F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-139 Rujuk Bagian Kedua

Audio ke-139 Ruju’ Bagian Kedua - Kitab An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 03 Dzulqa’dah 1444 H | 23 Mei 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-139

📖 Ruju’ Bagian Kedua

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Allāh subhānahu wa ta’ālā pada ayat,

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ

Perceraian itu boleh engkau jatuhkan sebanyak 2 kali dan perceraian yang engkau jatuhkan sebanyak 2 kali yaitu pertama ataupun yang kedua itu engkau punya wewenang.

فَإِمْسَاكٌۢ

Silakan engkau putuskan untuk mempertahankan kembali istrimu atau melepasnya berlalu mengakhiri masa ‘iddahnya.

Dan kemudian Allāh tekankan lagi bahwa kewenangan ini ada pada tangan suami itu, bukan pada ketetapan yang bisa diganggu gugat atau ditawar. Tetapi adalah sebuah ketetapan hukum sehingga Allāh tekankan,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ

Dan suami-suami mereka/wanita-wanita itu yang telah diceraikan lebih berhak untuk menetapkan keputusan dalam hal ini yaitu ruju’ ataupun tidak. Selama keputusan itu diambil di masa ‘iddah dan dengan tujuan yang baik.

Para ahli fiqih menambahkan satu ketetapan dari disyaratkannya ruju’ bahwa suami ketika telah memutuskan untuk meruju’ istrinya di masa ‘iddah bila perceraian itu baru perceraian yang pertama ataupun yang kedua, ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi oleh suami agar ruju’nya itu dinyatakan sah, yaitu ruju’ itu dinyatakan di depan saksi. Minimal 2 orang saksi. Karena Allāh subhānahu wa ta’ālā dalam surat At-Talaq menyatakan,

وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ

Persaksikanlah ruju’mu itu dihadapan 2 orang yang kredibel (2 orang yang adil) yang persaksiannya bisa diterima dalam proses peradilan.[QS. At-Talaq: 2]

Karena Allāh mengatakan

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka ruju’ilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” [QS. At-Talaq: 2]
Kalau istri-istri kalian yang telah kalian ceraikan itu hampir atau menjelang mendekati masa-masa berakhir ‘iddahnya maka engkau wahai para suami masih punya hak untuk memutuskan,

فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Mempertahankannya atau,

أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Membiarkannya pergi dan berlalu dari masa ‘iddahnya, mengakhiri masa ‘iddahnya tanpa diruju’.
Namun demikian Allāh tegaskan,

وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
Persaksikanlah keputusan kamu untuk meruju’ itu di hadapan 2 orang saksi.
Dari ayat ini kemudian sebagian ulama memutuskan atau berfatwa bahwa ruju’ tidaklah sah kecuali bila diikrarkan (disampaikan) di hadapan 2 saksi. Sehingga karena ayat ini dengan tegas,

وَأَشْهِدُوا۟

Ada kata perintah, persaksikanlah dan namanya persaksian itu pasti atas sesuatu yang bisa dilihat atau didengar. Karenanya kemudian mereka mengatakan, menambahkan lagi ketetapan untuk bisa ruju’.

Bahwa ruju’ itu harus diungkapkan secara lugas, secara tegas dengan redaksi kata-kata. Dia sampaikan di hadapan 2 orang saksi bahwa, “Saya meruju’ istri saya pada hari ini. Saya meruju’ istri saya yang bernama fulanah bintu fulan.” Maka dengan ketetapan ini terjadilah ruju’. Dan kalau sudah terpenuhi maka istri tidak bisa menolak. Dia benci ataupun dia tidak suka, tidak ridho, itu bukan kewenangan istri untuk menolak. Karena memang Allāh berikan kewenangan itu seutuhnya di tangan suami.

Sehingga kalau mau disimpulkan, suami boleh meruju’ istrinya bila memenuhi beberapa kriteria:

Yang pertama, perceraiannya baru pertama ataupun kedua atau yang disebut dengan talaq raj'i.

Yang kedua, ketetapan kedua suami meruju’ istrinya dengan niat berusaha membenahi, merajut, berusaha mewujudkan rumah tangga yang harmonis, bukan dalam rangka menyakiti atau melampiaskan dendam atau bukan karena keterpaksaan.

Kemudian yang ketiga. Rujuk tersebut dilakukan sebelum masa ‘iddahnya berlalu.

Dan yang keempat, ruju’ itu diungkapkan dalam kata-kata bukan dengan perbuatan, tapi dengan kata-kata. Dia katakan, “Saya ruju’ istri saya Fulanah bintu fulan.” Dan kata-kata ini diutarakan dihadapan 2 orang saksi.

Bila persyaratan-persyaratan ini, sekali lagi saya ulang,
  1. Perceraiannya baru sekali atau dua kali.
  2. Kedua, ruju’ tersebut dilakukan dengan niat yang baik untuk membangun rumah tangga. Mencoba membuka lembaran baru. Mewujudkan rumah tangga yang harmonis. Sakinah, mawaddah wa rahmah.
  3. Ketiga, ruju’ tersebut dilakukan pada masa ‘iddah.
  4. Keempat, ruju’ tersebut diutarakan dalam bentuk kata-kata. “Saya ruju’ istri saya Fulanah bintu fulan.”
  5. Dan yang kelima, kata-kata tersebut disampaikan dihadapan 2 orang saksi yang kredibel. Yang persaksiannya bisa diterima secara tinjauan peradilan Islam.
Ada 5 persyaratan. Kalau 5 persyaratan ini terpenuhi maka sepakat para ulama menyatakan ruju’nya sah. Walaupun secara tinjauan fiqih terjadi kontroversi di sebagian persyaratan ini. Misalnya, persyaratan harus dengan kata-kata. Dan ini adalah satu Madzhab, ruju’ diungkapkan dengan kata-kata adalah Madzhab Syafi'i dan Madzhab Jumhur Ulama.

