F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-35 Jual Beli Sesama Komoditi Riba Bagian Pertama

Audio ke-35 Jual Beli Sesama Komoditi Riba Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 11 Shafar 1445H | 28 Agustus 2023M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-35

📖 Jual Beli Sesama Komoditi Riba Bagian Pertama

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. اما بعد

Masih bersama redaksi matan al-ghayah fil ikhtisyar buah karya syaikh imam Abu Syuja’ rahimahullah ta'ala.

Kali ini kita sampai pada pernyataan beliau:

ولا بيع ما فيه الربا بجنسه رطبا إلا اللبن.
Tidak boleh menjualbelikan komoditi riba dengan sesama komoditi riba yang sejenis (satu kering dan yang satu dalam kondisi masih basah).
Contohnya, Gandum yang baru panen (masih basah) dengan gandum yang sudah siap dijadikan tepung (gandum kering), karena gandum basah yang baru panen ketika nanti dijemur (dikeringkan) kadarnya pasti susut (mengalami penyusutan) sehingga ketika terjadi barter gandum kering dengan gandum basah, kurma kering dengan kurma yang masih basah (segar/baru panen) tidak diketahui apakah kadar keduanya sama, tidak dapat dipastikan bahwa keduanya dalam hitungan takaran atau volume yang sama.

Karena gandum basah/kurma basah akan mengalami penyusutan, kenapa? karena ketika kering kadarnya sama dengan kurma yang sedari awal kering, tidak ada yang bisa memastikan.

Hanya prediksi, padahal dalam ketentuan jual beli komoditi riba dengan komoditi riba, kesamaan takaran, kesamaan timbangan, betul-betul harus terwujud, ketika transaksi, sama dapat dipastikan ini 1 kg dan ini 1 kg, atau ini 1 Liter dan ini 1 Liter.

Tidak boleh asumsi, kalau dikeringkan saya berasumsi akan mendapatkan 1 kg, berarti ini 1 kg juga. Ini tidak boleh.

Oleh karena itu dalam literasi fiqih di gariskan satu kaidah:

الجهل بالتساوي كالعلم بالتفاضل

Ketika anda membarterkan komoditi riba (barang-barang yang berlaku kepadanya hukum riba) dengan barang yang sejenis, maka الجهل بالتساوي - ketidak pastian adanya kesamaan takaran, kesamaan volume, sudah dianggap diberlakukan sama halnya dengan adanya kepastian terjadi selisih takaran.

Contoh sederhananya untuk memberikan gambaran, penjelasan lebih jelas, ketika anda membarterkan gandum basah dengan gandum kering, gandum keringnya 1 Liter dan gandum basahnya 1.4 Liter (misalnya), dengan asumsi gandum basah ini ketika dikeringkan akan menyusut sebanyak 40% sehingga nanti seandainya anda barter 1.4 Liter dengan 1 Liter gandum kering. Ketika ini dijemur nanti akan menghasilkan gandum kering yang takarannya 1 Liter. Itu asumsi (prediksi) bukan kepastian.

Asumsi semacam ini tidak berlaku (tidak diterima), adanya kesamaan yang berdasarkan asumsi atau prediksi itu bisa benar bisa salah, bisa tepat bisa meleset, dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam hukum riba, kesamaan takaran, kesamaan volume itu betul-betul harus berdasarkan sesuatu yang real (nyata) di saat transaksi dilangsungkan.

Suatu hari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ditanya perihal membarterkan kurma kering dengan ruthab (kurma segar yang baru dipanen). Nabi bertanya ingin menjelaskan (ingin mengajarkan) kepada penanya.

Nabi menjawab pertanyaan sahabat tersebut dengan balik bertanya, untuk mengingatkan (menjelaskan) kepada si penanya alasan atau pertimbangan hukum yang akan beliau sampaikan nanti.

Beliau bertanya:

أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟

Engkau bertanya perihal barter kurma kering dengan kurma segar, saya bertanya kepada anda, "Apakah kurma segar ini kalau di keringkan nanti akan mengalami menyusutan?"

Penanya menjawab: فَقَالُوا نَعَمْ , “Tentu, wahai Rasulullah, pasti mengalami penyusutan”.

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: قال فلا إذَن., “Kalau demikian, maka tidak boleh barter kurma kering dengan kurma basah”.

Sejatinya Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengetahui bahwa setiap kurma basah kalau dikeringkan pasti mengalami penyusutan kadar (volume) tetapi sengaja Nabi bertanya, mempertanyakan itu kepada si penanya untuk memberikan edukasi, menuntun, menunjukkan kepadanya pertimbangan, acuan hukum, titik masalah dari larangan memperjualbelikan kurma kering dengan kurma basah.

Yaitu karena kurma basah akan menyusut ketika dikeringkan maka ketentuan tasyawi, kesamaan kadar ini tidak dapat dipenuhi, maka itu adalah transaksi terlarang, karena syarat jual beli barter komoditi riba barang-barang yang berlaku padanya hukum riba harus betul-betul ada kepastian sama kadarnya.

Dan para ulama telah menjelaskan bahwa menurut madzhab Syafi'i komoditi riba itu semua jenis bahan makanan, baik itu makanan pokok atau selain makanan pokok, bila dibarterkan dengan sejenis. Beras dengan beras, jagung dengan beras, ubi dengan beras, maka ada dua kondisi.
  1. Kondisi pertama, bila sama jenisnya, jagung dengan jagung maka harus memenuhi dua kriteria (dua persyaratan) transaksinya tunai terjadi serah terima fisik di saat akad dan sama takarannya
  2. Kondisi kedua, kalau ternyata itu barter antara dua jenis makanan yang berbeda, jagung dengan buah apel misalnya, maka syaratnya satu yaitu terjadi serah-terima fisik di saat akad. Ini di dalam madzhab Syafi'i.
Menurut madzhab yang lain dan itu, wallahu ta'ala a'lam yang lebih kuat bahwa yang di maksud dengan komoditi riba itu hanya pada makanan pokok dan kelompok bumbu, yaitu gandum, kurma, kemudian beras, jagung atau makanan pokok yang lain, atau kelompok bumbu seperti garam, gula dan kelompok bumbu yang lain seperti bawang dan yang serupa.

Bila dibarterkan dengan sesama, maka syaratnya dua yaitu tunai serah terima fisik dan sama takarannya, sama satuannya. Kalau dibarterkan dengan berbeda garam dengan beras, maka boleh beda takaran tetapi harus tunai.

Ini yang dimaksud dengan komoditi riba, memang ada perbedaan pendapat yang lebih kuat adalah riba itu berlaku pada emas perak dan alat transaksi, itu kelompok pertama, kelompok kedua adalah pada makanan pokok dan bumbu.

Ini pendapat yang diajarkan dalam madzhab imam Malik dan madzhab imam Ahmad dan salah satu riwayat dari beliau, sehingga dengan kembali mengingat penjelasan ini, maka kita bisa memahami pernyataan muallif (penulis) yaitu imam Abu Syuja’ tentang larangan memperjualbelikan bahan makanan yang masih basah dengan bahan makanan yang sejenis tapi dalam kondisi kering.

Karena ketentuan sama, takaran sama, volume itu betul-betul harus berdasarkan pada fakta barang yang diperjualbelikan, bukan asumsi, prediksi atau taksiran semata. Betul-betul harus sama sesuatu yang berdasarkan fakta real di saat transaksi.

Ini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon maaf. Kita akhiri dengan kafaratul majelis.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.