F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-56 Al-Hajru Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta

Audio ke-56 Al-Hajru, Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA| 10 Rabi’ul Awwal 1445 H | 26 September 2023 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-56

📖 Al-Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله والصلاة و السلام على رسول الله و على آله و أصحاب و من ولاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Masih bersama Matan Al-Ghayah fil Ikhtisyar buah karya Syaikh Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala.

Kali ini kita sampai pada pembahasan tentang Al-Hajru (ُالحجر) yang artinya adalah membatasi kewenangan seseorang dalam melakukan satu tindakan hukum pada hartanya. Alias, kewenangan seseorang yang memiliki harta untuk membelanjakanya/menggunakannya dibatasi. Sehingga dia tidak bebas, tidak punya kewenangan untuk membelanjakan hartanya.

Kata beliau, Al Imam Abu Syuja' mengatakan,

والحجرُ على ستة

Disyariatkan untuk membatasi kewenangan seseorang yang memiliki harta kekayaan bila ia memenuhi satu dari 6 (enam) kriteria berikut.

Dengan demikian walaupun dia punya harta tapi dia tidak bisa membelanjakannya. Dia tidak bisa menggunakannya untuk berjual beli, menghibahkan, menghadiahkan.

Sehingga semua tindakan yang berakibat pada pemindahan kepemilikan baik melalui jalur transaksi (jual beli), ataupun melalui jalur sosial yaitu hibah, sedekah atau yang lainnya. Secara hukum, yaitu secara hukum syari'at tidak ada kewenangan untuknya.

Alias kewenangannya, untuk membelanjakan (untuk bertasaruf) pada kekayaannya dibatasi. Sehingga walaupun dia secara faktual menjual ataupun membeli maka penjualannya itu batal demi hukum.

Kalaupun dia menghibahkan, maka hibahnya itu batal. Kalaupun dia menikah, sehingga menyebabkan dia harus membayar mas kawin ataupun membiayai walimah maka semua itu batal demi hukum. Tidak sah. Kenapa? Karena ada alasan satu dari enam yang akan disebutkan berikut ini.

Ada satu dari enam alasan yang menyebabkan walaupun dia secara hukum sah sebagai pemilik tetapi dia tidak memiliki kecakapan hukum untuk melakukan tindakan, baik itu jual beli ataupun tindakan lain yang dapat berakibat memindahkan kepemilikan atas harta tersebut atau sebagian dari kekayaannya.

Para ahli fiqih menjelaskan ada dua model Al-Hajru (الحجرُ) pembatasan kewenangan seseorang dalam melakukan suatu tindakan hukum atas harta kekayaannya.

MODEL PERTAMA, Pembatasan yang bertujuan untuk menyelamatkan harta kekayaan demi kepentingan pemilik harta.

Pembatasan yang tujuannya adalah untuk menyelamatkan harta kekayaan agar tidak rusak, agar tidak berpindah kepemilikan sebelum waktu yang tepat. Semua itu demi kepentingan pemilik harta.

Contohnya, misalnya adalah membatasi kewenangan anak yatim yang memiliki kekayaan. Tujuan pembatasan ini agar kelak ketika anak yatim ini telah menginjak umur dewasa dan betul-betul membutuhkan harta tersebut untuk dibelanjakan, maka harta tersebut masih utuh dan dia bisa mendapatkan harta itu untuk dia belanjakan sesuai dengan kebutuhan yang ada kala itu.

Demikian pula misalnya membatasi kewenangan orang gila. Walaupun dia sudah dewasa, walaupun dia sudah baligh tetapi ketika dia cacat mental tidak memiliki kecakapan hukum untuk melakukan tindakan terhadap harta kekayaannya maka, secara syari'at Islam mensyaratkan satu hukum bahwa orang-orang semacam ini tidak boleh dan tidak sah melakukan pemindahan kepemilikan atas sebagian hartanya ataupun semuanya.

Apa tujuannya? Tujuannya adalah untuk memproteksi agar harta tersebut tidak hilang, tidak dihambur-hamburkan, tidak dirusak tanpa kesadaran, tanpa kecakapan yang cukup pada diri pemilik harta tersebut.

Ini model pertama. Yaitu membatasi kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum atas suatu harta demi kepentingan pemilik harta tersebut.

MODEL KEDUA Membatasi kewenangan pemilik harta dari melakukan satu tindakan hukum.

Baik diperjualbelikan ataupun dihibahkan atau dihadiahkan, bukan untuk kepentingan pemilik harta, tapi untuk kepentingan pihak kedua (orang lain) yaitu para kreditur.

Pihak-pihak yang telah memiliki hak terhutang atas orang pertama tadi. Dan ini yang dikenal dengan Al-Hajru 'ala Muflis, (yaitu) membatasi kewenangan orang pailit, (yaitu) orang yang hutangnya lebih besar (nominal hutangnya lebih besar) dibanding aset kekayaan yang dimiliki.

Sehingga, bisa dikatakan karena total komulasi (akumulasi) hutang yang harus dia bayarkan lebih besar dibanding aset yang dimiliki maka sudah bisa diduga bahwa dia tidak mampu bayar.

Kalau dia dibiarkan tetap membelanjakan hartanya maka kondisinya akan semakin parah. Pihak kreditur semakin dirugikan. Alias piutang mereka semakin macet, semakin banyak hak-hak mereka yang tidak bisa terbayarkan oleh orang yang pailit tersebut.

Maka untuk memproteksi hak-hak para kreditur, Islam mengajarkan Al-Hajru (mensyari'atkan Al-Hajru), mempailitkan kalau dalam hukum positif disebut dengan hukum pailit. Yaitu, pengadilan menerbitkan keputusan bahwa apapun tindakan dari orang yang telah pailit tersebut telah dinyatakan (pailit tersebut) atas kekayaannya, dinyatakan batal demi hukum.

Sehingga seluruh asetnya akan berada dibawah kuasa peradilan dan kemudian akan diserahkan kepada pihak yang ditunjuk atau yang disebut dengan kurator untuk kemudian aset tersebut dijual (dilelang) dan hasilnya akan digunakan untuk melunasi seluruh hutang-hutang yang belum dibayar atau yang belum dilunasi atau yang menjadi tanggungan orang yang pailit tersebut.

Sekali lagi, adanya ketetapan Al-Hajru ini bukan untuk kepentingan pemilik harta. Tetapi, untuk kepentingan (mengakomodir kepentingan) pihak kedua yang notabene mereka adalah pihak kreditur. Pihak-pihak yang telah menghutangkan, baik mereka adalah (misalnya) penjual yang belum menerima pembayaran atau مقرض (muqridh=orang yang menghutang) atau pihak-pihak lain yang memiliki hak atas orang tersebut dan hak tersebut belum ditunaikan.

Ini dua model Al-Hajru. Dan semuanya itu diajarkan dalam syari'at.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.