F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-164 'Iddah Wanita Bag. 4

Audio ke-164 'Iddah Wanita Bag. 4
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA| 15 Dzulhijjah 1444 H | 4 Juli 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-164

📖 'Iddah Wanita (Bag. 4)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Masih bersama tema Al-'Iddah (العِدَّة), yaitu satu masa yang harus dijalani oleh wanita ketika dia diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya.

Al Imam Abu Syuja' menyatakan,

وإن كانت حائلاً وهي من ذوات الحيض فعدتها ثلاثة أقراء وهن الأطهار

Kalau wanita yang diceraikan itu adalah wanita yang dalam kondisi tidak sedang hamil. Dia tidak sedang hamil. Karena ketika dia sedang hamil maka masa ‘iddahnya adalah dengan lahirnya janin yang ada dalam perut.

Baik itu lahir dalam waktu yang lama ataupun dalam waktu yang pendek. Maka sekedar lahir, maka dia telah keluar dari masa ‘iddah. Sedangkan kalau dia atau wanita yang diceraikan itu dalam kondisi حائلاً (tidak sedang hamil), maka perlu dirinci. Bila dia adalah wanita yang masih normal datang bulan secara rutin, maka masa ‘iddahnya adalah 3 quru' yaitu 3x masa suci, karena Allāh subhānahu wa ta’ālā telah menegaskan,

وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’
[QS Al-Baqarah: 228]

Wanita-wanita yang dicerai itu wajib menanti sebelum mereka menikah lagi dengan lelaki lain. Menanti selama berapa? 3 kali quru'.
Untuk memberikan kesempatan kepada suami ataupun kepada istri untuk memikirkan ulang tentang kelanjutan dari perceraian tersebut.

Apakah memang mereka akan meneruskan perceraian itu sehingga akhirnya keluar dari masa ‘iddah, betul-betul hubungan pernikahan mereka putus atau kemudian mereka mencoba kembali untuk merajut (menata ulang) rumah tangga mereka yang mulai retak.

Kalau memang keduanya beriktikad baik, keduanya selama masa ‘iddah ini betul-betul menata ulang pikirannya, bermuhasabah (intropeksi diri), maka Allāh subhānahu wa ta’ālā akan memberikan kemudahan kepadanya untuk bisa menata ulang rumah tangga mereka yang semula harmonis kemudian berujung pada perceraian ini.

Karena Allāh subhānahu wa ta’ālā telah menegaskan,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.[QS Al-Baqarah: 228]
Suami-suami lebih berhak menetapkan suatu keputusan, menetapkan pilihan. Apakah rujuk atau mengakhiri pernikahan. Keputusan ini, kewenangan ini berlaku selama masa ‘iddah masih berlaku. Suami lebih berhak untuk menetapkan pilihan selama masa ‘iddah masih berlaku. Dengan catatan,

إِن يُرِيدَآ إِصْلَـٰحًۭا
Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan [QS An-Nisā: 35]
Bila keduanya memutuskan untuk rujuk itu dalam rangka menginginkan kebaikan memiliki iktikad baik.

Aisyah radhiyallāhu ta'ālā ‘anha menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,

إِنَّمَا الْأَقْرَاءُ الْأَطْهَارُ
Sejatinya dimaksud dengan quru' itu adalah masa suci.
Sehingga penjelasan Aisyah ini menjadi salah satu dasar atau alasan atau dalil bagi Al Imam Syafi'i dan juga yang lainnya untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masa ‘iddah wanita yang masih normal (menjalani masa-masa haid) adalah dengan berlalunya 3x kali masa suci.

Sehingga kalau seorang wanita diceraikan pada masa suci yang dia belum sempat digauli pada masa suci tersebut, maka itu masa itu terhitung 1 suci, 1 masa suci. Ketika dia haid dan kemudian suci kembali maka suci yang ke-2 itu terhitung yang ke-2 dan kalau yang ke-3 dia haid dan kemudian masa suci lagi maka masa suci ini masa yang ke-3.

Ketika datang bulan yang selanjutnya berarti sejak pertama kali darah mengalir dari kemaluannya (keluar darah haid) keluar dari kemaluannya, maka dia telah keluar dari masa ‘iddah. Sehingga sejak itu pula wanita itu boleh menikah dengan lelaki lain, tentunya bila suami (sang suami) yang menceraikan tadi tidak memutuskan untuk rujuk pada masa ‘iddah.

