F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-187 Bila Suami Tidak Mampu Menafkahi Bagian Pertama

Audio ke-187 Bila Suami Tidak Mampu Menafkahi Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 27 Shafar 1445 H | 13 September 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-187

📖 Bila Suami Tidak Mampu Menafkahi (Bag. 1)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و أصحابه ومن والاهاما بعد


Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Masih bersama pembahasan tentang rumah tangga. Pada kesempatan ini saya mengajak anda untuk berbincang-bincang tentang kondisi emergency (kondisi darurat) yang kadang terjadi dalam sebagian rumah tangga.

Al-Imam Abu Syuja' mengawali pembicaraan tentang tema ini dengan mengatakan

وإن أعسر بنفقتها فلها فسخ النكاح

Bila seorang suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya, baik tidak mampu memberi nafkah sama sekali atau tidak mampu memberi nafkah yang layak, yang cukup dan kemudian istri jelas-jelas dirugikan tentunya, merasa tidak terima. Menuntut haknya.

Maka dalam kondisi semacam ini istri tentu terzhalimi, hak dia tidak diberikan sebagai seorang istri padahal dia harus menjaga dirinya, dia harus taat kepada suami namun ternyata suami tidak menunaikan hak-hak istri berupa nafkah ataupun sandang ataupun papan yang layak atau bahkan tidak memberinya sama sekali.

Maka menurut penjelasan beliau

فلها فسخ النكاح

Istri berhak untuk mengajukan pembatalan akad nikah atau yang disebut dengan fasakh atau dikenal dengan khulu’. Istilah yang familiar di kalangan para ahli fiqih dikenal dengan khulu’ (خلع). Semula wanita itu hukumnya haram untuk meminta bercerai, minta berpisah dari suami.

Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

(HR. Abu Dawud: 2228 dan Ibnu Majah. Disahihkan oleh asy Syaikh al Albani)

Siapapun istri yang meminta cerai minta pisah dari suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan, tanpa ada alasan yang dapat diterima secara syariat maka kata Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam

فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

Ia tidak akan pernah bisa mencium aromanya surga.

Padahal dalam riwayat lain aroma surga itu sangatlah harum. Digambarkan oleh Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam saking harumnya sampai bisa tercium sejauh perjalanan 70 tahun. Subhanallāh sangatlah harum aroma surga.

Namun wanita yang dengan sengaja minta cerai (minta pisah) dari suami tanpa alasan yang kuat tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia tidak akan bisa mencium aroma surga. Bisa jadi dia tidak masuk surga karena berarti wanita tersebut kufur al-‘asyiir (كفرالْعَشِيْرَ), kufur terhadap jasa kebaikan, perhatian suami.

Bisa jadi karena dia tidak lagi ingin menjaga kehormatan dirinya, memilih untuk hidup bebas, hidup kumpul kebo ataupun hidup tanpa menjalin hubungan tanpa ada ikatan nikah. Ada dua kemungkinan atau bahkan lebih. Tapi intinya, wanita yang meminta cerai dari suami tanpa sebab itu adalah perbuatan dosa besar.

Tetapi ketika suami ternyata melakukan suatu tindakan yang menyebabkannya tidak menunaikan hak atau menyebabkan istri terzhalimi, terampas sebagian haknya atau terhinakan, tersakiti secara fisiknya ataupun secara mentalnya.

Maka istri berhak untuk meminta cerai, meminta fasakh (minta diputus atau diakhiri pernikahannya) atau dikenal dengan khulu’. Ketika dia tidak diberi pangan atau nafkah yang layak atau bahkan tidak diberi sama sekali. Tidak diberi sandang yang layak atau bahkan tidak diberi sama sekali. Tidak diberi papan tempat tinggal yang layak atau bahkan tidak diberi sama sekali.

Maka berarti istri terzhalimi, maka dia boleh minta untuk berpisah karena tentu ini sangat berat untuk dijalani wanita dan Islam selalu mengedepankan keadilan dan Islam tidak pernah pilih kasih. Islam tidak merestui praktek-praktek zhalim.

Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam

مَا حَقُّ امرأتنَا عَلَيْهِ
Ya Rasulullāh apa hak istri kita yang harus kita tunaikan?
Beliau mengatakan,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ
Engkau memberinya makan memberinya nafkah sesuai dengan yang engkau makan sendiri
وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ
Dan engkau beri sandang sesuai dengan yang setimpal dengan apa yang engkau kenakan
Ketika suami mengenakan pakaian yang mahal, yang bagus yang menjadikannya semakin pede menjadikannya tampan, maka seharusnya suami juga memberi hal yang sama untuk istrinya. Ketika suami tidak memberi pakaian yang layak berarti dia telah menzhalimi apalagi sampai tidak memberinya sama sekali.

Atau seharusnya seorang suami itu memuliakan, melindungi, mengayomi, mendidik istrinya namun kalau yang terjadi malah sebaliknya, istri dihinakan, disakiti, dipukul fisiknya atau dihinakan harga dirinya, dipermalukan, maka ini berarti pernikahan sudah berbalik arah tidak lagi membawa maslahat namun membawa madharat.

Tentu dalam kondisi semacam ini kata mualif, istri boleh (sekali lagi bukan wajib) istri boleh meminta cerai, meminta diakhiri pernikahan tersebut melalui proses khulu’, sehingga dia tidak berdosa karena dia menuntut haknya dia. Ingin melindungi dirinya dari perbuatan zhalim. Islam tidak pernah memerintahkan seorang untuk menahan dirinya dari kezhaliman.

Dia boleh membela وَلَمَن صَبَرَ walaupun orang yang sabar, memaafkan

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ﴿الشورى : ۴۳﴾
Orang yang memilih untuk bertahan, memilih bersabar bahkan memaafkan maka itu bukti yang nyata bahwa wanita tersebut atau orang tersebut adalah orang yang memiliki عَزْمِ الْاُمُوْرِ (memiliki jiwa yang besar).
Memiliki jiwa yang besar mampu mengorbankan kepentingannya, mampu mengalah, mampu memaafkan. Demi apa? Demi mendapatkan maslahat yang lebih besar. Karena bisa jadi dia mengedepankan maslahat anak. Dia tidak ingin masa depan anaknya terbebani dengan perceraian orang tuanya.

Dia tidak ingin nama besar nama baik keluarganya tercoreng dengan adanya perceraian. Dia tidak ingin meninggalkan contoh yang buruk bagi anak-anaknya ke depan bila mereka berkeluarga.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.