Adapun suami meruju’ dengan tindakan yaitu langsung menggaulinya misalnya, maka menurut banyak ulama menggauli istri yang telah diceraikan pada masa ‘iddah itu tidak bisa dianggap sebagai ruju’. Tidak dianggap sebagai ruju’. Selama suami belum mengatakan kata-kata, “Saya ruju’”.

Walaupun sebagian ulama mengatakan, ya. Menggauli istri itu berarti membuktikan bahwa suaminya ingin meruju’ istrinya. Dan itu lebih kuat katanya, tapi ini pendapat yang kurang begitu kuat secara tinjauan dalil. Karena memang selama masa ‘iddah wanita tersebut masih berstatus sebagai istri. Sehingga suami halal untuk melakukan apa saja yang dia lakukan terhadap istrinya.

Kalau suami tidak ada niatan untuk meruju’ maka walaupun dia menggauli nya setiap hari maka tidak dianggap sebagai ruju’. Dan kemudian sebagian ulama mengambil pendapat yang moderat dengan menggabungkan dua pendapat dengan mengatakan, “Bila suami menggauli istrinya dengan niat ruju’ maka itu bisa berarti ruju’, tapi bila dia hanya menggauli karena nafsu atau karena hanya menuntut hak sebagai suami maka tidak bisa dianggap ruju’”.

Dan wallāhu ta'ālā a'lam, secara tinjauan dalil, mungkin pendapat yang ketiga ini moderat. Bisa menggabungkan dua argumen dari kedua pendapat yang sebelumnya.

Di antara hal yang diperselisihkan adalah, apakah seorang suami yang meruju’ itu harus mengutarakan di hadapan saksi kalau ruju’nya diungkapkan dengan kata-kata? Pendapat yang dianut oleh Madzhab Jumhur termasuk Madzhab Syafi'i bahwa persaksian di dalam ruju’ itu hukumnya sunnah saja, tidak harus (bukan suatu syarat). Sehingga ketika suami sudah mengatakan di depan istrinya, “Saya ruju’ kamu”, maka sudah sah ruju’nya walaupun tidak dihadiri saksi. Walaupun tidak dihadiri oleh saksi. Namun sebagian ulama berusaha mempertahankan tekstual ayat yang dengan tegas mengatakan,

وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
Persaksikanlah ruju’mu itu dihadapan 2 orang saksi
Sehingga mereka berpendapat bahwa menghadirkan dua orang saksi ketika meruju’ itu hukumnya wajib. Pendapat kedua ini secara tinjauan dalil cukup kuat. Walaupun mayoritas ulama menyelisihi pendapat tersebut dan lebih cenderung untuk mengatakan bahwa adanya saksi ketika ruju’ itu sekedar sunnah dan bukan wajib. Kenapa? Karena Allāh subhānahu wa ta’ālā telah menyatakan,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ

Suami yang telah menceraikan ini selama masa ‘iddah masih disebut sebagai suami. Sehingga dari situ dapat disimpulkan bahwa ruju’ itu sebetulnya adalah imsak (إمساك), mempertahankan. Bukan memulai akad yang baru. Mempertahankan status akad yang sudah ada sehingga adanya saksi itu tidak menghadirkan sesuatu yang baru, tidak merubah sesuatu yang baru. Itu hanya mempertahankan saja. Sehingga tidak tepat bila saksi itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajib.

Kemudian Allāh subhānahu wa ta’ālā dengan tegas,

أَحَقُّ

Suami itu lebih berhak. Sehingga kata-kata حق tersebut bersifat mutlak, alias dia lebih berhak tanpa syarat.

Karenanya mayoritas para ulama mengatakan bahwa kehadiran dua orang saksi itu sunnah saja, bukan wajib.

Sehingga kalau boleh diringkaskan menurut Madzhab Syafi'i syarat untuk ruju’ itu,
  1. Yang pertama, talaknya talak Raj'i. Baru pertama atau kedua.
  2. Kemudian yang syarat kedua adalah suami mengutarakan ruju’nya dengan kata-kata yang lugas, tegas, tidak ada yang samar.
  3. Kemudian yang ketiga, ini sesuai dengan redaksi ayat walaupun tidak dijelaskan dalam banyak referensi fiqih bahwa suami meruju’nya itu dengan niat ishlah, dengan niat berupaya sungguh-sungguh untuk merajut kembali hubungan rumah tangga yang harmonis.
  4. Dan syarat yang keempat bahwa ruju’ itu dilakukan di masa ‘iddah, selama ‘iddahnya belum berakhir.
Bila ketetapan ini telah dipenuhi, maka ruju’ itu bisa terjadi atau sah secara hukum.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.