F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-41 Akad Salam: Syarat Ketiga

Audio ke-41 Akad Salam: Syarat Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA| 19 Shafar 1445H| 05 September 2023M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-41

📖 Akad Salam: Syarat Ketiga


بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أَمَّا بَعْدُ

Masih bersama pembahasan tentang salam yang diutarakan oleh Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala. Kali ini beliau mengatakan,

Syarat ke-3 ولم تد خلهُ النارُ لإ حالته

Dan proses produksinya tidak melibatkan api untuk proses peleburannya.

Kenapa demikian? Anda bisa bayangkan, ketika masyarakat pada abad 500 Hijriyah, pada tahun 500 Hijriyah atau pada abad 5 Hijriyah membuat kue ataupun roti dengan oven yang sederhana, dipanggang di atas api. Anda bisa bayangkan, akankah produsen roti bisa menghasilkan roti dengan ukuran, dengan cetakan, dengan kadar kematangan yang sama. Sangat sulit. Bisa jadi, dibuat cetakan tetapi kematangannya berbeda. Ada 1 yang gosong, 1 kurang matang, macam-macam.

Maka, di zaman dulu karena proses produksi yang melibatkan api itu masih sangat sederhana, maka tidak boleh. Karena, ketika Anda sekarang menyepakati akad salam pada satu produk roti atau kue misalnya, dengan komposisi demikian, ukuran sekian, bisa jadi ketika saatnya jatuh tempo Anda memproduksi, mungkin kegosongan, mungkin kurang matang, karena waktu pembakarannya manual. Besar kecilnya api diatur secara manual.

Tetapi zaman sekarang, ketika masyarakat sudah menemukan teknologi, menghasilkan mesin oven yang bisa diatur kepanasannya, suhunya, waktunya, ada timer-nya dan semuanya berjalan secara otomatis. Ketika sudah saatnya, maka (oven) mati. Kemudian saatnya dia hidup, saatnya mencapai suhu yang diinginkan, maka dia akan jaga suhu tersebut stabil dalam waktu yang sudah ditentukan. Tentu ini tidak bisa disamakan dengan kondisi zaman dahulu.

Karena itu, sungguh benar para ulama telah menggariskan satu kaidah,

لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان

Anda tidak perlu kaget, Anda tidak perlu terperangah ketika ada suatu hukum yang berubah seiring dengan perubahan tradisi dan gaya hidup masyarakat.

Kenapa? Karena dalam banyak hukum fiqih, para ulama itu membangun hasil ijtihad mereka. Kesimpulan hukum mereka itu berdasarkan fakta yang ada di lapangan, tradisi yang berjalan di masyarakat. Sehingga tatkala faktanya telah berubah, tradisi telah berbeda, maka tentu harus ada upaya adaptasi, upaya penyesuaian hukum. Bukan dalilnya yang diubah. Tetapi, aplikasi dalil tersebut harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat. Sehingga ketika kita membaca redaksi para ahli fiqih semacam ini,

لم تد خلهُ النارُ لإ حالته

Proses pemasakannya, proses produksinya itu tidak melibatkan panas api. Ini harus kita fahami dalam konteks kehidupan zaman dahulu. Anda bisa bayangkan ketika orang manggang api dengan kayu, dengan arang. Itu sangat-sangat kondisional. Ketika angin berhembus, berkobar apinya. Ketika tidak ada angin berhembus, apinya surut. Mungkin Anda terlalu semangat mengobarkan apinya, Anda tiup dengan mulut Anda, ataupun dengan kipas akan menghasilkan panas dan api yang berbeda-beda. Tidak stabil.

Tapi zaman sekarang, ketika pemanas itu menggunakan mesin, listrik, kompor, gas, sudah ada timer, ada pengukur suhu ruang, dan lain sebagainya, ada automatic ketika mulai pemanasnya mencapai puncaknya, maka akan ada proses pemadamannya, pembuangan suhu panasnya, dan lain sebagainya.

