F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-175 Hak-Hak Wanita yang Diceraikan Bagian Ketiga

Audio ke-175 Hak-Hak Wanita yang Diceraikan Bagian Ketiga
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 11 Shafar 1445 H | 28 Agustus 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-175

📖 Hak-Hak Wanita yang Diceraikan (Bag. 3)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Berbicara tentang wanita yang diceraikan, penjelasan bahwa wanita yang diceraikan tiga kali tidak berhak mendapatkan nafkah, maka berdasarkan hadits Fathimah binti Qais, seorang shahabiyyah, seorang wanita sahabat Nabi shallallāhu 'alaihi wa sallam yang oleh suaminya diceraikan sebanyak tiga kali, diceraikan untuk ketiga kalinya.

Maka oleh suaminya ia dikirimi nafkah yang sangat sedikit.

فتسَخَّطتهُ

Maka Fathimah binti Qais kecewa dengan nafkah tersebut, maka dia segera bergegas kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya dan mengatakan, "Kalau memang aku tidak berhak mendapatkan nafkah maka aku tidak akan mengambil sepeser pun dari mantan suamiku, tetapi kalau aku memang berhak maka aku akan meminta selayaknya yang seharusnya aku terima".

Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Fathimah binti Qais, beliau bersabda:

لا سُكْنى لك وَلَا نَفَقَةً
Sejatinya engkau tidak berhak untuk mendapatkan tempat tinggal dan juga tidak berhak mendapatkan nafkah.
Dalam hadits ini dengan jelas Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menafikan nafkah dan juga sukna (سُكْنى) tempat tinggal bagi wanita yang diceraikan tiga kali. Namun menurut Imam Asy-Syafi'i hadits ini berseberangan dengan ayat di atas [lihat halaqah 174] yang bersifat umum bahwa semua wanita yang diceraikan berhak mendapatkan sukna (سُكْنى).

Sehingga Imam Asy-Syafi'i lebih memprioritaskan, lebih mentarjih, lebih menguatkan, lebih memilih untuk mengamalkan, untuk menfatwakan dengan dasar keumuman ayat. Sedangkan ulama yang lain lebih mengedepankan hadits, karena haditsnya dengan lugas menyatakan,

لا سُكْنى لك وَلَا نَفَقَةً
Engkau tidak punya hak untuk nendapatkan papan atau tempat tinggal dari suamimu dan juga tidak berhak mendapatkan nafkah.
Kemudian Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Fathimah binti Qais untuk menjalani masa 'iddah yaitu sekali haid di rumahnya salah seorang sahabat yang buta.

Kenapa? Karena sahabat tersebut buta sehingga tidak bisa melihat Fathimah binti Qais. Karena Fathimah binti Qais tidak mempunyai rumah, maka oleh Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dititipkan di rumah salah seorang sahabat yang buta, yang dia (sahabat itu) memiliki istri tentunya. Sehingga Fathimah binti Qais radhiyallāhu ta'ālā 'anha bisa menjalani masa satu kali haid tersebut tanpa harus tersakiti atau terlunta-lunta karena tidak memiliki tempat tinggal.

Pendapat kedua, menyatakan berdasarkan hadits ini jelas Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal dan juga tidak mendapatkan nafkah. Adapun ayat, maka ayat itu bersifat umum sedangkan hadits ini bersifat khusus (dalil yang khusus).

Ketika terjadi kontroversi antara dalil yang umum dengan dalil yang khusus, maka secara tinjauan ilmu Ushul Fiqih, kita harus lebih mengedepankan dalil yang bersifat khusus. Sehingga keumuman ayat di atas di takhsis (dikecualikan) kasus ini, yaitu kasus wanita yang diceraikan untuk ketiga kalinya atau yang disebut dengan talak ba'in. Tidak mendapatkan nafkah dan juga tidak mendapatkan tempat tinggal.

Kemudian dalam kisah Fathimah yang oleh Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjalani satu kali haid yang menurut sebagian ulama itu dianggap sebagai 'iddah dan yang lainnya menganggap sebagai istibra' bukan 'iddah tetapi proses satu kali haid untuk memastikan bahwa rahimnya dalam kondisi kosong.

