F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-147 Suami Bersumpah untuk Tidak Menggauli Istrinya Bag. 5

Audio ke-147  Suami Bersumpah untuk Tidak Menggauli Istrinya Bag. 5
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 13 Dzulqa’dah 1444 H | 02 Juni 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-147

📖 Suami Bersumpah untuk Tidak Menggauli Istrinya Bag. 5


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Masih bersama tema Ila’.

Setelah 4 bulan, suami ketika dia tidak ingin menceraikan istrinya karena masih cinta dia ingin mempertahankan rumah tangganya, dia harus mengakhiri sumpahnya dan karena dia secara de facto, secara nyata-nyata telah melanggar sumpahnya, maka dia harus membayar kafarat. Membayar kafarat sumpah yaitu;
  • kalau dia bisa memerdekakan budak maka memerdekakan budak,
  • kalau tidak, maka dia memberi makan 10 orang miskin
  • atau memberi pakaian 10 orang miskin,
  • kalau dia tidak mampu itu semua (tidak mampu 3 pilihan tersebut), maka dia boleh menggantinya dengan berpuasa 3 hari.
فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيْمَٰنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
Kata Allāh ‘azza wa jalla, “Engkau berpuasa kalau tidak mampu memerdekakan budak, kemudian juga tidak mampu memberi pakaian, atau memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, maka kafaratnya adalah dengan berpuasa tiga hari, baik 3 hari berturut-turut atau 3 hari secara terpisah.” [QS Al-Maidah: 89]
Karena kata Allāh :
ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيْمَٰنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
Itulah kafarat dari sumpah kalian yang telah terlanjur kalian ucapkan.
Ketika dia memilih untuk kembali, maka berarti hubungan rumah tangga mereka akan seperti sedia kala, tidak terjadi perceraian dan tidak berkurang sedikitpun hitungan perceraian yang dimiliki oleh suami atau hak untuk menceraikan yang dimiliki oleh suami. Dan dengan adanya Ila’ hubungan suami dan istri ini masih seperti sedia kala tidak terjadi perceraian sehingga istri tetap wajib melayani, suami tetap wajib menafkahi memberi rumah, sandang, pangan, papan dan seterusnya.

Tetapi ketika suami memutuskan untuk menceraikan maka dia harus segera mengucapkan kata-kata cerai, "Saya ceraikan istriku". Sekedar berlalunya 4 bulan tidak serta merta jatuh cerai sampai betul-betul suami mengatakan, "Saya ceraikan istriku".

Karena Allāh subhānahu wa ta’ālā dengan memberikan isyarat berfirman,

وَإِنْ عَزَمُوا۟ ٱلطَّلَـٰقَ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ
Kalau para suami yang telah bersumpah tidak menggauli istrinya itu bertekad untuk menceraikan istrinya maka sejatinya Allāh itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui [QS Al-Baqarah :227]
Sebagai isyarat bahwa perceraian yang diinginkan oleh suami itu harus diucapkan secara lugas, secara tegas oleh suami.

Sehingga Allāh menyebutkan atau mengakhiri ayat ini dengan menyebutkan dua sifat Allāh subhānahu wa ta’ālā yaitu ٱلْسَّمِيعُ yang Maha Mendengar sebagai isyarat bahwa perceraian itu harus diucapkan. Tidak cukup dengan sekedar berlalunya 4 bulan sejak dia bersumpah tidak menggauli istri.

Dan kalau dia ternyata memilih yang lebih baik, yaitu mempertahankan rumah tangganya tentu itu adalah pilihan yang lebih baik, memaafkan istri, berusaha membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, maka ini sekali lagi pilihan yang lebih baik dan dia melanggar sumpahnya itu, dia tidak berdosa.

Jangan khawatir wahai para suami, jangan khawatir untuk melanggar sumpahmu kalau ternyata memang faktanya mempertahankan rumah tangga itu lebih baik, lebih besar maslahatnya, karena sumpahmu itu disyariatkan untuk ditebus yaitu dengan membayar kafarat.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam saja memberikan satu arahan yang bersifat global. Beliau mengatakan,

إِنِّي لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ،ثُمَ رَأَتُ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ كَفَّرْتُ عَنْ يَمِينِي
Tidaklah aku bersumpah dengan satu sumpah kemudian aku mengetahui ada pilihan lain yang lebih baik dibanding mempertahankan sumpah kecuali akan aku lakukan pilihan yang lain tersebut yang nyata-nyata lebih baik dibanding mempertahankan sumpahku. Dan kemudian aku menebus (membayar) kafarat atas sumpah yang terlanjur aku ucapkan. (Bukhari, (6718) dan Muslim, (1649) dari Abu Musa Al-Asy’ari)
Sehingga anda jangan terlalu terbebani dengan sumpah yang terlanjur anda ucapkan dan itulah ketentuan syari’at dan itulah Sunnah Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Berusaha untuk mempertahankan rumah tangga itu percayalah itu lebih baik dibanding anda mempertahankan ego hanya sekedar untuk apa? Mempertahankan sumpah. Melanggar sumpah dengan membayar kafarat itu lebih ringan dibanding Anda harus merusak rumah tangga anda dengan perceraian.

