F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-172 Nafkah Di Masa ‘Iddah Bagian Ketiga

Audio ke-172 Nafkah Di Masa ‘Iddah Bagian Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 06 Shafar 1445 H | 23 Agustus 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-172

📖 Nafkah Di Masa ‘Iddah (Bag. 3)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، و الصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه
أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Kita sebagai umat Islam memiliki keteladanan yang luar biasa pada diri Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari hubungan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan Hafsah radhiyallāhu ta’ālā ‘anha mencapai pada titik kritis. Sampai akhirnya Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memutuskan untuk menceraikan Hafsah radhiyallāhu ta’ālā ‘anha karena Hafsah radhiyallāhu ta’ālā ‘anha memiliki karakter yang tajam, sikap yang keras.

Sehingga sikap Hafsah yang keras, karakternya yang tajam tersebut menjadikan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tersebut kecewa dan akhirnya memutuskan untuk menceraikan Hafsah.

Namun perceraian tersebut ternyata tidak diridhai oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā. Allāh subhānahu wa ta’ālā ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menceraikan Hafsah, sehingga Hafsah menjadi berduka sedih menangis di tempat dia shalat, di tempat yang biasanya dia memanggil dan menyebut nama Allāh, menangis tersedu-sedu, meneteskan air mata.

Allāh subhānahu wa ta’ālā mengabulkan keluhan rintihan hati Hafsah. Maka Allāh subhānahu wa ta’ālā turunkan Malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu menyampaikan perintah Allāh subhānahu wa ta’ālā kepada Nabi Muhammad agar Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam merujuk Hafsah radhiyallāhu ta’ālā ‘anha dengan dalih atau alasan

إنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ

Wahai Muhammad rujuklah Hafsah, rujuklah kembali Hafsah karena sejatinya Hafsah itu adalah wanita yang صوامة قوامة, wanita yang banyak menunaikan puasa-puasa sunnah dan juga banyak menunaikan shalat-shalat sunnah.

Subhānallāh, keshalehan Hafsah yang luar biasa diapresiasi (diakui) oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā melalui wahyu yang diturunkan oleh Malaikat Jibril. Adalah satu kelebihan yang tidak ada pada sembarang wanita, tidak dimiliki oleh kebanyakan wanita.

Kebanyakan wanita berdalih lelah mengurus keluarga, lelah mengurus rumah, sehingga tidak sempat untuk qiyamul lail dan kalaupun sempat qiyamul lail tidak sempat untuk berpuasa sunnah.

Ketulusan Hafsah dalam menunaikan ibadah, beribadah kepada Allāh. Hafsah jauh dari hingar bingar dunia yang itu merupakan kebiasaan wanita, perhiasan, pakaian sutra dan yang seterusnya. Hafsah bukan tipikal itu. Hafsah tipikal orang yang menyibukkan waktunya dengan puasa sunnah dan qiyamul lail.

Kelebihan yang ada pada Hafsah ini tidak sepatutnya diabaikan hanya karena satu atau dua hal yang itu merupakan kelemahan dan kekurangan Hafsah yaitu karakternya yang tajam, sifatnya yang keras. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā untuk menjadi contoh bagi umatnya, bagaimana menyikapi kondisi-kondisi semacam ini.

Kondisi tatkala rumah tangga terjerumus tersudut pada kebuntuan komunikasi, kebuntuan hubungan sehingga sampai akhirnya terlepas dari lisan sang suami kata-kata cerai. Dalam kondisi ini Nabi mencontohkan bahwa seorang suami sepatutnya melihat sisi positif yang terlalu banyak untuk dihitung dari istrinya. Segala kekurangan yang ada pada istri yang menjadikan suami kecewa, menjadikan suami yang sakit hati, menjadikan suami marah itu sepatunya segera diobati dengan sejuta kelebihan yang ada pada diri istri.

