mendasar, memiliki alasan yang cukup kuat. Kasus suami tidak mampu menafkahi ini, yang menjadi alasan dibenarkan bagi istri untuk meminta cerai itu juga berlaku bila suami terbukti tidak mampu membayar mas kawin. Yaitu bila pernikahan antara mereka mas kawinnya dalam kondisi terutang.

Kalau kemudian setelah jatuh tempo suami terbukti tidak mampu membayar mas kawin, misalnya terutang selama satu bulan, setahun. Setelah satu tahun ternyata suami tidak mampu membayar mas kawin atau sengaja tidak memberi mas kawin (tidak mau memberinya). Maka karena mas kawin adalah hak istri, istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai sebagaimana bila suami tidak memberi nafkah kepada istri.

Mas kawin ataupun hukum nafkah, rumah, sandang, pangan, papan itu sama, istri bisa mengajukan gugatan cerai untuk mengakhiri hubungan pernikahan, yaitu dengan cara mengembalikan mas kawin seperti yang telah kita jelaskan sebelumnya pada pembahasan Al-Khulu'.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.