F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-121 Talak Bagian Kelimabelas

Audio ke-121 Talak Bagian Kelimabelas - Kitab An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 07 Sya’ban 1444 H | 27 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-121

📖 Talak Bagian Kelimabelas

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن ولاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Al-Imam Al-muallif Abu Syuja' masih membahas perihal seluk beluk hukum perceraian.

Pada sesi sebelumnya telah disampaikan pembahasan bahwa istri itu berkaitan dengan hukum perceraian dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, wanita-wanita yang bila diceraikan maka perceraiannya itu dinyatakan sebagai perceraian yang bid'ah, menyimpang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.

Yang pertama adalah wanita yang dia pada masa-masa haid wanita yang masih mengalami masa haid dan diceraikan disaat dia sedang haid atau di saat dia sedang suci namun suami sudah menggaulinya pada masa suci tersebut.

Sehingga bila perceraian ini terjadi pada kondisi tersebut maka perceraian ini dikatakan perceraian yang haram perceraian yang bid’ah karena bertentangan dengan tuntunan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak mengindahkan ketetapan Allah subhānahu wa ta’ālā dalam surat At-Talaq dan yang lainnya.

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Ceraikanlah istri kalian kalau memang kalian ingin menceraikannya pada masa iddahnya yaitu di saat dia sedang suci sebelum engkau menggaulinya. [QS. At-Talaq : 1]
Dan telah disampaikan pula bahwa bila suami menceraikan istri di saat istri sedang haid maka suami wajib merujuk istrinya dan merujuk ini hukumnya wajib.

Rasulullah bersabda ketika Abdullah bin Umar menceraikan istrinya di saat dia sedang haid Nabi memerintahkan Umar bin Khaththāb agar memerintahkan putranya tersebut merujuk istrinya

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Perintahkan Abdullah bin Umar untuk merujuk kembali istrinya.” (Muttafaqun alaih)
Banyak analisa, banyak pendapat ulama menjelaskan mengapa suami diperintahkan untuk (diwajibkan untuk) merujuk istrinya bila dia menceraikan di saat dia sedang haid.

Alasan yang paling logis dan paling kuat dalam hal ini dikarenakan masa haid tersebut tidak terhitung dari masa iddah sehingga wanita akan mengalami kerugian atau dirugikan dimana periode iddahnya akan lebih panjang.

Kedua dan ini nampaknya ini yang lebih kuat dan lebih relevan bahwa masa-masa haid itu memang kondisi psikologi wanita sedang terganggu dan suami dalam kondisi sedang terhalangi dari menyalurkan hasratnya kepada istri sehingga bisa jadi kondisi rumah tangga yang lagi bermasalah ini, kemudian istri yang memang emosionalnya sedang terganggu, psikologinya terganggu dengan masa haid. Suami juga sedang emosionalnya sedang naik sedang terganggu karena dia tidak bisa melampiaskan nafsunya kepada istri.

Sehingga kondisi psikologi kedua orang ini bisa jadi menjadi pemicu (salah satu pemicu) terjadinya perceraian. Padahal pernikahan yang telah terjalin di antara mereka itu disyariatkan dan mereka jalin untuk mewujudkan banyak maslahat.

Adanya anak keturunan, kemudian adanya tolong menolong dalam hal ibadah, dalam hal dunia dan lain sebagainya. Adanya hubungan kekeluargaan. Apalagi bila perceraian itu terjadi di saat mereka telah dikaruniai anak keturunan, maka perceraian ini berdampak buruk pada anak keturunan. Menyebabkan mereka broken home.

Sehingga tidak sepatutnya keputusan menjatuhkan cerai ini dilakukan atau diambil di saat kedua belah pihak kedua suami dan istri ini dalam kondisi yang tidak prima, dalam kondisi yang sedang dalam gangguan, dalam tekanan emosional, sehingga keputusan itu boleh dikata keputusan prematur.

Beda halnya bila suami mengambil keputusan untuk menceraikan di saat kondisi istrinya sedang suci. Gangguan psikologis sudah selesai, istrinya sudah berdandan dan suami memiliki kesempatan bisa menggauli istrinya namun dia ternyata tidak menggaulinya justru malah menjatuhkan perceraian.

Kalau itu terjadi maka itu salah satu indikasi bahwa keputusan menjatuhkan perceraian itu adalah keputusan yang telah diambil setelah mempertimbangkan maslahat, mempertimbangkan madharat membandingkan antara keduanya dan kemudian suami mengambil keputusan kesimpulan bahwa mengakhiri perceraian itu lebih ringan madharatnya dibanding mempertahankan rumah tangganya.

