F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-196 Hak Merawat Anak Bagian Kedua

Audio ke-196 Hak Merawat Anak Bagian Kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 10 Rabi’ul Awwal 1445 H | 26 September 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-196

📖 Hak Merawat Anak (Bag. 2)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و أصحابه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Ketika pernikahan telah berakhir sehingga suami dan istri harus berpisah, tidak lagi bersatu dalam satu rumah. Maka ada kondisi yang berbeda tentunya. Anak tidak mungkin dibelah menjadi dua, tetapi mereka harus memilih, mereka harus berada dengan salah satu dari keduanya.

Karena itu Al Mualif menjelaskan fakta ini, menjelaskan hukum ini dengan mengatakan,

وإذا فارق الرجل زوجته وله منها ولد فهي أحقُّ بحضانته إلى سبع سنين

Kalau seorang lelaki itu menceraikan istrinya dan ternyata dia telah dikaruniai anak keturunan dari istri yang dia ceraikan itu, maka istrinya lebih berhak untuk merawat, lebih berhak untuk mendidik anaknya atau yang disebut dengan “Hadhanah”.

Istri dalam hal ini (ibu) lebih berhak untuk membawa sang anak untuk dia rawat, untuk dia didik, untuk dia besarkan. Sampai kapan? Sejak lahir, sampai dia berumur 7 tahun.

Kenapa demikian? Karena pada umur-umur tersebut, pada umur balita hingga umur 7 tahun ibu lebih mampu. Biasanya, normalnya ibu lebih mampu merawat mereka. Menyusui, menyayangi, mendidiknya. Karena memang dunia anak pada umur-umur tersebut lebih dominan berada di dalam rumah, lebih dominan bersama ibu, lebih butuh pada kasih sayang.

Sedangkan ayah, ayah lebih sering keluar rumah. Beraktivitas, bekerja. Sehingga dia kurang mampu untuk merawat anak pada umur-umur di bawah 7 tahun. Sedangkan kalau anak sudah 7 tahun maka tentu anak umur 7 tahun berbeda, tidak harus selalu berada di sisi orang tuanya. Mulai sekolah, mulai berinteraksi dengan kawan di kompleksnya, bisa hidup dengan yang lain tanpa harus berada di sisi orang tuanya selalu.

Sehingga ketika anak sudah mencapai umur 7 tahun maka saat itu anak seperti kata Al Mualif,

ثم يخير بين أبويه

Kalau sudah umur 7 tahun anak diberi pilihan, ditawari apakah dia tetap ingin tinggal bersama ibunya atau dia tinggal bersama ayahnya. Untuk dirawat oleh ayahnya, dicukupi oleh ayahnya, dididik oleh ayahnya.

فأيهما اختارَ سُلَّمَ إليه

Siapapun dari salah satu dari kedua orang tuanya yang dipilih oleh sang anak, maka anak tersebut diserahkan kepada orang tua yang merupakan pilihan sang anak.

Kalau dia memilih untuk hidup bersama ayahnya, maka ibu tidak boleh melarang. Kalau dia lebih memilih untuk hidup bersama ibu, ayah tidak boleh melarang.

Kenapa? Karena saat ini anak berada dalam kondisi dilematis. Dia tidak mungkin dibelah menjadi dua. Dia harus memilih. Kalau pilihan itu dikembalikan kepada ayah ataupun ibu kemungkinan besar mereka akan centang perenang, kemungkinan besarnya mereka tidak akan bisa kata sepakat.

Karena itu pilihan itu dikembalikan kepada sang anak. Kepada siapa dia memilih. Lebih suka kepada ayah ataupun kepada ibu. Kalau itu telah ditetapkan oleh sang anak, maka orang tuanya tidak bisa menolak.

Dikisahkan bahwa ada seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan suaminya ingin merebut, ingin membawa anak tersebut. Karena dia berpikiran bahwa itu adalah anaknya. Dia akan menafkahi nasabnya kepada dia, dia yang akan mewarisi sedangkan ibu dia akan sibuk dengan urusan suami selanjutnya. Maka si ibu tidak bisa dipisahkan dengan anaknya yang masih kecil tersebut.

