F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-141 Rujuk Bagian Keempat

Audio ke-141 Rujuk Bagian Keempat - Kitab An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 05 Dzulqa’dah 1444 H | 25 Mei 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-141

📖 Ruju’ Bagian Keempat

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه
اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Al-Muallif rahimahullāhu ta’ālā menyatakan :

وتكون معه على ما بقي من الطلاق

Dan kalau ternyata ditakdirkan mereka berdua kembali menikah dengan persyaratan dan ketentuan baru, dengan walimah akad baru. Walimah kemudian mas kawin baru, ada saksi baru, maka mereka kembali dengan sisa-sisa perceraian yang masih ada.

Maksudnya apa? Maksudnya seorang suami punya kewenangan menceraikan istrinya secara raj'i, menceraikan dan ada hak untuk ruju’ kembali yaitu maksimal dua kali, yaitu yang disebut dengan talak raj'i, setelah menceraikan masih punya hak untuk ruju’.

Tetapi ketika lelaki tersebut telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali, maka ini disebut talak bain. Dengan demikian bila seorang lelaki menceraikan istrinya dan kemudian membiarkan istrinya menjalani masa ‘iddah hingga selesai, kemudian suaminya menyesal dan mereka berdua sepakat untuk menikah kembali dengan akad baru, maka hitungan perceraian mereka telah berkurang, berkurang satu.

Kalau suatu saat nanti mereka bercerai kembali berarti mereka telah bercerai dua kali, kalau kemudian ruju’ sekali lagi dan kemudian menceraikan, maka genaplah ini hitungan tiga kali perceraian yang disebut dengan talak bain, walaupun proses ruju’ tersebut terjadi setelah berakhirnya masa ‘iddah dan ruju’ itu terjadi dengan akad baru, wali baru (bisa jadi) kemudian mas kawin baru, walimah baru, saksi baru, perceraian yang lalu tetap dihitung.

Sehingga disimpulkan tidak ada bedanya ruju’ itu dilakukan selama masa ‘iddah berlalu atau setelah masa ‘iddah telah berlalu, perceraian pertama tetap dihitung. Bahkan menurut mayoritas ulama andaipun wanita tersebut yang diceraikan dan akhirnya berlalu masa ‘iddahnya menikah dengan lelaki lain. Lelaki A menikah dengan wanita B setelah menikah selang berapa lama mereka bercerai. Si A tidak meruju’ istrinya sampai istrinya yang bernama B tersebut melalui masa ‘iddah, masa ‘iddahnya berakhir.

Kemudian akhirnya wanita B yang namanya Fatimah (misalnya) ini dinikahi oleh lelaki lain si C namanya, maka kalau suatu saat si C menceraikan si B dan si C ini tidak meruju’ istrinya sehingga si B ini menjalani masa ‘iddah sampai berakhir. Setelah bercerai dari si C atau mungkin ditinggal mati oleh si C, si B si Fatimah ini si wanita ini nikah lagi dengan si A, maka pernikahan yang kedua ini tetap mengakomodir (memperhitungkan) perceraian yang pernah terjadi.

Sehingga mereka menikah dengan sisa talak raj’i yang ada. Kalau mereka sudah bercerai sekali maka suami hanya memiliki satu kali kesempatan untuk menceraikan istrinya yang dianggap sebagai talak raj’i. Kalau sampai terulang dua kali maka terjadilah talak bain.

Sehingga adanya pernikahan dengan lelaki lain pasca perceraian pertama itu tidak menghapuskan, tidak menggugurkan perceraian pertama. Perceraian pertama tetap diakomodir dalam perhitungan hak cerai, sehingga kalau ternyata setelah menikah dengan lelaki kedua dan kemudian bercerai, nikah lagi kemudian bercerai, maka talak raj’inya telah berakhir. Kalau kemudian mereka menikah lagi maka untuk ketiga kalinya ketika mereka menceraikan itu sudah dianggap sebagai talak bain.

