F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-132 Perceraian Tidak Sah Sebelum Pernikahan Bagian Kedua

Audio ke-132 Perceraian Tidak Sah Sebelum Pernikahan (Bag. Kedua)
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 22 Sya’ban 1444 H | 14 Maret 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-132

📖 Perceraian Tidak Sah Sebelum Pernikahan (Bag. Kedua)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Masih berbicara tentang tema Perceraian atau Talak dalam Islam.

Al-Imam Abu Syuja’ melanjutkan penjelasan beliau tentang beberapa seluk beluk hukum perceraian.

Beliau mengatakan:
ولا يقع الطلاق قبل النكاح

Dan perceraian tidak dinyatakan sah, tidak bisa dijatuhkan sebelum adanya pernikahan.

Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyatakan:

إِنَّمَا الطَّلاَقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ

"Sejatinya perceraian itu hanya bisa dijatuhkan oleh orang yang telah memiliki, oleh orang yang telah menggenggam atau menguasai seorang wanita, memiliki seorang wanita."
Adapun orang yang belum memiliki wanita, belum menikahi wanita, maka dia tidak akan bisa menjatuhkan perceraian.

Dalam riwayat lain disebutkan,

لن طلاق فبل النكاح
"Tidak ada perceraian sebelum adanya pernikahan."
Karena itu dalam ayat,
"Wahai Nabi bila engkau menikahi wanita kemudian engkau menceraikan mereka."
Dalam ayat ini Allāh gambarkan bahwa perceraian itu hanya terjadi kapan? Setelah adanya ikatan pernikahan, karena memang perceraian, rujuk, nafkah dan lain sebagainya itu adalah hukum turunan dari hukum pernikahan.

Hukum turunan dari adanya ikatan pernikahan, karenanya dengan tujuan dan maksud apapun ketika seseorang dengan sengaja ingin menghalangi dirinya dari pernikahan, termasuk ketika dia membuat komitmen pribadi, bahwa siapa pun wanita yang dia nikahi, maka secara otomatis terceraikan atau dia ceraikan.

Komitmen ini sia-sia!

Sehingga walaupun dia telah mengucapkan hitam di atas putih dia tulis dengan saksi, ketika dia menikah, maka tidak jatuh cerai, pernikahannya tetap sah, dia sah dan halal untuk menggauli istrinya.

Adapun perceraian (komitmen menceraikan) yang telah dia putuskan sebelum akad nikah, itu sia-sia tidak ada artinya. Tidak ada korelasi dengan hukum sedikit pun, tidak ada konsekuensi hukum.

Yang terjadi justru dia berdosa dengan niat buruk tersebut, dengan tindakan yang jelek tersebut, menutup pintu pernikahan, berusaha untuk menghalangi dirinya dari sesuatu yang Allāh syari'atkan, itu termasuk satu tindakan yang terlarang dan haram hukumnya.

Makanya dalam Islam tidak ada namanya tabattul, tidak ada namanya mengebiri diri, tidak ada rahbaniyah, hidup bagai hidupnya para pendeta, tidak menikah, hidup mengasingkan diri di gereja atau di gua atau di tempat-tempat peribadatan yang lainnya.

Yang dicontohkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah beliau makan dan berpuasa, beliau menikah dan juga beliau tidur (beristirahat), beliau beribadah dan beliau juga bermuamalah, seimbang.

Sehingga Allāh subhānahu wa ta’ālā ketika mensyari'atkan nikah, Allāh juga mensyari'atkan ibadah. Dua syari'at ini tidak sepatutnya dipertentangkan atau diperadukan, justru sebaliknya dua syari'at ini, justru saling melengkapi.

Abdullah bin Abbas dahulu menyatakan,

تَزَوَّجُوا
"Hendaklah kalian menikah!"
فإن خير هذه الأمة أكثرها نساءً
"Karena sejatinya orang yang paling mulia dari umat ini adalah orang yang istrinya paling banyak yaitu Nabi _shallallāhu ‘alayhi wa sallam (Beliau mempunyai istri sembilan orang)."
Andai tidak menikah itu adalah sebuah kebajikan, andai tidak menikah itu adalah sebuah ibadah, niscaya orang pertama yang tidak menikah adalah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Subhanallāh.

Bahkan kita temukan banyak ayat, banyak dalil, banyak hadits yang memotivasi kita untuk menikah.

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang, subur banyak memiliki anak keturunan memiliki potensi untuk bisa melahirkan banyak anak."
Kenapa?

فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
"Karena aku kelak akan membangga-banggakan kalian."
Jumlah kalian yang banyak dihadapan para nabi-nabi sebelumku (Subhanallāh) dihadapan umat-umat selain kalian.

Dahulu Umar ibnul Khaththāb ketika melihat seseorang yang sudah cukup umur, secara lahiriyah dia harusnya mampu untuk menikah, tetapi ternyata dia tidak menikah.

