F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-152 Zhihar Bag. 5

Audio ke-152 Zhihar Bag. 5
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 20 Dzulqa’dah 1444 H | 09 Juni 2023 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-152

📖 Zhihar (Bag. 5)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاهاما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Masih bersama tema Zhihar.

Al-Muallif al-Imam Abu Syuja' lebih lanjut menjelaskan tentang perincian kafarat (tebusan yang harus dibayar sang suami)

و الكفارة

Dan kafarat perbuatan zhihar kalau ternyata sang suami menjilat kembali ludahnya dan mempertahankan rumah tangganya walaupun itu adalah sebetulnya pilihan yang terbaik dibanding dia menceraikan tetapi ketika dia memilih pilihan yang terbaik yaitu mempertahankan istrinya ini sebagai bukti nyata bahwa dia telah berdusta sehingga dia telah memikul dosa besar, maka dia harus membayar kafarat, dia harus menghapuskan, dia harus membersihkan jiwanya dari dosa zhihar ini.

Dan kafarat itu kata al-muallif berupa

عتق رقبة مؤمنة

Memerdekakan budak yang mukminah (yang beriman), kalau dia memerdekakan budak yang kafir maka dalam mazhab Imam Syafi'i tidak cukup (tidak sah) harus budak yang mukminah.

Apa dalilnya? Apa alasan atau hujah atau argumen yang menjadi alasan al-Imam Syafi'i dan para pengikutnya untuk mensyaratkan bahwa budak yang boleh dijadikan sebagai kafarat zhihar harus budak yang mukminah (muslimah) adalah qiyas dengan kafarat pembunuhan.

Allah subhānahu wa ta’ālā dalam ayat lain dengan tegas bahwa orang-orang yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja maka kafaratnya adalah

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍۢ مُّؤْمِنَةٍۢ
Memerdekakan budak mukminah. [QS. An-Nisa : 92]
Maka kemudian Imam Syafi'i menganalogikan kafarat dalam zhihar dengan kafarat kepada kafarat pembunuhan tanpa disengaja walaupun istidlal (pendalilan) Imam Syafi'i ini dan kesimpulan dari istidlal (pendalilan) beliau ini ditentang oleh sebagian ulama yang lain, kenapa?

Karena Allah subhānahu wa ta’ālā di dalam kafarat pembunuhan dengan sengaja mempersyaratkan budak yang dimerdekakan itu mukminah, kenapa demikian?

Karena dosa pembunuhan itu jauh lebih besar dibandingkan dosa zhihar sedangkan Allah subhānahu wa ta’ālā sebagaimana dijelaskan oleh para ahli fiqih lebih senang bila suami mempertahankan rumah tangganya. Karena itu tidak relevan (tidak tepat) bila dianalogikan kafarat zhihar dengan kafarat pembunuhan karena dalam hukum-hukum pernikahan Islam memberikan keringanan tidak seperti halnya hukum pembunuhan, Islam justru memberatkan (memberikan hukuman yang berat). Membebani hukum yang berat kenapa? Karena dosa pembunuhan jauh lebih berat dibanding dosa zhihar.

Karenanya menurut sebagian ulama cukup baginya untuk memerdekakan budak walaupun budak itu bukan budak yang beriman atau bukan budak yang muslimah. Dan secara tinjauan dalil pendapat ini cukup kuat.

Kemudian beliau memberikan kriteria

سليمة من العيوب المضرة بالعمل والكسب

Budak yang dimerdekakan adalah budak yang bebas cacat (tidak cacat/tidak ada cacat) padanya yang menyebabkan dia tidak bisa bekerja, tidak bisa beramal, tidak bisa mencari penghasilan karena kalau budak itu budak yang cacat lumpuh atau buntung misalnya, sehingga dia ketika dimerdekakan tidak lagi ada yang menafkahinya, maka ini justru mencelakakan budak tersebut.

Padahal dalam kaidahnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Memerdekakan budak yang buntung semacam ini, budak yang tidak mampu bekerja karena lumpuh, budak yang cacat misalnya cacat berat yaitu sama saja membinasakan sang budak. Maka ini harus dicegah tidak boleh terjadi agar kita tidak membebaskan menebus dosa orang yang berdosa dengan ber-zhihar dengan menambah dosa baru yaitu apa? menyebabkan sang budak yang dimerdekakan terjatuh dalam kebinasaan karena tidak lagi ada yang menafkahinya. Sebelumnya dia nafkahi oleh majikan tapi tatkala dimerdekakan maka bisa saja sang majikan bercuci tangan, tidak lagi mau menafkahi karena bukan lagi menjadi tanggung jawabnya.

Sehingga sama saja menebus dosa dengan menjatuhkan sang budak dalam dosa lagi. Menyebabkan sang budak terjatuh pada kebinasaan. Ini bagaikan membasuh najis dengan air kencing, semakin banyak dosa yang terjadi.

Maka para fuqoha terutama dalam mazhab Imam asy-Syafii menyatakan bahwa budak yang boleh dimerdekakan sebagai kafarat adalah budak yang kalau dimerdekakan dia beruntung. Kenapa? dengan dimerdekakan dia bebas untuk berkarya, dia bisa mencari pekerjaan, dia bisa mandiri, dia bisa mencari penghasilan untuk apa? Membangun sukses hidup yang layak sebagaimana layaknya manusia-manusia yang merdeka lainnya.

Kemudian masalah ini, masalah yang kedua itu budak yang dimerdekakan betul-betul harus budak yang bebas cacat, ini juga termasuk permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para ulama, karena apa? Karena dalil dalam surat Mujadilah juga bersifat mutlak,

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا
“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”[QS. Al-Mujadilah : 3]
Dia wajib memerdekakan budak sebelum kemudian keduanya boleh untuk saling bercampur kembali

Dalam ayat ini Allah tidak menyebutkan kriteria budak, maka sebagian ulama terutama yang berafiliasi kepada mazhab Zhahiri, mereka berpegangan dengan ayatnya secara tekstual bahwa ayatnya berkata budak. Apapun wujudnya selama dia itu budak maka boleh dimerdekakan walaupun budak itu buntung cacat lumpuh bahkan mungkin dalam kondisi sakaratul maut selama dia masih hidup maka ketika dia dimerdekakan maka telah memenuhi kriteria memerdekakan budak.

Tetapi al-Imam Asy-Syafi’i berusaha mengkompromikan ayat ini dengan sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh kita dengan sengaja mencelakakan orang ataupun membalas perbuatan orang dengan yang lebih berat.

Kalau kita yang berniat baik untuk menebus dosa orang yang zhihar (menyerupakan istri dengan orang tuanya, dengan ibunya) namun ternyata upaya membersihkan dosa ini membuka pintu dosa lain yaitu menyebabkan sang budak yang semula dinafkahi, semula dirawat justru sekarang terlantar dan bisa jadi binasa, maka ini sama saja membasuh dosa dengan membuka pintu dosa yang lebih besar, tentunya.

Kenapa? Karena dengan dimerdekakan maka dia tidak ada lagi yang merawatnya dan kalau itu sampai terjadi maka sama saja membunuh sang budak tersebut, atau minimal mencelakakan menjerumuskan budak itu dalam kesusahan, kecelakaan yang besar. Ini alasan latar belakang mengapa al-Imam Syafi'i mensyaratkan kriteria budak itu budak yang bebas dari cacat yang menghalanginya dari bekerja.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.