Maka dia segera mengadu kepada Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam,

يا رسوالله، إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء
Yaa Rasulullāh, anakku ini, perutku adalah kantong di mana dia pernah meringkuk di dalamnya, susuku adalah tempat dia minum (sumber dia minum) dan pangkuanku tempat dia selalu memanjakan dirinya.
وإن أباه
Dan ayahnya dia menceraikanku.
و أراد أن ينزعه مني
Dan dia ingin merebut anak ini dariku.
فقال رسول الله ﷺ: أنت أحق به ما لم تنكحي
Nabi menjelaskan engkau lebih berhak untuk merawat anak tersebut selama engkau belum menikah dengan lelaki lain. Karena ketika engkau telah menikah dengan lelaki lain, engkau akan sibuk mengurusi suamimu, tidak akan mampu maksimal mengurusi anak.
Dan kalaupun engkau ingin maksimal mengurusi anak, maka akan potensi terjadi pertentangan antara hak suami dengan keinginan merawat anak, dan potensi menimbulkan kecemburuan, potensi menimbulkan rusaknya keluarga kedua.

Makanya kalau dia sudah menikah, maka suami lebih berhak untuk merawat sang anak. Karena suami atau ayah dalam hal ini lebih mampu. Karena seorang laki-laki tidak harus totalitas kepada istrinya. Bisa jadi dia punya lebih dari satu orang istri.

Batasan hak istri adalah selama suami telah memberikan hak-haknya maka selesai. Sedangkan istri, dia harus betul-betul totalitas, berbakti, taat kepada suaminya.

Penjelasan di atas sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, ما لم تنكحي tersebut kemudian menjadi acuan, menjadi dasar pedoman para ulama untuk menyatakan, “Selama wanita belum menikah kembali, maka dia berhak untuk merawat. Dia lebih berhak untuk merawat anaknya sampai berumur 7 tahun.”

Kenapa 7 tahun? Karena 7 tahun itu biasanya umur yang sang anak sudah mulai bisa berpikir, anak mulai bisa diajak berkomunikasi, anak sudah memiliki keinginan.

Karena itu dalam Islam, kalau anak sudah berumur 7 tahun anak mulai diajari untuk berinteraksi dengan masyarakat luas, diajari untuk shalat berjama'ah, diajari untuk keluar rumah agar berinteraksi dengan masyarakat luas yaitu ketika dia pergi ke masjid dia berinteraksi, bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Dan orang tua ayah dalam hal ini lebih mampu untuk menunaikan hal itu dibanding ibunya.

Namun, kalau ternyata sang anak karena sudah terlanjur terbiasa dengan ibu atau merasa ibunya lebih perhatian dibanding ayahnya, maka kembali kepada sang anak untuk memilih siapakah yang dia pilih.

Kalau ternyata kadangkala sebulan dia ingin bersama ibunya, bulan kedua dia ingin bersama ayahnya, maka itu pun kembali kepada pilihan sang anak. Pada bulan pertama dia ingin bersama ibunya ternyata dia bosan. Dia mungkin kurang nyaman, kurang maksimal mendapatkan hak-haknya, kurang maksimal mendapatkan nafkah.

Sedangkan dengan ayahnya lebih maksimal untuk nafkah. Dia ingin tinggal bersama ayahnya, maka ibu tidak boleh melarang. Karena ini adalah hak prerogatif anak untuk memilih dengan siapa dia tinggal.

Karena dalam kondisi ini tidak lagi bisa diserahkan hak menentukan kepada kedua orang tuanya, karena orang tuanya centang perenang (orang tuanya telah berpisah), maka ini dikembalikan kepada sang anak. Sedangkan hak dan kewajiban anak dan juga hak serta kewajiban orang tua tidak berubah. Masing-masing pada posisinya.

Ayah wajib menafkahi semaksimal yang bisa dilakukan, ibu tetap wajib mendidiknya, merawatnya semaksimal yang bisa dilakukan. Tanpa terkurangi hanya gara-gara mereka bercerai.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allah subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah kepada kita semuanya. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.