Lelaki yang masih normal biasanya dia tidak akan tahan menahan nafsunya untuk tidak menggauli istri di saat istrinya telah suci, telah istirahat dari hubungan badan satu pekan atau bahkan lebih. Kalau ternyata kesempatan untuk menggauli istri tersebut ternyata diabaikan oleh suami dan justru dia malah menceraikannya ini salah satu bukti atau indikasi bahwa keputusan tersebut telah diambil secara matang, baik-baik dan alasannya lebih kuat makanya dibolehkan.

Berbeda ketika keputusan perceraian itu dilakukan dalam kondisi sedang tidak prima, sedang dalam gangguan psikologi. Suami menahan nafsunya istri sedang terganggu dengan haidnya karena itu dikatakan bid’ah dan dalam kondisi ini suami diwajibkan untuk merujuk dalam rangka mengupayakan mempertahankan maslahat pernikahan mereka berdua dan membentengi keduanya serta anak keturunan mereka dari dampak negatif perceraian yang sangat berat.

Berbeda halnya ketika suami mengambil keputusan menceraikan istri di saat istri dalam kondisi suci namun sudah pernah digauli pada periode suci tersebut maka ini perceraian yang diharamkan karena perceraian ini menyebabkan istri dalam kondisi dilematis. Kalau ternyata dari hubungan badan mereka berdua yang baru saja mereka lakukan di periode yang suci itu terjadi kehamilan

Maka bisa jadi kehamilan itu telah terdeteksi oleh istri sampai periode masa iddahnya berlalu sehingga kemungkinan istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian berhubungan badan dengan suami kedua akhirnya terjadilah kerusakan besar yaitu percampuran nasab dan ini sangat berbahaya. Ini dosa besar itu sangat buruk dampaknya.

Walaupun itu satu perceraian yang haram perceraian yang bid’ah tetapi suami tidak diwajibkan untuk merujuknya. Berbeda ketika menjatuhkan perceraian di saat istrinya sedang haid suami dianggap sebagai berdosa namun tidak wajib merujuk.

Kenapa? Karena bila suami dalam kondisi mampu menggauli istrinya bisa menggauli, tidak ada hambatan sama sekali bahkan baru saja menggaulinya namun tetap saja mengambil keputusan untuk menjatuhkan perceraian maka itu pertanda bahwa keputusan suami menjatuhkan perceraian itu kemungkinan besar adalah kebutuhan yang sudah matang alias rumah tangga betul-betul tidak lagi bisa dipertahankan. Mafsadah (kerusakan) yang terjadi bila pernikahan mereka tetap dipertahankan bisa jadi sangat besar. Tidak kuasa dipikul oleh suami tidak kuasa untuk dipertahankan oleh suami. Walaupun dosa tetapi tidak wajib untuk merujuk

Ini dua kondisi yang dijelaskan oleh al-Muallif bahwa itu dua kondisi perceraian yang diharamkan.

Ada kondisi ketiga yang waktu itu telah kita sampaikan yaitu bila istri sedang nifas. Maka hukum nifas disamakan dengan hukum haid bahwa suami juga haram untuk menjatuhkan perceraian di saat istrinya sedang nifas.

Dan hukum yang berlaku pada perceraian di saat nifas sama halnya dengan perceraian yang terjadi di saat haid yaitu suami wajib merujuk, kemudian mempertahankan istrinya sampai istrinya suci haid dan kemudian suci kembali barulah dia boleh menceraikan.

Karena secara tinjauan hukum nifas dalam Islam itu disamakan hukumnya. Mayoritas hukum nifas (saya katakan mayoritas hukum nifas) itu sama halnya dengan hukum-hukum haid. Ini tiga kondisi di mana perceraian itu diharamkan.

Kemudian al-Muallif mengatakan

والبدعة أن يطلق في الحيض أو في طهر قد جامع فيه
“Dan yang dikatakan perceraian bid'ah itu adalah ketika dia menjatuhkan perceraian di saat sedang haid atau di saat istrinya sudah suci namun pernah digauli pada periode suci tersebut “
Sehingga mafhumnya seperti yang ditegaskan oleh Muallif bila dua hal ini berhasil dihindari istrinya sedang dalam kondisi suci dan suami belum menggaulinya pada masa suci tersebut maka jatuhnya perceraian atau menjatuhkan perjuangan pada masa itu adalah dikatakan talak Sunnah (talak yang sesuai dengan tuntunan Nabi).

Sekali lagi perlu saya garis bawahi bahwa kata-kata Sunnah ini artinya adalah sesuai dengan syariat bukan berarti dianjurkan.

Adapun hukum perceraian sendiri maka itu hukumnya sesuai dengan motivasi dan latar belakang mengapa terjadi perceraian, bisa jadi halal, bisa jadi haram, bisa jadi makruh, bisa jadi wajib hukum perceraian itu sesuai dengan latar belakang mengapa suami harus menceraikan istrinya.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini kurang dan lebihnya saya mohon maaf

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.