Maka Umar ibnul Khaththāb kemudian berkata kepadanya:

ما منعك من النكاح إلا عجز أو فجور

Tidak ada yang menghalangi darimu dari menikah kecuali satu dari dua opsi (satu dari dua kemungkinan);
  1. Engkau seorang impoten, yang tidak mampu menikah (tidak bisa menikah) atau,
  2. Engkau yang merasa tidak perlu menikah karena engkau telah menyalurkan nafsumu dengan perbuatan zina (na'ūdzu billāhi).
Adapun orang yang normal, lelaki yang sehat, wanita yang normal, pasti dia butuh pada pernikahan. Pada saatnya, dia akan menikah dan dia pasti ingin menikah, dia pasti merencanakan untuk menikah.

Bahkan Abdullāh ibnu Mas'ud begitu pentingnya urusan pernikahan dalam persepsi seorang yang beriman, bahwa pernikahan itu tidak menghalangi kita dari ibadah, tidak menghalangi kita dari menggapai tingkat derajat yang tinggi di sisi Allāh, tidak menjadikan kita tertinggal kereta dari rombongan orang-orang yang bertakwa, tidak menghalangi kita dari menuntut ilmu.

Beliau mengatakan: لو علمت andai aku tahu bahwa

لَمْ يَبْقَ مِنَ الْعُمْرِ إلّا الأربعة إيام

Andai aku tahu bahwa umurku itu hanya tersisa empat hari kemudian aku betul-betul yakin itu, kemudian aku mampu menikah esok, maka aku akan menikah sebelum aku meninggal.

Walaupun tinggal empat hari dari umurku.

Kenapa? Menikah bukan urusan seks saja, menikah bukan urusan anak keturunan saja, tetapi menikah adalah bagian dari ibadah.

Karena itu ketika ada upaya yang dilakukan secara sadar terstruktur, terencana, untuk menutup pintu pernikahan, maka Islam mengharamkan tindakan-tindakan ini. Apapun wujudnya termasuk ketika seorang lelaki membuat komitmen pribadi, menjatuhkan perceraian setiap kali dia menikah, baik komitmen itu berkaitan dengan wanita tertentu.

Misalnya dia mengatakan:
"Jika aku menikahi ‘Aisyah binti Fulan ibni Fulan, maka secara otomatis aku ceraikan dia."
Atau dia katakan:
"Wanita mana pun, wanita siapa pun namanya dari suku Fulan (misalnya) dari suku Jawa, dari suku Madura, dari suku Arab, dari suku Sunda, yang aku nikahi, maka secara otomatis jatuh cerai satu atau cerai tiga atas dirinya."
Atau bahkan dia katakan secara general (umum, mutlak).
"Siapa pun wanita yang kunikahi maka otomatis dia terceraikan sekian kali."
Ini semua adalah ucapan-ucapan yang tiada arti, sia-sia, tidak ada konsekuensi hukum. Yang terjadi justru dia terjerat dalam perbuatan dosa, karena ucapan tersebut mencerminkan upaya melawan arus, melawan kodrat, apalagi bila dia memiliki anggapan bahwa wanita itu haram untuk dinikahi.

Padahal secara de facto dia termasuk wanita-wanita yang halal, ini termasuk tasyri', ini termasuk upaya mengubah, merekayasa syari'at baru dan itu tentu terlarang.

Allāh subhānahu wa ta’ālā secara umum menggambarkan akan upaya-upaya yang mengubah syari'at menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal.

Allāh subhānahu wa ta’ālā berfirman:

وَلَا تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰل وَهَٰذَا حَرَام لِّتَفۡتَرُواْ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ

"Jangan sekali-kali kalian mengucapkan satu ucapan yang kalian sendiri sadar itu adalah dusta, ini halal itu haram, padahal tidak seperti itu faktanya. Kalian rekayasa sendiri.
Untuk apa? Untuk merubah-rubah, untuk menggubah, untuk merekayasa syari'at Allāh.
Sejatinya orang yang berbuat dusta, merekayasa syari'at atas nama Allāh tanpa dasar, itu tidak akan pernah sukses tidak akan pernah selamat di akhirat." [QS. An-Nahl: 116]

قُلۡ مَنۡ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ
وَٱلطَّيِّبَٰتِ مِنَ ٱلرِّزۡقِۚ

”Katakan wahai Muhammad, "Siapa yang mengharamkan زِينَةَ ٱللَّه keindah-keindahan Allāh, ٱلَّتِيٓ أَخۡرَجَ لِعِبَادِهِ yang telah Allāh ciptakan untuk hamba-hamba-Nya, وَٱلطَّيِّبَٰتِ مِنَ ٱلرِّزۡقِ dan rejeki-rejeki yang halal dan baik?" [QS. Al-Aʿrāf: 32]

Subhanallāh.

Karenanya, fanatisme terhadap ras suku atau kebencian terhadap seseorang, atau semangat untuk beribadah tidak sepatutnya menjadikan Anda terjerumus dalam tindakan semacam ini.

Ini adalah tindakan bodoh!

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya saya mohon ma'af.

وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.