F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-149 Zhihar Bag. 2

Audio ke-149 Zhihar Bag. 2
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 17 Dzulqa’dah 1444 H | 06 Juni 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-149

📖 Zhihar (Bag. 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه
اما بعد


Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Al-Imam Abu Syuja’ rahimahullāh menjelaskan seluk beluk hukum Zhihar.

Ada kisah lain, salah seorang sahabat yang sudah tua tetapi dia emosional (pemarah). Aus ibnu Shamit radhiyallāhu ta'ālā 'anhu ketika suatu hari dia marah kepada istrinya di luar batas kemarahan, di luar kontrolnya, dia marah kemudian dia menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya.

"Aku tidak lagi bernafsu melihat kamu", misalnya.

Dalam bahasa kita (kita bahasakan), "Kamu itu tak ubahnya ibuku sendiri, ketika melihat wajahmu seperti melihat punggung ibuku, aku tidak bernafsu lagi!"

Maka tentu ucapan ini sangat menyakitkan hati wanita.

Maka istri Aus bin Shamit radhiyallāhu ta’ālā ‘anhu tidak terima, dia mengadu kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam perihal apa yang dilakukan oleh suaminya. Padahal suaminya ini adalah saudara sepupunya sendiri, masih kerabatnya, masih keluarganya sendiri.

Tapi itulah dinamika hidup!

Orang kalau sudah hanyut dalam marah, kemudian amarahnya itu tidak dikendalikan, tidak dilawan, maka bisa jadi menimbulkan, menjatuhkan, menjerumuskan pelakunya dalam perbuatan yang berbahaya, perbuatan dosa yang besar.

Maka tidak selang berapa lama, turunlah surat Al-Mujādilah.

قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِی تُجَـٰدِلُكَ فِی زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِیۤ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ یَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۤ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.”[QS. Al-Mujādilah : 1]
Sungguh Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengadukan ulah suaminya.

وَتَشۡتَكِیۤ إِلَى ٱللَّهِ

Dan ia betul-betul mengeluh kepada Allāh subhānahu wa ta’ālā atas perilaku suaminya kepada dirinya.

وَٱللَّهُ یَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۤ

Kemudian Allāh juga betul-betul telah mendengar komunikasi yang terjadi antara dirimu wahai Muhammad dengan wanita tersebut.

Karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga sahabatnya ini. Istrinya tersinggung, marah besar, sehingga rumah tangga ini terancam pecah atau bercerai.

Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berusaha mendamaikan antara keduanya.

اتَّقي اللَّهَ فإنَّهُ ابنُ عمِّكِ

Nabi mengatakan kepada wanita tersebut, "إتق الله Ingatlah Allāh subhānahu wa ta’ālā ! Suamimu itu adalah sepupumu sendiri (saudara sepupumu sendiri, itu adalah saudara sepupumu sendiri), jangan ada dendam."

Makna arti dari hadits itu, perceraian antara kamu dengan suamimu itu akan menyebabkan kerenggangan (putusnya silaturahmi) di antara keluarga besar kamu sendiri. Dia bukan orang asing, dia keluargamu sendiri.

Maka tatkala Allāh turunkan ayat dari surat Al-Mujādilah itu, maka wanita itu kemudian merasa sadar, merasa tersanjung, sehingga dia pun akhirnya berlapang dada memaafkan suaminya, yang semula dia emosi (marah, tersinggung sakit hati). Ketika (dia justru) karena ulah suaminya dia mendapat kehormatan.

Betapa tidak? Anda bisa bayangkan problem yang terjadi pada salah satu rumah tangga, kemudian (ternyata) solusinya Allāh turunkan langsung dari langit. Ini adalah sebuah apresiasi (sebuah kehormatan) bagi wanita tersebut. Sehingga yang semula dia marah kepada suaminya justru saat ini dia merasa bahwa ulah suaminya ternyata telah membukakan pintu yang luar biasa dari kerahmatan Allāh.

Pintu kehormatan, kemuliaan yang luar biasa bagi wanita tersebut, sehingga semula dia marah, mengira perbuatan suaminya itu sangat merugikan, sangat menyakitkan, justru ternyata perbuatan suami yang semula kelihatan buruk, semula kelihatan jelek, semula kelihatan menyakitkan, justru menyebabkan menjadi pintu tersanjungnya wanita ini, diakuinya wanita ini oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā sebagai seorang yang mukminah.

Sehingga permasalahannya Allāh beri solusi langsung. Inilah sebuah kehormatan, maka amarah yang semula bergejolak dalam diri wanita tersebut, luruh dan berganti menjadi cinta dan kasih sayang kembali.

Maka setelah turun ayat ini Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita tersebut agar menyampaikan kepada suaminya (untuk) membayar kafarat, sebelum kembali lagi bergaul dengan istrinya.

Kafaratnya adalah memerdekakan budak, atau kalau tidak mampu berpuasa enam puluh hari berturut-turut, kalau tidak mampu dia boleh memberi makan enam puluh orang miskin.

Maka wanita tersebut berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku orang yang miskin, dia tidak mungkin memerdekakan budak, kalau pun berpuasa dia tidak akan mampu berpuasa.

فإنَّهُ شيخٌ كبيرٌ لا يطيق الصوم
Suamiku sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa.
Ini salah satu pelajaran penting bagi kita, bahwa ketika suami ataupun istri telah menginjak umur lanjut, itu seringkali emosionalnya lepas kontrol, lepas kendali, apalagi bila ternyata suaminya tua, istrinya masih muda atau sebaliknya, istrinya sudah tua suaminya masih muda. Ada kesenjangan umur ini, kadang kala menjadikan sang suami yang lebih tua tidak mampu mengendalikan emosionalnya.

