F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-165 'Iddah Wanita Bag. 5

Audio ke-165  'Iddah Wanita Bag. 5
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU| 16 Dzulhijjah 1444 H | 5 Juli 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-165

📖 'Iddah Wanita (Bag. 5)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاهاما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Masih bersama tema Al-'Iddah (العِدَّة), yaitu satu masa yang harus dijalani oleh wanita ketika dia diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya.

Al Imam Abu Syuja' menyatakan,

وإن كانت صغيرة أو ءايسةً فعدتها ثلاثة أشهر

Kalau seorang wanita itu yang diceraikan (seorang istri yang diceraikan) itu masih kecil belum sempat haid (belum baligh). Dinikahkan belum baligh dan kemudian dicerai dalam kondisi juga belum baligh atau wanita yang diceraikan itu adalah telah mencapai masa monopouse (tidak lagi haid, tidak lagi mengalami datang bulan), maka masa ‘iddahnya adalah 3 bulan genap. Masa ‘iddahnya adalah 3 bulan genap, yaitu hitungan 3 bulan itu kalau bertepatan perceraian itu terjadi pada awal bulan maka mudah, sederhana. Hitung 3 bulan selanjutnya.

Tetapi kondisi ini jarang terjadi. Seorang suami menunggu datangnya bulan baru, baru menceraikan. Seringkali perceraian itu terjadi secara spontanitas ketika terjadi amarah cekcok ketidakharmonisan dan itu tidak menunggu tanggal baru (tanggal 1). Tidak!

Maka kalau perceraian itu terjadi di tengah-tengah bulan, misalnya suami menceraikan sang istri pada tanggal 10 Muharram maka ada dua metode dalam menghitung hitungan 3 bulan.

1. Metode yang pertama

Dengan menghitung sang istri menjalani sisa bulan Muharram. Berarti tinggal 2/3 kira-kira. Kemudian memasuki bulan Safar maka itu adalah bulan pertama. Memasuki bulan Rabi'ul Awwal maka itu adalah bulan kedua.

Dan selanjutnya untuk sisa bulan ketiganya maka istri menjalani sisa hari dari bulan Muharram yaitu 10 hari. Yaitu 10 hari.

Maka sang istri ketika mencapai atau sampai pada tanggal 10 bulan Rabi'ut Tsani dan terbenam matahari pada tanggal 10 itu, sang istri dianggap telah keluar dari masa ‘iddah.

Sehingga metode ngitungnya adalah bulan pertama dihitung berkurang, kedua genap, ketiga genap. Kedua genap, ketiga genap, baru nanti menyelesaikan sisa bulan pertama.

2. Metode kedua dengan menghitung hari.

30 hari pertama adalah bulan pertama, 30 hari kedua bulan kedua, 30 hari ketiga itu adalah bulan ketiga.

Apapun metode yang anda gunakan, maka in syaa Allāh boleh, maka in syaa Allāh boleh. Tidak masalah. Karena dua-duanya merupakan pendapat yang dihasilkan para ulama.

Dan tidak ada dalil yang tegas mengajarkan metode menghitung bulan masa ‘iddah. Yang ada adalah ijtihad para ulama sehingga dua-duanya pendapat itu boleh anda gunakan.

والمطلقة قبل الدخول بها لا عدة عليها

Adapun wanita yang dicerai sebelum sempat berhubungan badan dengan sang suami (sebelum terjadi hubungan dengan sang suami), maka wanita tersebut tidak harus menjalani masa ‘iddah. Boleh langsung menikah dengan lelaki lain. Kenapa? Karena tujuan disyaratkannya ‘iddah tidak relevan lagi.

Misalnya, mencegah terjadinya percampuran nasab. Tidak terjadi karena wanita itu belum sempat digauli atau memberikan kesempatan kepada sang suami untuk rujuk kembali. Maka ini juga tidak relevan.

Kenapa? Karena kalau sampai terjadi perceraian padahal mereka belum sempat ketemu, itu menunjukkan bahwa mereka memang tidak layak untuk bersatu. Tidak layak untuk menjadi suami dan istri. Maka tentu akan lebih bijak bila keduanya segera menikah dengan pasangan yang lain.

Jika tidak ada perlunya memberikan kesempatan lagi kepada sang suami untuk berpikir ulang.

Karena memang ini adalah kondisi yang langka dan kondisi yang luar biasa. Secara logika tidak mungkin suami yang baru saja menikah langsung saja menceraikan.

Kecuali karena memang ada alasan yang betul-betul relevan, betul-betul kuat yang tidak mungkin bisa terkalahkan, tidak mungkin bisa dihilangkan dalam waktu yang singkat. Tidak mungkin.

Karenanya sungguh tepat bila Islam telah menetapkan bahwa wanita yang diceraikan sebelum bergaul (sebelum ketemu, berhubungan badan dengan suami) boleh langsung menikah dengan lelaki lain tanpa harus menjalani masa ‘iddah.

Satu hal yang perlu anda ingat bahwa yang dimaksud dengan الدُخُولُ (berhubungan badan) di sini bukan berarti harus betul-betul berhubungan badan. Karena itu sesuatu yang sulit untuk dibuktikan. Tetapi para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hubungan badan di sini adalah sekedar terjadinya kesempatan untuk sang suami menggauli istri. Yaitu ketika mereka telah berada di suatu ruangan secara berduaan, di kamar tidur. Atau yang diistilahkan oleh para ulama dengan,

إرخاء الستور

Ketika suami sudah menutupkan pintu kamar walaupun kemudian dia segera keluar kembali, maka itu sudah dianggap sebagai wanita yang telah dijamah. Sehingga dia harus menjalani masa ‘iddah. Walaupun riilnya (prakteknya) betul-betul belum digauli. Tetapi kemungkinan terjadinya hubungan badan itu sudah terjadi. Kesempatan itu sudah terjadi.

Sedangkan hukum syar'i itu selalu dikaitkan dengan sesuatu yang kasat mata, mudah diidentifikasi, mudah dibuktikan. Karenanya para ulama tidak mengaitkan hukum ini, hukum kewajiban menjalani masa ‘iddah atau tidak ini dengan sesuatu yang sulit dibuktikan yaitu hubungan badan. Karena itu sesuatu yang tidak boleh dilihat. Dan juga tidak perlu diceritakan, tidak pantas untuk diceritakan.

Sehingga kemudian para ulama menjelaskan hukum ini dikaitkan dengan مَظِنَّة (adanya peluang terjadinya hubungan badan), yaitu apa? Ketika mereka telah masuk dalam kamar dan kemudian menutup pintu.

Kalau suami belum sempat berduaan dalam satu kamar kemudian menceraikan, maka sang istri tidak perlu menjalani masa ‘iddah. Tapi kalau mereka sudah sempat masuk di kamar secara berduaan dan pintu telah ditutup sehingga potensi terjadinya hubungan badan itu terjadi, maka itu sudah dianggap sebagai دخول . Yang menjadi persyaratan sang istri itu wajib menjalani masa ‘iddah.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga menambah hasanah keilmuan kita. Akhirul kalam.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.