F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-197 Hak Merawat Anak Bagian Ketiga

Audio ke-197 Hak Merawat Anak Bagian Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 11 Rabi’ul Awwal 1445 H | 27 September 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-197

📖 Hak Merawat Anak (Bag. 3)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و أصحابه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Di antara hal yang perlu dijelaskan bahwa kewenangan anak untuk memilih dengan siapa dia akan tinggal, siapakah yang akan merawatnya ini harus dipertimbangkan pula dari alasan mengapa dia memilih. Karena pendidikan, tarbiyah, merawat itu bukan sekedar dia makan minum kenyang, tidak!

Tetapi pendidikan, perawatan dan juga penjagaan sang anak ditinjau dari sisi syari'atnya, apakah alasan sang anak memilih ibu atau memilih ayahnya itu hanya karena faktor kasih sayang, faktor kenyamanan semata, atau karena faktor yang lain.

Kalau ternyata faktornya itu adalah karena ayahnya membiarkan sang anak tanpa pendidikan, difasilitasi dengan internet, dengan gadget, bermain game, nonton. Tidak dididik dengan baik. Tidak diajari untuk menjadi anak yang sholeh.

Sedangkan Ibunya bisa jadi sebaliknya, ibunya ingin anaknya menjadi anak yang sholeh. Dididik dengan yang benar, diajari ilmu, diajari beramal, diajari jujur, diproteksi dari hal yang dapat merusak mental dan kesehatannya.

Maka kadangkala anak akan memilih orang tua yang memanjakannya. Memberinya fasilitas walaupun itu berdampak buruk. Maka dalam kondisi semacam ini tanggung jawab untuk mendidik itu bisa jadi dikembalikan kepada orang yang lebih mampu menjadikan anak itu menjadi anak yang sholeh. Walaupun bisa jadi dalam urusan materi dia tidak maksimal seperti orang tua yang satunya, kenapa?

Karena pendidikan itu wajib ditegakkan. Orang tua wajib membentengi anaknya

قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا
Bentengi dirimu, keluargamu dari ancaman siksa neraka [QS Tahrim: 6]
Sebagaimana anak wajib diperintahkan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban, menunaikan shalat bukan dimanjakan. Sehingga kalau ternyata keberadaan anak bersama salah satu orang tuanya akan merusak masa depannya, merusak agamanya, maka hak ini bisa jadi (menjadi) gugur walaupun anak memilih tetapi pilihan itu akan diabaikan.

Ketika terjadi sengketa maka orang tua yang tidak terima dengan pilihan si anak karena ternyata pilihan itu berdasarkan syahwat (nafsu) karena dimanjakan akhirnya dia diberi fasilitas yang merusak moralitas merusak ibadahnya, maka dalam hal ini orang tua yang satunya boleh mengajukan gugatan ke pengadilan.

Agar hak mendidik anak dikembalikan kepada dirinya agar anaknya kelak menjadi anak yang sholeh, bukan anak yang sekedar berbadan sehat tapi mentalitas rusak, moralnya rusak, aqidahnya bobrok, ibadahnya bobrok. Tidak!

Islam bukan agama yang kaku. Islam bukan agama yang mudah dipermainkan atau ditipu. Adanya hak untuk memilih itu bukan segala-galanya, ketika pilihan tersebut adalah pilihan yang salah, pilihan yang bertentangan dengan tuntunan syariat, maka kewenangan anak untuk memilih itu bisa dianulir oleh orang tua yang kedua yang ternyata orang tua kedua itu ingin mendidik anaknya dengan cara-cara yang benar, dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan syari’at.

Suatu hari dikisahlan ada seorang ibu yang mengajukan gugatan ke pengadilan. Kisah di zaman dahulu mengajukan gugatan ke pengadilan karena ternyata anaknya setelah umur 7 tahun memilih untuk hidup bersama ayahnya. Sedangkan sang ibu tahu bahwa ayahnya itu dia tidak mendidik sang anak, yang terjadi justru memanjakannya, yang terjadi justru ayahnya merusak pendidikannya.

Maka ketika sang anak memilih ayah, ibu tidak terima. Ibu mengajukan gugatan ke pengadilan agar si anak tersebut diputuskan untuk dirawat oleh ibu. Maka ketika sampai di pengadilan sang Qadhi bertanya kepada anak, "Kamu memilih hidup bersama ayahmu atau bersama ibumu? " Maka sang anak mengatakan, "Aku lebih senang untuk hidup bersama ayahku". Si ibu kemudian berkata

أيّه قاضي
"Wahai Qadhi tolong tanyakan kepada anakku kenapa dia memilih ayahnya dibanding ibunya”. Maka sang Qadhi pun bertanya apa alasan sang anak memilih. Ternyata dikatakan, "Kalau aku bersama ibuku aku digiring untuk pergi ke Kuttab".
Kuttab itu kalau zaman dulu adalah semacam sekolah. "Aku diharuskan menghafal Qur’an, belajar ilmu sedangkan kalau aku bersama ayahku يرسلني مع الصبيان maka aku dibiarkan pergi bersama anak-anak dijalan-jalan keluyuran ke sana kemari, sehingga aku bebas, sehingga aku tidak capek", katanya.

Maka ketika sang Qadhi mengetahui alasan mengapa sang anak memilih ayah, ternyata alasannya adalah alasan yang salah. Maka sang Qodhi kemudian menerbitkan satu keputusan hukum bahwa anak tersebut dikembalikan kepada ibunya, karena ibunya belum menikah dan ibunya lebih mampu untuk mendidik menjaga.

Bukan hanya kesehatan fisiknya, bukan hanya kecukupan kebutuhan raganya, tapi juga ibunya lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan jiwanya, yaitu dengan dididik, diajari ilmu, dikirim kepada lembaga pendidikan yang baik sehingga dengan itu anak akan menjadi anak yang sholeh.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga Allāh subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah kepada kita semuanya, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.