Beliau diperintahkan untuk tinggal di rumahnya Ibnu Ummi Maktum (Abdullah ibnu Ummi Maktum radhiyallāhu ta'ālā 'anhu) karena beliau adalah seorang buta. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika memberikan arahan kepada Fathimah bintu Qais untuk menjalani masa satu kali haid itu di rumah Ibnu Ummi Maktum.

Beliau berpesan,

لا تسبقيني بنفسك
Wahai Fathimah binti Qais, setelah engkau nanti menjalani satu kali masa haidh, jangan buru-buru menetapkan sikap, terlebih dahulu bermusyawarahlah dengan aku, kabarkan kepadaku apa yang akan engkau lakukan."
Maka ketika Fathimah telah selesai dari masa satu kali haid, beliau segera mengabarkan kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah suci dari haidnya. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam segera melamar Fathimah binti Qais untuk dinikahkan dengan Usamah ibnu Zaid ibnu Haritsah radhiyallāhu ta'ālā 'anhu.

Akan tetapi ada satu kejadian yang unik di sini, ternyata Fathimah binti Qais ini bukan wanita sembarangan, dia adalah wanita yang cantik jelita, wanita yang shalihah, sehingga banyak lelaki, banyak sahabat yang menanti-nanti momentum untuk bisa melamar Fathimah binti Qais.

Maka sekedar Fathimah binti Qais selesai dari masa 'iddahnya ada dua orang sahabat lain yang mereka bergegas melamar Fathimah binti Qais yaitu Abu Jahm dan Muawiyyah ibnu Abi Sufyan. Sehingga ketika Fathimah bintu Qais datang kepada Nabi beliau bukan sekedar menceritakan bahwa satu kali haidnya telah berlalu, tapi juga menceritakan bahwa sudah ada dua sahabat yang telah melamarnya, yaitu Abu Jahm dan Muawiyyah bin Abi Sufyan.

Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepadanya,

أمَّا أبو جَهْمٍ ، فإنه لا يَضعُ عصاهُ عن عاتقِهِ
Adapun Abu Jahm maka dia itu lelaki yang sering memukul wanita sedangkan Muawiyyah bin Abi Sufyan
صعلوكٌ لا مالَ لَهُ
Dia pemuda tapi miskin tidak mempunyai harta, tidak punya uang.
Padahal namanya rumah tangga butuh finansial, butuh nafkah.

ولكن انكِحي أسامةَ
Tetapi wahai Fathimah, hendaknya engkau menikah dengan Usamah.
Fathimah bintu Qais semula terkejut dengan saran Nabi ini. Kenapa? Karena Usamah ibni Zaid adalah mantan budak, sedangkan Fathimah binti Qais seorang bangsawan seorang yang bermartabat, kalau boleh dikata dalam bahasa kita berdarah biru.

Maka beliau tersentak dengan lamaran Nabi ini karena ternyata beliau melamar bukan untuk diri Nabi, tapi ternyata untuk dinikahkan dengan mantan budaknya. Tetapi sebagai seorang wanita yang shalihah kemudian beliau introspeksi diri bahwa pilihan Nabi pasti yang terbaik, Nabi tidak mungkin memilihkan yang buruk.

Walaupun secara hasrat beliau lebih cenderung kepada dua sahabat sebelumnya karena jelas-jelas mereka orang-orang yang merdeka, apalagi Muawiyyah adalah salah seorang bangsawan, putra seorang pemuka Quraisy.

Tetapi Fathimah akhirnya tetap memilih dan menerima saran Nabi untuk menikah dengan Usamah bin Zaid dan Subhanallāh, karena beliau betul-betul berserah diri kepada Allāh dan Rasul-Nya, betul-betul yakin bahwa pilihan Rasulullāh itu yang terbaik.

Maka Fathimah binti Qais setelah menjalani beberapa waktu pernikahan beliau sadar ternyata pilihan Nabi betul-betul terbaik, sehingga beliau mengatakan:

فَاغْتَبَطْتُه
Aku betul-betul bahagia mendapatkan suami Usamah bin Zaid radhiyallāhu ta'ālā 'anhu.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.