Sehingga produk itu dihasilkan dalam suhu panas yang konstan, yang stabil dalam waktu yang stabil pula, yang jelas pula. Maka akan menghasilkan satu produk yang betul-betul identik seperti yang digambarkan, dijelaskan oleh pembeli.

Dengan perubahan ini, tentu mengharuskan kita untuk merubah fatwa. Bahwa, membuat akad salam pada produk-produk yang diproduksi dengan melibatkan pemanggangan, menggunakan panas atau menggunakan berbagai macam bahan campuran itu boleh.

Bukan karena hukum fiqihnya yang berbeda, tetapi metode realisasi dari substansi persyaratan tersebut yang telah berubah. Bahwa adanya persyaratan-persyaratan itu tujuannya adalah untuk memberikan kepastian barang sama dan identik dengan apa yang diinginkan oleh pembeli.

Ketika memenuhi pesanan pembeli itu, kita bisa memenuhinya tanpa terpengaruh dengan penggunaan panas, penggunaan api, kombinasi barang yang bermacam-macam. Itu tidak menghalangi kita untuk bisa mendatangkan barang yang jelas, yang transparan, yang memenuhi kriteria yang telah disepakati. Maka tentu, tidak ada lagi alasan untuk mengatakan tidak boleh.

Sehingga kesimpulannya, boleh di zaman sekarang dengan teknologi yang ada, Anda membuat akad salam pada roti, pada berbagai macam pasta campuran macam-macam. Karena apa? Karena Anda bisa memberikan takaran dan jaminan bahwa suhu ruang dan hasil olahannya itu sama.

Tetapi ketika zaman sekarang, Anda masih menggunakan cara-cara yang tradisional, Anda mengukir dengan tangan sendiri, tidak lagi menggunakan bantuan mesin, Anda memasak dengan masakan sendiri, Anda mencampur dengan tangan sendiri (manual). Maka akan menghasilkan produk yang tidak identik.

Maka ketika produk Anda tidak identik dengan apa yang diinginkan oleh pembeli, maka potensi menimbulkan sengketa, potensi menimbulkan perbedaan penilaian. Sehingga akan memunculkan gharar. Dan ini tentu terlarang.

Sekali lagi, kita harus melihat substansinya. Jangan melihat dan membaca teksnya. Karena adanya teks ini, adanya persyaratan ini adalah implementasi dari satu ketentuan yang baku dalam syari'at bahwa barang yang diperjualbelikan itu jelas. Itu yang disampaikan Nabi Shalallahu 'alaihi Wasallam.

من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Siapapun yang membuat akad salam, maka hendaknya dia membuat akad pada produk atau pada barang yang takarannya jelas, timbangannya jelas, dan dalam tempo yang jelas pula.

Kejelasan produk, kejelasan bahan atau barang yang menjadi objek akad tentu bukan hanya dalam urusan takaran, bukan hanya dalam urusan timbangan atau tempo waktunya. Tentu kriteria barang lebih urgent untuk ada kejelasan.

Sehingga kalau Anda berkata, “Bukankah dalam haditsnya Nabi hanya mempersyaratkan takaran, timbangan dan waktu?” Betul, itu teksnya demikian. Tetapi kalau kita analisa lebih jauh kalau sekedar takaran yang itu hanya sekedar alat bantu untuk menjelaskan berapa kadar barang, tentu kejelasan dalam kriteria jenis barang.

Buah itu, ada buah anggur, ada buah apel, ada buah mangga. Mangga pun ternyata macam-macam. Membuat kesepakatan tentang jenis barang. Padi, kalaupun kita jual beli gabah, gabah apa, beras, beras apa, jenisnya. Rojolele, Pandan Wangi dan sebagainya. Tentu itu lebih layak, lebih urgent untuk ditentukan jenisnya. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan di kemudian hari.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan ilmu, taufik dan hidayah-Nya kepada kita semuanya. Dan kurang, serta lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.