Ketika suami telah memilih untuk tidak menceraikan, bahkan ingin kembali maka dia harus segera menggauli istrinya tidak cukup dia mengatakan, "Ayo kita rajut kembali rumah tangga kita". Dia harus gauli istri tersebut untuk membuktikan bahwa dia betul-betul (sungguh-sungguh) ingin merajut rumah tangga yang harmonis.

Karena sumpah dia telah menjadikan istri berada seakan di pinggir jurang. Ancaman bahaya yaitu dia punya hasrat untuk melampiaskan nafsunya tapi tidak terlampiaskan, maka dia harus obati itu. Dia harus sembuhkan rasa dahaga istrinya tersebut. Dengan apa? dia gauli sebagaimana wajarnya suami istri yang harmonis, dia gauli istrinya.

Tetapi kapankah dia harus membayar kafarat?
Apakah dia gauli dahulu baru membayar kafarat?
Atau dia bayar kafarat dulu baru dia menggaulinya?

Dua-duanya boleh. Anda boleh membayar kafarat dulu baru menggauli istri atau anda gauli istri anda dahulu baru kemudian membayar kafaratnya, dua-duanya boleh karena arahan dari Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk ataupun memberikan kelapangan dalam hal itu

Kemudian al-Muallif rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,

فإن امتنع منها طلق عليه الحاكم

Kalau suami setelah sampai 4 bulan, tidak juga mau mengakhiri sumpahnya dengan menggauli dan kemudian memperlakukan istri dia sebagaimana layaknya seorang istri. Suami tidak lagi atau tetap tidak mau membangun rumah tangga yang harmonis.

Dia ingin tetap mempertahankan sumpahnya. Diminta menceraikanpun dia juga tidak kooperatif menceraikan istrinya. Dia tetap tidak ingin melepas istrinya tetapi dia juga tidak ingin menggauli dengan cara-cara yang baik. Dia ingin mempertahankan sumpah. Dia ingin tetap istrinya berada di bawah kekuasaan dia, maka

طلق عليه الحاكم

Saat ini momentum yang tepat bagi hakim, bagi pengadilan agama untuk campur tangan.

Maka ketika istri merasa dizhalimi sehingga dia tidak terima dengan perlakuan ini, setelah 4 bulan hakim memanggil sang suami diberi opsi dua pilihan. Pilih salah satu. Ketika dua-duanya tidak dia pilih. Dia keukeuh dengan pendiriannya, dia tidak ingin menggauli istrinya, maka sang hakim dengan kewenangannya, dengan kekuasaannya menjatuhkan perceraian.

Dalam rangka apa? Dalam rangka melindungi sang istri, membentengi sang istri agar tidak berlarut-larut dalam kondisi yang dilematis yang bisa menyebabkan sang istri terjerumus dalam lubang nista perzinahan.

Maka kewenangan seorang hakim akan menjatuhkan perceraian sehingga suami rela atau tidak rela pengadilan akan memutuskan jatuh cerai. Dan perceraian yang dijatuhkan oleh hakim ini adalah perceraian talak raj’i (talak satu). Kalau suami tidak ingin jatuh cerai dia ingin mempertahankan, ingin betul-betul mempertahankan rumah tangganya maka dia harus rujuk. Dia punya kesempatan untuk rujuk kepada sang istri

Tetapi perlu diingat, bahwa Allāh subhānahu wa ta’ālā hanya mengijinkan sang suami untuk merujuk istri bila sang suami betul-betul memiliki iktikad baik untuk membangun rumah tangga bermu’asyarah berinteraksi dengan istrinya dengan cara-cara yang baik

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَـٰحًا[QS Al-Baqarah :228]

Sang suami punya hak kewenangan untuk merujuk istrinya selama masa ‘iddah (pada masa ‘iddah) dengan syarat apa? إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَـٰحًۭا, bila mereka ingin kebaikan.

Dengan rujuk itu dia ingin mencari kebaikan bukan mempertahankan egonya apalagi menjadikan rujuk itu sebagai sarana agar dia bisa terus menzhalimi sang istri.

Kalau sampai itu terjadi maka sang suami dosa dan bahkan menurut sebagian ulama rujuknya dianggap tidak sah kalau terbukti bahwa dia rujuk hanya sekedar ingin menzhalimi sang istri, memperpanjang kesempatan untuk bisa menyakiti sang istri, maka dia berdosa bahkan menurut sebagian ulama sekali lagi rujuknya dianggap tidak sah karena tidak memenuhi kriteria. Karena Allāh dengan jelas-jelas mengatakan,

إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَـٰحًا

Suami lebih berhak untuk rujuk bila dia punya itikad baik, untuk apa? Merajut rumah tangga yang harmonis.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.