F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-120 Talak Bagian Keempatbelas

Audio ke-120 Talak Bagian Keempatbelas - Kitab An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 4 Sya’ban 1444 H | 24 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-120

📖 Talak Bagian Keempatbelas

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat, peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa ta’ālā.

Masih bersama pembahasan tentang perceraian.

Di antara hikmah diharamkannya menceraikan istri di saat haid atau di saat nifas, diutarakan oleh sebagian ulama bahwa di masa-masa haid tersebut istri sedang terhalang dari berdzikir kepada Allāh, karena dia tidak bisa shalat, tidak bisa puasa, sehingga secara de facto psikologis ataupun secara fisik istri sedang butuh kepada pertolongan, empati.

Apalagi sebagian wanita ketika haid dia mengalami gangguan yang sangat serius. Kepalanya pusing, perutnya sakit, emosional atau moodnya sedang kacau, sehingga tidak tepat tentu sebagai seorang manusia yang berakhlak baik, seorang yang beriman memperlakukan istri yang sedang dalam kondisi semacam ini.

Sedang menderita (berjuang) untuk melalui masa-masa yang berat, yaitu masa-masa haid, masa-masa nifas. Kemudian ditambah derita psikologis semakin dihancurkan dengan cara apa? Dengan cara diceraikan.

Tentunya ini akan menjadikan istri betul-betul sangat terpukul bahkan untuk bisa kembali lagi, mungkin sangat berat. Untuk bisa menerima satu fakta yang pahit ini, tentu mungkin bagi seorang istri sangat berat sekali. Tentu ini tidak manusiawi, perilaku semacam ini.

Karena itu Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam marah ketika Abdullah ibnu Umar menceraikan istrinya yang sedang haid dan mengharuskan untuk merujuk istrinya kembali.

Para ulama juga telah berfatwa:
Wajib hukumnya atas suami yang terlanjur menceraikan istrinya di saat istrinya sedang haid untuk merujuk istrinya kembali, dan kemudian menahan diri untuk tidak menceraikannya sampai istrinya suci dari haid.

Kemudian melalui satu periode masa suci, kemudian haid lagi dan kalau kemudian istrinya suci dan dia masih tetap ingin menceraikan, maka barulah ia dibenarkan untuk menceraikan istrinya.

Menanti, menjatuhkan perceraian yang benar dengan cara rujuk di masa haid kemudian menanti satu periode suci berlalu kemudian haid lagi, kemudian suci. Menurut madzhab Imam Malik hukumnya wajib. Karena dalam redaksi ini betul-betul Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan satu instruksi, satu perintah, dan perintah itu hukum asalnya memiliki arti wajib.

Dalam madzhab Syafi'i (Imam Syafi'i) dan murid-murid beliau menganalisa, bahwa alasan diperintahkannya suami untuk menahan istrinya atau merujuk istrinya sampai suci dari haid, dan diharamkannya menjatuhkan perceraian di masa haid itu, karena akan memperpanjang masa iddah dan mafsadah ini tidak lagi terjadi ketika suami sudah merujuk, kemudian istri betul-betul suci dari haid tersebut, maka masa iddah kembali normal tidak menjadi lebih panjang.

Namun alasan madzhab Malikiyah yang mengatakan ini adalah sebuah redaksi perintah maka hukum asal perintah itu wajib. Kemudian mereka (ulama-ulama Malikiyah) memberikan satu alasan yang sangat logis secara tinjauan fiqih, bahwa suami yang tergesa-gesa, terburu-buru, tanpa pikir panjang menjatuhkan perceraian di saat istrinya sedang haid. Itu telah melakukan satu sikap yang tidak elegan, yaitu tergesa-gesa melakukan sesuatu, ingin mencapai sesuatu sebelum waktu yang dibenarkan.

Ada satu kaidah,

من استعجل الشيء قبل أوانه عوقب بحرمانه

Siapa pun yang tergesa-gesa ingin mendapatkan sesuatu yang belum waktunya, alias prematur, tergesa-gesa melakukan sesuatu sebelum pada waktunya, maka biasanya dalam Islam orang tersebut akan dihukumi. Dengan apa? Dihalang-halangi dari maksud tersebut.

Ini relevan dengan instruksi Nabi kepada Abdullah bin Umar untuk menahan istrinya, walaupun sudah suci dari haid dan dia tidak menggaulinya, untuk mempertahankan istrinya hingga haid kembali dan kemudian suci kembali.

Agar sikap tergesa-gesa itu tidak terulang karena memang tidak sepatutnya perceraian ini diambil dengan sekonyong-konyong, tergesa-gesa tanpa pertimbangan yang matang tanpa musyawarah yang matang. Membandingkan, mengkomparasikan antara maslahat dan mafsadahnya.

Islam ingin mengedukasi suami, bahwa satu sikap yang salah, kesalahan yang besar bila suami tergesa-gesa mengambil keputusan, menceraikan istrinya tanpa memikirkan waktunya, tanpa mengkomparasikan maslahat dan mafsadahnya, emosional sesaat.

Dan wallahu ta'ala a'lam, pendapat yang kedua ini secara tinjauan dalil lebih kuat, karena redaksi haditsnya jelas-jelas menggunakan kata perintah ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا kemudian hendaknya dia tetap mempertahankan istrinya حَتَّى تَحِيضَ sampai suci kembali ثُمَّ تَطْهُرَ sampai dia suci kembali atau haid kemudian suci kembali.

Ini penjelasan tentang hukum menceraikan istri di saat istri sedang haid, adapun menjatuhkan perceraian kepada istri di saat istri sedang suci namun sudah digauli, maka insyaallah akan kita bicarakan pada pertemuan yang akan datang.

Demikian yang bisa kami sampaikan, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.