Dia yang seharusnya melayani, dia yang seharusnya melindungi, ternyata yang terjadi sebaliknya. Dia yang dilayani, dia yang dilindungi, dia tidak bisa melakukan banyak hal untuk sang istri, merasa salah tetapi salah tingkah.

Sehingga bukannya dia sadar istrinya berlapang dada, tetap mempertahankan pernikahan, walaupun dia tidak lagi banyak mampu berbuat untuk rumah tangga dan istrinya. Tetapi yang terjadi apa? Justru sang suami malah mudah marah, mudah emosi.

Ketika sang istri mengabarkan bahwa suaminya tidak lagi mampu berpuasa karena sudah tua renta, maka Nabi memerintahkan untuk,

يُطعِمْ ستِّينَ مِسكينًا
Memberi makan enam puluh orang miskin.
Maka sang istri kembali berkata,

يا رسول الله لقد ضدنا العشاء
Ya Rasulullah, tadi malam ketika kejadian itu terjadi kami bermalam dalam kondisi kelaparan, dalam kondisi tidak makan malam.
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam terdiam, di saat beliau sedang menunggu wahyu, mencari solusi untuk masalah yang sedang melilit keluarga sahabatnya ini, sebagian sahabat datang dengan membawa satu kantung (satu keranjang) kurma بِفرقٍ من تَمرٍ yaitu satu faraq itu cukup untuk memberi makan tiga puluh orang miskin.

Maka Nabi memberikan kurma itu kepada sahabat wanita itu untuk diberikan kepada suaminya dan dibagikan kepada kaum fuqara masakin. Kemudian sang istri karena dia merasa tersanjung, walaupun semula dia merasa terhina, tetapi ternyata di akhir kisah beliau merasa tersanjung akibat ulah sang suami, dia mendapatkan kemuliaan dari Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Solusinya dijawab langsung oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā. Kisahnya terabadikan.

Maka beliau mengatakan,

فإنِّي أعينُهُ بِفرَقٍ آخرَ
Ya Rasulullah kalau demikian aku siap menanggung jatah tiga puluh orang lagi, yaitu satu keranjang kurma lagi.
Kisah yang Allāh abadikan dalam Al-Qur'an ini, (ini) menjadi salah satu contoh nyata bahwa dalam mengarungi rumah tangga, kita tidak boleh emosional, mudah mematahkan, mudah menghancurkan bahtera rumah tangga kita.

Percayalah Allāh subhānahu wa ta’ālā telah berjanji,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔئا وَهُوَ خَيۡرٌ لَّكُمۡ
Bisa jadi engkau membenci sesuatu padahal itu baik untuk anda.
[QS. Al-Baqarah : 216].
Allāh dalam ayat lain secara spesifik juga menggambarkan tentang hubungan rumah tangga,

فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

[QS. An-Nisa : 19].

Kalau engkau membenci istrimu, ada sesuatu yang membikin engkau tidak suka pada istrimu, maka kata Allāh أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا bisa jadi yang engkau benci itu hanya sedikit saja dari perangai, dari apa yang ada pada diri istrimu tetapi وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا , kata Allāh jadikan pada diri mereka.

Allāh jadikan istri-istrimu yang engkau benci tersebut ternyata membawa banyak kebaikan, sebaliknya pun demikian.

Kenapa ayat ini Allāh sampaikan kepada suami?

Karena suamilah yang berkuasa dalam rumah tangga, suamilah yang berkuasa memutuskan untuk menceraikan atau tidak. Kalau itu terjadi pada sang istri yang semula dibenci tetapi ketika suami memilih untuk bersabar, memaafkan, untuk husnudzhan, untuk selalu menyikapi istrinya, untuk selalu memandang masalah istrinya dari sudut yang positif.

Allāh telah berjanji akan memberi, membukakan banyak pintu kebaikan, maka tentu kalau hal yang sama dilakukan oleh sang istri, selalu melihat, selalu memposisikan dirinya berada di sisi yang positif, menganggap optimis (تَفَاؤُل) bahwa walaupun suaminya memiliki kekurangan, pasti Allāh akan membukakan.

Kalau dia bersabar, Allāh akan membukakan banyak pintu kebaikan untuk dirinya. Sehingga pilihannya adalah bersabar dan terus berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Azh-Zhihar (الظهار), telah saya sampaikan dua kasus nyata yang terjadi di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Satu kasus pertama adalah kasus di mana sang suami menyerupakan istri karena dia sedang marah, karena dia sedang menghinakan sang istri, menyakiti. Dia ingin menyakiti sang istri.

Kisah yang kedua, bagaimana sang suami menyerupakan sang istri dengan ibu kandungnya, bukan karena dia ingin menyakiti, karena dia marah kepada sang istri ataupun ingin menzhalimi sang istri. Tidak!

Tetapi karena alasan lain yaitu dia tidak ingin menggauli istrinya, khawatir kalau-kalau syahwatnya menggebu-gebu di siang Ramadhan, dia dibutuh support (motivasi) yang lebih. Bukan sekedar halal haramnya hukum puasa saja, tidak! Tetapi dia butuh support lain, motivasi lain, agar dia betul-betul semakin mampu untuk menjauhi larangan menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan.

Ini dua kondisi yang terjadi di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan bisa jadi ada alasan-alasan lain yang suatu saat nanti atau nanti akan kita ungkap atau pada kesempatan yang akan datang akan kita ungkap. Mengapa sang suami terkadang menyerupakan istrinya dengan ibunya?

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga Allāh subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah kepada kita semua. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.