F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-170 Nafkah Di Masa Iddah Bagian Pertama

Audio ke-170 Nafkah Di Masa Iddah Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN| 04 Shafar 1445 H| 21 Agustus 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-170

📖 Nafkah Di Masa Iddah Bagian Pertama


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن ولاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengajak anda untuk berbincang-bincang tentang hak-hak wanita yang telah diceraikan. Terutama wanita yang telah diceraikan sebanyak 3 kali atau yang dikenal dengan talak ba'in.

Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu mengawali pembahasan tentang hak-hak wanita yang diceraikan selama wanita itu masih menjalani masa iddah. Beliau mengatakan,

ويجب للمعتدة الرجعية السكنى والنفقة

ويجب

Wajib hukumnya atas suami yang menceraikan untuk memberikan istri yang dia ceraikan selama masih berlangsung masa iddah. Dan perceraian itu adalah perceraian yang raj'i. Suami wajib memberikan

السكنى والنفقة

Memberikan tempat tinggal yang layak bagi istri yang dia ceraikan.

Hingga istri itu menjalani masa iddah dan berakhir masa iddahnya kelak.

Yang kedua, suami juga tetap wajib memberikan nafkah (mencukupi kebutuhan sang istri) yang dia ceraikan selama masa iddahnya. Karena wanita yang dia ceraikan pada dengan talak raj'i (talak pertama) ataupun yang kedua statusnya itu masih sebagai istri. Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Al-Qur'an menyatakan,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ
Dan suami-suami mereka selama masa iddah masih berlangsung lebih berhak untuk menentukan pilihan. [QS Al-Baqarah: 228]
Pilihan berupa apa? Berupa merujuk kembali sang istri yang dia ceraikan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam ayat ini menamakan istri yang diceraikan dengan sebutan,

بُعُولَتُهُنَّ
Suami-suami mereka.
Atau lelaki yang menceraikan dengan talak raj'i disebut dengan,بَعْل (suami).

Karenanya para ahli fiqih menyimpulkan bahwa berarti selama masa iddah, status hubungan pernikahan itu masih ada (masih terjalin). Lelaki adalah suami, wanita adalah sebagai istri. Sehingga hak-hak sebagai suami, hak-hak sebagai istri tetap wajib ditunaikan. Kecuali beberapa hal yang memang dijelaskan dalam dalil-dalil bahwa itu menjadi gugur gara-gara adanya perceraian.

Di antaranya adalah kewajiban suami untuk berbuat adil bila dia memiliki lebih dari satu istri. Istri yang dia ceraikan tidak lagi wajib untuk di bagi harinya. Sehingga suami yang menceraikan tadi boleh seutuhnya tinggal di rumah istri yang dia tidak ceraikan.

Adapun istri yang sedang menjalani masa iddah tidak lagi punya hak untuk mendapatkan bagian hari. Sekali lagi tidak lagi memiliki hak. Bukan berarti suami tidak boleh. Perlu dibedakan antara hak yang harus ditunaikan dengan kedermawanan seorang suami.

Boleh saja tetap tinggal di rumah tersebut bersama istrinya yang dia ceraikan. Barangkali dengan dia tetap tinggal di situ hubungan yang retak, hubungan yang kurang harmonis itu dapat dirajut kembali.

Pada penjelasan Al Mualif di sini, Al Imam Abu Syuja' menggambarkan bahwa, hak-hak sebagai istri berupa nafkah, berupa sandang, pangan, papan itu masih melekat dan harus ditunaikan oleh suami. Yang gugur hanyalah hak untuk mendapatkan bagian hari.

Lalu bagaimana halnya dengan hubungan badan di antara mereka? Apakah suami masih punya hak untuk menggauli istrinya? Dan apakah sang istri boleh melayani suami yang telah menceraikan tersebut selama masa iddah berlangsung? Terjadi kontroversi (perselisihan) di kalangan para ulama.

Dalam literasi Mazhab Asy-Syafi'i Rahimahullah, hak hubungan badan menjadi gugur sehingga suami tidak lagi boleh menggauli istrinya selama masa iddah dan istri juga tidak boleh melayani sang suami selama masa iddah sampai sang suami merujuk.

Selama suami belum memutuskan untuk rujuk maka dia tidak punya hak dan bahkan tidak boleh untuk menggauli sang istri. Istri juga tidak boleh melayani sang suami. Kenapa? Karena hubungan pernikahan yang menjadikan mereka halal untuk berhubungan badan telah mulai rapuh, mulai rusak.

Sehingga mereka harus mulai mempersiapkan diri untuk mengakhiri hubungan, untuk tidak lagi berhubungan badan. Karena alasan untuk kembalinya mereka pada hubungan semula sebelum adanya pernikahan sudah mulai terjadi yaitu pernikahan. Proses pemutusan ikatan itu sudah terjadi walaupun belum seutuhnya lepas dari ikatan tersebut.

Tetapi akad yang semula menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal yaitu akad nikah sudah mulai rusak, mulai rapuh dan bahkan mulai terputus, hingga mereka memutuskan untuk rujuk. Selama tidak terjadi rujuk maka dalam Mazhab Syafi'i dinyatakan mereka tidak boleh berhubungan badan.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan taufik kepada kita semuanya. Sampai jumpa di lain kesempatan. Dan mohon maaf atas segala kekurangan.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.