F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-173 Hak-Hak Wanita yang Diceraikan Bagian Pertama

Audio ke-173 Hak-Hak Wanita yang Diceraikan Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 07 Shafar 1445 H | 24 Agustus 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-173

📖 Hak-Hak Wanita yang Diceraikan (Bag. 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، و الصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه
أما بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Berbicara tentang wanita yang diceraikan, maka perceraian itu bukan akhir dari segala-galanya. Setelah suami menceraikan menegaskan menyatakan dengan tegas bawah dia menceraikan istrinya maka itu bukan selesai semua masalah.

Masih ada sisa-sisa masalah yang harus mereka selesaikan di antara mereka berdua. Kalau perceraian yang terjadi di antara mereka adalah perceraian yang pertama kali atau kedua kali maka telah kita bicarakan sebelumnya, mereka masih berstatus sebagai suami istri, wajib menafkahi, wajib memberi sandang pangan dan papan.

Dan bahkan menurut sebagian ulama, suami dan istri yang telah bercerai karena statusnya masih suami dan istri mereka masih boleh berhubungan badan.

Namun apakah dengan sekedar hubungan badan itu serta-merta dianggap sebagai rujuk. Sebagian ulama menyatakan iya, kalau sampai terjadi hubungan badan di antara mereka maka perceraian tersebut teranulir atau mereka rujuk kembali sehingga hubungan pernikahan yang sempat retak kembali menjadi erat.

Sebagian ulama mengatakan tidak, karena pernikahan itu terjalin dengan ijab dan qabul dengan pernyataan, perceraianpun diungkapkan dengan pernyataan maka rujukpun juga harus dinyatakan dengan pernyataan.

Adapun tindakan maka itu multitafsir sehingga tidak bisa serta merta langsung diartikan itu sebagai pernyataan rujuk. Sebagian ulama mengatakan, “Betul pernikahan itu diikat dengan pernyataan, perceraian pun dinyatakan dengan pernyataan saya ceraikan kamu, namun tidak dengan demikian dengan rujuk”.

Kenapa? Karena rujuk itu adalah mempertahankan, berbeda dengan pernikahan itu memulai ikatan, perceraian itu adalah mengakhiri (memutus) ikatan sedangkan rujuk itu adalah tindakan suatu sikap untuk mempertahankan.

Ketika suami yang semula telah mengatakan, "Saya ceraikan engkau". Dan ternyata dia menggauli istrinya, itu pertanda bahwa dia masih menyayanginya dia masih membutuhkannya dan itu adalah lebih konkret lebih nyata tentang ekspresi akan keinginan membangun rumah tangga yang harmonis, karena itu dia tidak ingin melepaskan (kehilangan) salah satu tujuan utama pernikahan yaitu memproteksi diri dari hubungan zina, dari perbuatan zina, sehingga dia menyalurkan hasratnya kepada yang halal.

Ini bagaikan suatu rumah satu bangunan yang semula dia sudah mempersiapkan diri untuk merobohkan rumah tersebut namun ternyata yang semula dia sudah bersiap untuk merobohkan rumah itu dengan mengeluarkan perabotnya, dengan keluarganya dikeluarkan dari rumah tersebut namun ternyata dia kembali lagi menginap di rumah tersebut.

Tempat tidurnya kembali dimasukkan, perabotnya kembali ditata ulang maka semua orang yang menyaksikan sikap itu akan berkata, "Oh berarti tidak jadi dirobohkan".

Demikian pula halnya hubungan pernikahan, ketika semula sudah menyatakan, "Saya ceraikan kamu", namun ternyata dia bersikap harmonis merayu, membujuk istrinya untuk terjadi hubungan badan maka itu cukup mewakili ungkapan ingin mempertahankan pernikahan.

Ada pendapat lain, pendapat kedua tadi secara tinjauan logika cukup beralasan namun masih butuh didukung oleh dalil yang lebih kuat. Karenanya sebagian ulama berusaha mengkompromikan antara dua (pendapat pertama dan kedua) dengan menyatakan:

Bahwa kalau suami di saat menceraikan itu dan di masa ‘iddah kemudian menggauli istrinya, mencumbu, merayu istrinya yang dia ceraikan dengan diiringi niat untuk mempertahankan pernikahan, niat untuk rujuk, maka walaupun belum diutarakan dalam bentuk ucapan, maka cumbuannya, rayuannya bahkan hubungan badan antara mereka itu sudah dianggap sebagai rujuk.

Karena apa? Ada niat dan ada ekspresi tindakan konkret.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Setiap amalan itu pasti ada niat dan tujuannya dan setiap orang akan mendapatkan hasil dari tindakannya sesuai dengan apa yang dia niatkan. (HR Bukhari dan Muslim)
Adapun bila dia menggauli istrinya yang telah dia ceraikan itu walaupun masih berlangsung masa ‘iddah tetapi tidak ada niat untuk merujuk tetapi cuma sekedar eksploitasi karena dia merasa menafkahi, merasa memberi sandang pangan papan, dia tidak mau semua itu gratis begitu saja, cuma-cuma begitu saja.

Dia ingin mendapatkan imbalannya mendapatkan haknya. Dia tidak ingin mempertahankan pernikahan, dia hanya eksploitasi. Padahal tentu hubungan pernikahan tidak sepatutnya ada tujuan ataupun ada niat-niat eksploitasi namun ternyata yang terjadi justru itu.

Maka kalau tidak ada niat rujuk walaupun terjadi hubungan badan berkali-kali selama masa ‘iddah menurut pendapat ketiga tidak dianggap sebagai rujuk dan wallāhu ta’ālā a’lam, pendapat ini menurut hemat saya lebih moderat karena berusaha mengakomodir, menggabungkan berbagai alasan dan dalil yang diutarakan oleh seluruh ulama.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.