F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-185 Nafkah Istri Bagian Ketiga

Audio ke-185 Nafkah Istri Bagian Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 25 Shafar 1445 H | 11 September 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-185

📖 Nafkah Istri (Bag. 3)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله و أصحابه ومن والاهاما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Pada kesempatan ini saya mengajak Anda, terutama kaum suami untuk memahami bagaimana dan seperti apakah kadar nafkah yang harus ditentukan oleh suami.

Al-Muallif rahimahullāhu ta'ālā menyatakan,

وهي مقدرة

Nafkah suami untuk istri itu kadarnya ditetapkan secara syari'at, ada kadar minimal.

Apa dasarnya? Dasarnya adalah firman Allāh subhānahu wa ta’ālā,

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
﴿النساء : ۱۹﴾
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
﴿البقرة : ۲۳۳﴾

Pergaulilah mereka dengan cara-cara yang baik, sewajarnya.

Dalam ayat yang lain Allāh katakan bahwa ayah itu berkewajiban untuk memberi

وَكِسْوَتُهُنَّ
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ

Memberi nafkah kepada mereka.

وَكِسْوَتُهُنَّ

Memberi sandang, pangan kepada mereka.

Semua itu dengan cara-cara yang ma'ruf, dengan cara-cara yang sewajarnya, dengan cara-cara yang layak, sesuai dengan kelayakan umum.

Dalam ayat ini dengan jelas bahwa Allāh menyatakan بِالْمَعْرُوْفِ ada batasannya, yaitu sesuai dengan batas kewajaran. Dan batas kewajaran nafkah di dalam dalil-dalil yang ada kita temukan ada isyarat-isyarat, petunjuk, yang mencerminkan bahwa kecukupan seorang istri dalam urusan nafkah itu adalah satu mud, itu batas minimal. Satu genggam bahan makanan, satu genggam beras untuk sehari.

Kalau seorang itu kaya raya, maka nafkah minimalnya adalah dua genggam beras atau dua takar dengan gengaman tangan kita, ini dua takar makanan pokok. Kalau kita itu orang yang setengah (tengah-tengahnya), tidak kaya tapi juga tidak miskin, maka satu setengah takar, dengan kedua tangan ini, kita ambil beras satu kali takar dan kemudian ambil setengahnya lagi, satu setengah.

Kalau Anda bertanya lebih jauh, lalu darimana takaran menggunakan ini? Al-Imam Syafi'i mengambil kesimpulan ini dengan menganalogikan kafarat puasa. Orang yang tidak mampu puasa Ramadhan, kalau sudah sepuh, fisiknya lemah atau sakit yang menahun tidak untuk sembuh.

Maka dia berkewajiban untuk memberi pakan, memberi makan orang miskin setiap hari, setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan, dia memberi satu makan orang miskin dan itu dijelaskan oleh para ulama, kadar minimalnya adalah satu mud, sehingga itu bukti nyata bahwa satu mud itu adalah sudah kadar yang mencukupi, bukan sekedar satu mud makanan pokok, beras saja. Tetapi sewajarnya di setiap masyarakat makanan itu diiringi dengan apa? Dengan lauk-pauknya.

Ukuran makannya (berasnya) satu mud, kemudian diberi lauk yang sewajarnya berlaku di masyarakat. Kalau kita lauknya tempe, ya tempe itu yang ma'ruf, kalau sewajarnya itu adalah daging, ikan, ya itulah yang ma'ruf, sesuai dengan kelayakan umum di masing-masing masyarakat.

Di kalangan para ulama ada satu pembahasan standar yang ma'ruf, yang wajar itu, acuannya adalah wajar menurut kemampuan dan tingkat sosial suami atau berdasarkan tingkat sosial istri, dan kewajaran sang istri, dari keluarganya masyarakat keluarga sang istri.

Dijelaskan oleh para ulama bahwa kewajaran ini, diukur dari kedua belah pihak. Wajar menurut suami, wajar menurut istri, dikompromikan. Sehingga hasil dari kompromi dari kewajaran suami, dari kewajaran istri ini, itulah kadar yang harus ditunaikan oleh suami.

Nafkah berupa sandang, pangan, dan papan yang sewajarnya berdasarkan penilaian masyarakat banyak dengan mengacu kemampuan suami dan kelayakan sang istri.

Bisa jadi kelayakan yang harus diberikan itu lebih tinggi dibanding kewajaran sang suami karena memang istri bisa jadi dari bangsawan, dari orang kaya, yang maka dia berhak mendapatkan nafkah yang lebih dari yang biasanya dibelanjakan di keluarga suami.

Atau sebaliknya, istri bisa jadi dari keluarga miskin sehingga di keluarga dia mendapatkan nafkah yang jauh di bawah itu sudah wajar. Tetapi karena suaminya adalah orang yang kaya raya, maka suami berkewajiban memberi nafkah yang layak dengan istri yang dari keluarga miskin, suami yang dari kaya raya. Maka kompromi dari dua status ini, adalah sesuatu yang wajar. Ini acuannya.

Namun kalau ternyata kedua belah pihak suami ataupun istri rela, kalau suami istri rela untuk memberi yang lebih atau memberi dari yang kurang dari itu, maka itu boleh sampai pun kalau ternyata suaminya tidak mampu memberi nafkah dan ternyata istrinya kaya raya, memiliki penghasilan. Maka istri boleh memberi suaminya, bahkan memaafkan suaminya, "Tidak usah memberi nafkah, saya yang memberi nafkah".

Suami bisa jadi mempunyai aktifitas lain juru dakwah, guru ngaji atau yang lainnya. Sehingga untuk kebutuhan rumah tangganya dicukupi oleh sang istri, ini acuan بِالْمَعْرُوْفِ.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.