F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-134 Empat Orang yang Tidak Sah Talaknya Bagian Pertama

Audio ke-134  Empat Orang yang Tidak Sah Talaknya Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 24 Sya’ban 1444 H | 16 Maret 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-134

📖 Empat Orang yang Tidak Sah Talaknya (Bag. Pertama)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن ولاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Sebagai hamba Allah subhānahu wa ta’ālā yang mendapat kehormatan menjalankan syari’at, hamba Allah subhānahu wa ta’ālā yang mendapatkan kehormatan bimbingan wahyu sehingga kita hidup di dunia tidak berdasarkan nafsu atau hanyut dalam faktor kebiasaan rutinitas masyarakat setempat tetapi kita menjalankan hidup dalam segala urusan, dalam segala sendi kehidupan kita. Kita beraktivitas berkeluarga berumahtangga berniaga bersosial ataupun menjalankan ibadah semuanya itu betul-betul dibawah naungan dan bimbingan wahyu.

Ini adalah satu kehormatan satu kemuliaan. Karenanya ketika kita berumah tangga sadarlah, tumbuhkan kesadaran selalu dalam diri kita bahwa rumah tangga kita, aktivitas kita semuanya harus kita kemas dalam bingkai syari’at Islam, sehingga rumah tangga kita, kita nahkodai bahtera rumah tangga kita, kita nahkodai menuju tujuan yang mulia yaitu mardhotillah.

Salah satu ketetapan yang Allah telah tetapkan yang tidak lagi bisa dihapuskan atau dipertentangkan bahwa hukum-hukum Allah subhānahu wa ta’ālā yang berkaitan dengan ibadah, berkaitan dengan muamalah atau berkaitan dengan usroh (rumah tangga) bahwa hukum-hukum itu semua hanya berlaku pada orang yang betul-betul memiliki kecakapan hukum atau yang disebut dengan mukallaf.

Secara mental dia betul-betul memiliki kesiapan penuh untuk memahami maksud dan tujuan konsekuensi dari syariat dan juga memiliki daya nalar yang cukup sehingga dia menjalankan berbagai hukum tersebut berbagai aktivitas tersebut bukan sekedar rutinitas tetapi aktivitas itu benar-benar mewujudkan maslahat, memperbanyak keuntungan bagi umat manusia dan membentengi menjauhkan mereka dari segala hal yang dapat mencelakakannya.

Tidak heran bila Al-Imam Al-izz bin Abdussalam yang dikenal dengan Sulthanul Aulia, Shultanul Ulama, pemimpin para ulama pada zamannya dan juga sepeninggal beliau. Beliau diakui sebagai salah satu ulama yang fenomenal karena beliau memiliki satu karya dan memiliki keluasan dan kedalaman ilmu yang luar biasa.

Para ulama yang datang sepeninggal beliau mengakui akan ketajaman analisa dan penguasaan yang luar biasa terhadap ilmu syari'at. Beliau menuliskan satu karya, satu kitab yang beliau beri judul Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam (kaidah hukum dalam mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia).

Dalam kitab ini, setelah beliau melakukan kajian yang mendalam, kajian yang panjang terhadap berbagai hukum yang ada dalam syari'at. Beliau sampai pada satu titik kesimpulan bahwa semua hukum yang ada dalam Islam baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah bahkan berkaitan dengan pidana perdata atau lainnya, semua itu ternyata bermuara pada satu tujuan yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.

Anda bisa cermati, shalat misalnya yang merupakan rukun Islam kedua, disyariatkan juga seutuhnya untuk kemaslahatan manusia, Allah sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari shalat hamba-Nya, keuntungan manfaat dari shalat seutuhnya kembali kepada manusia.

Karena itu Allah kelak di hari kiamat akan berfirman kepada seluruh umat manusia setelah selesai mereka dihisab di alam mahsyar, penduduk surga masuk surga, penghuni neraka telah memasuki nerakanya. Allah berfirman kepada semuanya,

إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ

Wahai hamba-Ku apa yang kalian dapatkan hari ini semua itu adalah ulah tangan kalian sendiri, itu adalah akibat dari perilaku kalian sendiri.

أُحْصِيْهَا لَكُمْ

Aku catat, Aku hitung, Aku data

ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا

Kemudian seutuhnya Aku berikan balasannya kepada kalian sehingga masing-masing dari kalian saat ini menuai dan menikmati hasil dari jerih payahnya, amalannya. (HR. Muslim)

Adapun Allah subhānahu wa ta’ālā tidak merasa perlu pada hamba-Nya, Allah tidak butuh kepada ibadah hamba-Nya karena Allah Maha Kaya, Allah memiliki segalanya, Allah Maha Kuasa.

Karena syari’at itu semua disyariatkan tujuannya adalah untuk mewujudkan maslahat umat manusia, maka wajar bila dalam Islam telah ditetapkan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan secara mental, tidak memiliki kecakapan secara mental ataupun secara fisik untuk menjalankan ketentuan syari’at menjalankan hukum syari’at, maka Allah subhānahu wa ta’ālā tidak mewajibkan berbagai hukum dan syari'at tersebut atas mereka.

Karena mereka dianggap ghairu mukallaf, mereka tidak memiliki kecakapan untuk menjalankan suatu amalan, untuk menetapi suatu ketetapan hukum. Baik karena memang itu kondisi yang permanen atau kondisional (dalam kondisi tertentu). Selama mereka tidak memiliki kecakapan penuh terhadap hukum, tidak mampu memahaminya atau tidak mampu mengamalkannya, maka Islam akan memberikan keringanan. Bahkan bisa jadi menggugurkan kewajiban-kewajiban itu atas mereka.

Ketetapan ini berlaku dalam semua hukum termasuk dalam hukum perceraian. Karena itu al-Imam muallif Abu Syuja’ mengatakan,

وأربع لا يقع طلاقهم

Ada empat golongan orang yang walaupun mereka dengan tegas dan lugas telah menyatakan, "cerai !", "saya ceraikan istriku", atau "saya ceraikan engkau wahai istriku", dengan kata yang betul-betul tegas lugas tidak ada yang samar tetapi karena keterbatasan psikologi, keterbatasan mental, keterbatasan kemampuan mereka untuk memahami maksud makna dan konsekuensi dari ucapan tersebut, maka ucapan tersebut diabaikan, tidak diperhitungkan. Alias walaupun mereka keempat orang ini telah tegas-tegas mengatakan,

"Saya ceraikan!"

Maka itu sia-sia. Perceraian tidak bisa jatuh, perceraian tidak dianggap. Siapakah mereka yang walaupun menceraikan namun tidak dianggap perceraian, ucapan mereka yang mengatakan, “saya ceraikan”, itu dianggap tidak ada tidak memiliki konsekuensi hukum sedikitpun.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

Semoga Allah subhānahu wa ta’ālā menambahkan taufik hidayah kepada kita semuanya dan menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُٓ


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.