Tetapi bila seorang wanita diceraikan pada masa-masa dia sedang haid maka sebelumnya telah dijelaskan bahwa suami yang menceraikan istrinya di saat sedang haid wajib untuk merujuk istri tersebut kembali. Tidak boleh menceraikan istri dalam kondisi sedang haid, wajib dirujuk.

Karena memang masa-masa tersebut bukan masa ideal untuk menjatuhkan perceraian. Seringkali perceraian yang dilakukan di saat istri sedang haid itu perceraian yang diambil secara tergesa-gesa atau disebut dengan prematur, (keputusan emosional). Makanya diwajibkan untuk rujuk.

Kemudian dia disyari'atkan untuk menahan istri, mempertahankan pernikahannya sampai sang istri menjalani masa suci setelah masa haid yang diceraikan padanya. Kemudian hingga datang lagi mata haid barulah ketika suci ke-2 boleh diceraikan, kalau memang suami tetap bersikukuh ingin menceraikan sang istri.

Sehingga kalau diceraikan dalam masa haid, maka istri belum menjalani masa ‘iddah. Karena suami diwajibkan untuk rujuk. Berbeda halnya ketika sang istri diceraikan di masa suci namun sebelum perceraian itu terjadi keduanya sempat berhubungan badan, maka perceraian ini termasuk perceraian yang diharamkan atau yang disebut oleh para ulama, para ahli fiqih dengan thalak bid'i (talak yang menyelisihi tuntunan Nabi shalallāhu 'alaihi wa sallam).

Tentu suami berdosa ketika menjatuhkan perceraian pada masa-masa tersebut. Kenapa? bukan karena perceraian tersebut bersifat prematur (bersifat emosional sesaat), tidak! Tetapi perceraian tersebut membuka pintu kerusakan, membuka pintu masalah baru yaitu terjadinya potensi percampuran nasab. Karena bisa jadi sang istri marah, sakit hati, kecewa dan ingin segera mengakhiri hubungan dengan sang suami tersebut.

Padahal dari hubungan badan tersebut yang baru saja dia lakukan bisa jadi terjadi kehamilan. Namun karena emosional yang meledak-ledak sebagaimana sang suami tidak kuasa menahan emosionalnya sehingga dia menceraikan sang istri, bisa jadi sang istri terjerembab dalam kondisi yang sama. Dendam, kekecewaan, amarah yang menyebabkan dia ingin segera berlepas diri dari sang suami yang telah menyakitinya, menceraikannya. Padahal mereka baru saja memadu asmara.

Sehingga walaupun dia hamil, dia berusaha menutup-nutupi kehamilannya. Mengesankan bahwa dirinya dalam kondisi suci. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Penipuan, merahasiakan status kehamilan sampai ketika 3 masa atau 3 bulan kira-kira berlalu istri merasa telah keluar dari masa ‘iddah dan kemudian dia bisa saja menikah dengan lelaki lain, maka terjadilah satu bencana besar. Yaitu apa? Percampuran nasab. Karena wanita itu ternyata sedang hamil dan kemudian menikah dengan lelaki lain. Sehingga ketika dia digauli, dia digauli dalam kondisi sedang hamil dari suami pertamanya.

Makanya dalam Islam menceraikan istri yang sedang haid itu hukumnya haram. Kalau sampai dilakukan, maka wajib dirujuk.

Yang kedua menceraikan istri yang dalam kondisi suci. Namun sempat digauli pada masa suci tersebut itu termasuk perceraian yang haram, perceraian yang bid'ah. Tentu berdosa besar, berdosa besar. Namun sang suami tidak diwajibkan rujuk kalau dia menceraikan istri dalam kondisi suci walaupun baru saja digauli, itu haram. Tapi tidak wajib dirujuk.

Sehingga berbeda 2 kondisi yang sama-sama haram, tetapi ketika menceraikan dalam kondisi haid wajib rujuk, ketika menjalankan di masa suci yang telah bergaul padanya, tidak wajib rujuk.

Sedangkan masa suci ini atau dan masa suci ini termasuk dihitung sebagai masa ‘iddah. Sehingga si wanita itu menjalani sisa masa sucinya dan ini merupakan quru' yang pertama (masa suci pertama). Kalau dia haid, kemudian suci lagi maka ini adalah suci yang ke-2. Kalau dia haid lagi, lalu kemudian cuci lagi, maka ini adalah masa suci ke-3. Sehingga ketika masa suci itu telah berakhir dan suami ternyata tidak merujuk, maka istri telah keluar dari ‘iddahnya sehingga dia boleh menikah dengan lelaki lain.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga menambah hasanah keilmuan kita. Akhirul kalam.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.