Ini pendapat yang dianut dan difatwakan oleh mayoritas ulama dan itu adalah pendapat yang wallāhu ta’ālā a’lam yang lebih kuat walaupun sebagian ulama mengatakan adanya pernikahan dengan lelaki lain setelah perceraian pertama itu menyebabkan hitungan perceraian itu dimulai dari nol lagi, dimulai dari pertama lagi, hitungannya diulang lagi. Tetapi pendapat ini kurang begitu kuat apalagi ditinjau dari ‘ilah (علّة) ataupun hikmah adanya perbedaan antara talak raj’i dan talak bain.

Secara historical dahulu orang-orang Arab, kaum laki-laki itu bersikap arogan kepada kaum wanita. Ketika mereka menikahi seorang wanita seringkali mereka tidak rela bila wanita tersebut walaupun telah diceraikan dinikahi oleh lelaki lain. Betul-betul dia ingin bagaikan memenjarakan wanita itu, sehingga walaupun dia ceraikan maka wanita itu akan menjalani masa ‘iddah. Ketika hendak berakhir masa ‘iddahnya diruju’ kembali. Dia ruju’ lagi. Setelah sekian lama diceraikan lagi, mulailah wanita itu memasuki masa ‘iddah.

Ketika masa ‘iddahnya hampir berakhir diruju’ lagi dan demikian seterusnya, sehingga wanita itu terkatung-katung, statusnya tidak jelas. Dia sebagai istri tapi dia tidak diperlakukan dengan baik selayaknya istri, diceraikan tapi juga tidak dibiarkan berlalu sehingga dia bisa menikah dengan lelaki lain. Terus digantung nasibnya.

Maka Islam melarang (membatasi) kewenangan menceraikan istri. Bahwa suami yang telah menceraikan istrinya sebanyak tiga kali, maka dia tidak bisa ruju’ kepada istrinya sampai si istri itu menikah dengan lelaki lain. Mencoba pengalaman baru membuka lembaran baru berusaha mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah dengan lelaki lain.

Kenapa? Karena lelaki pertama terbukti gagal sebanyak tiga kali. Kesempatan untuk mencoba membangun rumah tangga sakinah itu ternyata selalu berujung pada kegagalan dan perceraian. Tentu tidak tepat bila lelaki ini terus dibiarkan mencoba, mencoba yang ujung-ujungnya apa? Ujung-ujungnya menjerumuskan satu dari mereka atau kedua-duanya dalam perbuatan yang sia-sia, atau saling menzhalimi atau menyakiti bahkan menabur benih-benih dendam di antara mereka.

Kalau dilihat dari hikmah ini maka lelaki yang telah menceraikan istrinya dan kemudian membiarkannya berlalu menjalani masa ‘iddahnya hingga berakhir, sehingga wanita itu menikah lagi dengan lelaki lain dan ternyata diceraikan pula atau ditinggalkan mati oleh lelaki kedua (suami kedua), maka ketika dia wanita itu dan lelaki pertama (suami pertama) memutuskan untuk menikah lagi, maka alasan yang tadi di atas bahwa membuka kesempatan bagi orang lain mencegah terjadinya praktek zhalim menzhalimi dan dendam kesumat yang terus berkobar di antara mereka berdua tentu relevan.

Sehingga pendapat jumhur yang mengatakan bahwa walaupun wanita itu telah menikah dengan lelaki lain maka hitungan perceraian tetap tidak berubah. Kalau dia telah menceraikan sekali sebelumnya maka perceraian tetap dihitung.

Ini pendapat yang lebih kuat dan itu pendapat mayoritas ulama.

Ini yang bisa kami jelaskan dan sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allāh subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah-Nya kepada anda semuanya.

Dan menjadikan kita semuanya termasuk orang-orang yang senantiasa mengambil hikmah, pelajaran. Agar rumah tangga yang kita impikan sebagai Baiti Jannaty, betul-betul terwujud di rumah tangga kita.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.