F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-171 Nafkah Di Masa Iddah Bagian kedua

Audio ke-171 Nafkah Di Masa Iddah Bagian kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 05 Shafar 1445 H | 22 Agustus 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-171

📖 Nafkah Di Masa ‘Iddah (Bag. 2)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، و الصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengajak anda untuk berbincang-bincang tentang hak-hak wanita yang telah diceraikan selama wanita itu masih menjalani masa ‘iddah. Apakah suami masih punya hak untuk menggauli istrinya? Dan apakah sang istri boleh melayani suami yang telah menceraikan tersebut selama masa ‘iddah berlangsung?

Terjadi kontroversi (perselisihan) di kalangan para ulama. Dalam Madzhab Syafi'i dinyatakan mereka tidak boleh berhubungan badan. Namun pendapat ini diselisihi oleh ulama yang lain. Mereka menyatakan, “Status selama Allāh subhānahu wa ta’ālā masih menyatakan lelaki itu adalah suaminya, بَعْل (suami) maka itu pertanda bahwa hak-hak suami masih melekat”.

Hubungan atau hukum yang terjadi antara suami dan istri itu masih tetap ada. Karena tidak ditemukan satu dalil yang valid (satu dalil yang kuat, yang shahih) yang mengatakan bahwa mereka tidak lagi boleh berhubungan.

Bahkan secara tinjauan Maqashid Syari'ah (secara tinjauan makna arti) mereka seharusnya berusaha untuk merajut kembali, berusaha untuk membangun kembali rumah tangga mereka yang mulai rusak.

Apalagi secara syari'at Allāh subhānahu wa ta’ālā dan rasul-Nya lebih senang mereka untuk rujuk dibanding mereka meneruskan perceraian hingga akhirnya mereka berpisah untuk seterusnya. Allāh subhānahu wa ta’ālā memerintahkan menganjurkan kita untuk mendamaikan dua orang yang berseteru: kawan dengan kawannya, sahabat dengan sahabatnya, tetangga dengan tetangga sesama umat Islam walaupun tidak ada hubungan apapun di antara mereka selain hubungan Islam.

Allāh memerintahkan kita untuk mendamaikan, Allāh memerintahkan, mensyari’atkan untuk memaafkan agar hubungan di antara dua orang muslim ini kembali harmonis.

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ

Tidak ada kebaikan yang terdapat pada perbincang-bincangan yang terjadi di antara manusia. Kecuali bila mereka berbincang-bincang, berbisik-bisik dalam hal amar ma'ruf nahi mungkar ataupun,[QS An-Nisa: 112]

إِصْلَٰحٍ بَيْنَ ٱلنَّاسِ

Mendamaikan antara 2 orang yang berseteru.

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sejatinya orang beriman itu adalah saudara. Karena itu damaikanlah diantara mereka yang sedang berseteru.[QS Al-Hujurat: 10]
Kalau mendamaikan (menormalisasi) hubungan di antara 2 orang Islam adalah suatu hal yang dianjurkan, apalagi menormalisasi (mengembalikan) hubungan suami dan istri yang sempat retak agar bisa kembali harmonis seperti sediakala tentu itu lebih dianjurkan.

Sebaliknya rusaknya hubungan pernikahan di antara mereka, putusnya ikatan nikah di antara mereka itu adalah sesuatu yang sangat dinanti-nantikan, sangat diinginkan oleh iblis dan bala tentaranya. Karenanya Islam tentu tidak merestui hal-hal yang dapat menjadikan setan merasa senang, merasa girang.

Karena rusaknya hubungan pernikahan itu menjadi pintu lebar bagi setan untuk terus melancarkan aksinya. Menggoda, menjerumuskan, merusak keluarga tersebut dari suami istri dan juga anak keturunan serta kedua keluarga besar mereka. Membangkitkan kebencian, membangkitkan permusuhan, membangkitkan saling tuduh dan saling fitnah, persengketaan, perseteruan yang sangat panjang.

Karena itu perceraian itu sangat menggembirakan setan. Sehingga sebagian ulama lain memandang dari sudut yang berbeda. Mereka menyatakan bahwa seharusnya setelah terjadinya perceraian kedua belah pihak tersebut selama masih berjalan masa ‘iddah berusaha mencurahkan segala daya, segala cara yang bisa mereka lakukan. Untuk menormalisasi, mengembalikan hubungan pernikahan yang mulai retak tersebut agar kembali utuh, agar mereka kembali harmonis karena,

فَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ

Rusaknya hubungan antara dua orang Islam walaupun bukan suami dan istri, rusaknya hubungan antara dua orang sesama muslim, itu kata nabi حالقة (itu akan menggundul). Kata Nabi,

لاَ أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ

Aku tidak katakan rusaknya hubungan itu akan menjadikan orang gundul (tercukur seluruh rambutnya), tidak.

وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّينَ

Akan tetapi rusaknya hubungan antara dua muslim itu akan menjadikan agama mereka luntur, agama mereka rusak, seakan-akan mereka tidak lagi kenal dengan agama. Karena dendam, amarah nafsu untuk membalas itu menjadikan orang lupa daratan, kalap (menghalalkan segala macam cara).

Karenanya kalau dikatakan bahwa dengan terjadinya perceraian mereka tidak lagi boleh berhubungan kecuali rujuk, maka ini menjadikan rujuk itu sesuatu yang berat karena mereka harus melakukan loncatan dari amarah yang menjadikan mereka bercerai, kekecewaan atau perseteruan, perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan yang menjadikan mereka harus cekcok dan akhirnya bercerai. Sangat berat!

Biasanya secara tradisi, sangat berat untuk bisa dihapuskan seketika. Harus ada proses step-by-step (sedikit demi sedikit) agar kekecewaan, sakit hati, amarah, persengketaan di antara mereka itu dapat diurai sedikit demi sedikit. Salah satu kiat agar hubungan mereka kembali harmonis adalah bila istri itu berusaha membujuk rayu, berusaha untuk tampil secantik mungkin di hadapan suaminya dan suaminya pun berusaha untuk bersikap yang empati kepada istri yang telah diceraikan agar mereka tidak terus hanyut, tidak terlalu jauh hanyut dengan godaan setan, dendam kesumat.

Dan kalaupun memang mereka harus bercerai, harus berpisah, seharusnya perpisahan itu dilakukan secara baik-baik. Kalaupun mereka marah, maka keputusan untuk berpisah itu seharusnya dilakukan di saat kepala sudah mulai dingin, dada sudah mulai tenang, hati sudah mulai lapang.

Sehingga keputusan bercerai atau keputusan untuk kemudian melanjutkan perceraian menjadi betul-betul putus ikatan dilakukan dalam kondisi keduanya betul-betul sadar dengan segala konsekuensi, memahami segala resiko yang terjadi dan bahkan keduanya tolong-menolong, bahu-membahu untuk meminimize (mengecilkan), menyempitkan efek negatif yang terjadi akibat keputusan mereka bercerai.

Mereka harus berpikir panjang, mereka harus mengedepankan mashlahat yang lebih besar. Bolehlah mereka tidak menemukan titik temu. Hubungan mereka harus berakhir, ada kebuntuan komunikasi. Tetapi mereka harus memikir, mereka punya anak keturunan yang harus dijaga masa depannya. Kepentingan anak keturunan mereka bukan hanya kepentingan istri ataupun suami. Tetapi untuk kepentingan mereka berdua.

Bisa jadi mereka berpisah (bercerai), tetapi keduanya pasti akan tetap bahagia bila anak keturunan mereka tetap menjadi anak yang tumbuh dewasa. Menjadi anak yang sholeh, tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan kedua orangtuanya dan bahkan mereka akan terus mendapatkan haknya serta pendidikan yang baik.

Jangan sampai nafsu dendam, kekecewaan, amarah menjadikan berjatuhan banyak korban. Bukan hanya dirinya yang menjadi korban. Tetapi juga anak keturunannya, keluarga besarnya. Apalagi bila suami dan istri itu memiliki hubungan kerabat. Kalau sampai keputusan mereka bercerai, itu menjadikan hubungan kekerabatan, silaturahmi itu putus. Maka ini tentu nilai yang terlalu mahal untuk kita bayarkan. Demi apa? Demi dendam, demi melampiaskan kekecewaan atau demi mempertahankan sikap dan pendapat personalnya.

Seharusnya kita berpikir panjang, berjiwa besar, berjiwa lapang agar kita bertindak secara proposional. Kalau memang kebuntuan komunikasi itu hanya dengan suami atau dengan istri, cukup suami dan istri yang menanggung kerugian, menanggung resiko kebuntuan tersebut tanpa perlu menyeret keluarga besar, tanpa perlu melibatkan anak keturunan yang itu tentu kalau kita nilai terlalu mahal nilainya bila dibandingkan dengan ego pribadi.

Apa untungnya, kalaupun seorang ibu mengorbankan bahagianya di dunia kalau itu adalah sebuah kebahagiaan? Kalau dia memutuskan minta bercerai atau suami memutuskan untuk menceraikan istrinya demi mempertahankan kebahagiaan hidupnya atau demi mempertahankan bisnisnya maka itu terlalu murah, terlalu remeh bila dibandingkan dengan masa depan anak keturunan kita.

Karenanya di masa-masa ‘iddah menurut pendapat ulama yang lain, mereka menganjurkan justru suami istri itu harus berusaha untuk bersikap yang simpatik dihadapan pasangannya. Agar amarah, agar dendam, agar kekecewaan yang menjadikan mereka terseret dalam perceraian ini bisa luruh dan akhirnya mereka bisa merajut lagi keluarga yang sakinah.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allāh subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah kepada kita semuanya. Sampai jumpa di lain kesempatan. Dan mohon maaf atas segala kekurangan.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.