Itulah keteladanan yang Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam contohkan dalam kisah di atas, atas perintah Allāh subhānahu wa ta’ālā yaitu melihat sisi positif yang terlalu banyak, karena Allāh subhānahu wa ta’ālā telah menyatakan

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
[QS An-Nisa: 19]

Kalau kalian wahai para suaminya kecewa membenci sebagian perangai sang istri, maka ketahuilah sejatinya yang engkau benci, engkau kecewa itu adalah hanya sebagian saja dari karakter perangai sang istri, tetapi kalau engkau bersabar menghadapi istrimu maka Allāh telah berjanji

وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
[QS An-Nisa: 19]

Kalau engkau bersabar, tabah, ulet, berjuang untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga, memaafkan kekhilafan sang istri maka Allāh berjanji

وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
[QS An-Nisa: 19]

Allāh pasti akan memberikan, akan menunjukkan kepadamu kebaikan-kebaikan istrimu yang sangat banyak yang bisa jadi kemarin tidak engkau ingat, tidak engkau apresiasi dan engkau lihat. Ini keteladanan.

Karena itu sebagian ulama lain menyatakan bahwa dalam kondisi ini seharusnya suami dan istri berusaha semaksimal mungkin untuk merajut kembali hubungan. Jangan sampai mereka hanyut dalam bisikan setan akhirnya bersikap melampaui batas.

Terlontarnya kata-kata cerai itu sudah merupakan cambuk yang sangat menyakitkan. Melebihi sakitnya lecutan cambuk yang mengenai jasad sang istri. Kalau suami betul-betul berniat untuk mendidik memberikan teguran, hardikan yang keras maka terlontarnya kata-kata, "Saya ceraikan kamu” itu. Itu sudah sangat menyakitkan hati.

Kalau dia adalah seorang wanita yang shalihah, wanita yang terhormat, wanita yang berakal sehat itu sudah menjadi lecutan yang sangat menyakitkan yang menjadikan dia harus sadar menjadikan dia harus segera berbenah diri, mawas diri untuk mengakui membenahi kekurangan (kesalahan) yang ada pada dirinya.

Sebagai suami ketika dia harus melihat sebagai seorang pemimpin yang idealnya berjiwa besar ketika dia sedang melihat rumah tangganya akan segera berakhir. Rumah tangganya akan segera hancur berantakan, masa depan anak akan terancam, hubungan keluarga besar antara keluarga istri dan keluarga suami akan ternodai dan bisa jadi berakhir di situ.

Seorang pemimpin pasti sudah bisa menerawang masa depan, sehingga seharusnya pada kondisi semacam ini menjadikan dia segera waspada, segera ambil langkah-langkah preventif agar bencana besar itu tidak terjadi dan dapat dia cegah sebelum terlambat. Sehingga dengan sikap yang kooperatif kedua belah pihak untuk membangun, merajut kembali, membenahi hubungan yang sempat retak tersebut keduanya bisa rujuk dan kembali.

Karenanya sebagian ulama menyimpulkan bahwa pendapat yang lebih tepat adalah bila dalam kondisi masa ‘iddah itu, keduanya berusaha untuk merajut dan kalau terjadi hubungan badan maka itu adalah satu hal yang halal karena hubungan pernikahan mereka masih ada, masih mengikat sesama mereka.

Dan bahkan menurut sebagian ulama, hubungan badan yang mereka lakukan di masa ‘iddah itu dianggap sebagai rujuk atau yang disebut dengan rujuk bil fi'li (merujuk istri dengan tindakan) yaitu dengan menggauli karena berhubungan badan itu tidak halal untuk dilakukan kecuali oleh sang suami.

Namun sebagian lagi menyatakan bahwa hubungan badan itu akan dianggap sebagai rujuk bila sang suami meniatkan itu sebagai rujuk. Sebagai usaha untuk mempertahankan hubungan badannya bukan dalam rangka menghinakan, bukan dalam rangka melampiaskan kekecewaan ataupun amarahnya.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allāh subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah kepada kita semuanya. Sampai jumpa di lain kesempatan. Dan mohon maaf atas segala kekurangan.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.