F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-115 Talak Bagian Kesembilan

Audio ke-115 Talak Bagian Kesembilan - Kitabul An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 26 Rajab 1444 H | 17 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-115

📖 Talak Bagian Kesembilan

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat, peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa ta’ālā.

Al Mualif Rahimallāhu ta’ālā mengatakan,

والكناية كل لفظ احتمل الطلاق وغيره ويفتقر إلى النية

Perceraian yang diucapkan oleh suami dengan redaksi-redaksi yang tidak lugas, tidak tegas tetapi redaksi suami itu masih multitafsir (masih sangat memungkinkan untuk diartikan dengan kata-kata lain, dengan maksud lain).

Sehingga karena memang secara tradisi yang berlaku di masyarakat tersebut kata-kata atau redaksi semacam itu kadang digunakan untuk mengungkapkan arti perceraian (perpisahan), kadang pula digunakan untuk mengungkapkan tujuan yang lain. Misalnya ketika suami mengatakan kepada istrinya, “Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu.”

Seringkali suami menggunakan kata-kata ini untuk memutuskan hubungan pernikahan, “Aku pulangkan kamu ke rumah orang tuamu. Pergilah, keluarlah dari rumah ini.” Walaupun kita semua juga sadar bahwa redaksi-redaksi semacam ini juga sering digunakan untuk mengutarakan arti-arti lain selain perceraian.

Misalnya musim liburan, suami belum sempat mengantar istri ke rumah mertuanya. Karena dia masih punya urusan, dia katakan, “Silakan kau pulang ke rumah orang tuamu. Silakan kau keluar dari rumah.” Ketika istri meminta izin untuk berbelanja misalnya suami kadang mengatakan, “Terserah keluarlah dari rumah, pergilah.” Ini juga di masyarakat digunakan redaksi-redaksi ini untuk mengutarakan arti-arti dan maksud-maksud selain perceraian.

Sehingga ketika suami mengutarakan kata-kata tersebut tidak serta merta dianggap itu sebagai perceraian, tetapi harus dikembalikan kepada niat suami. Apa maksud dan tujuan suami dari melontarkan kata-kata tersebut. Bila dia mengatakan, “Saya niatnya ingin memutus, mengakhiri hubungan pernikahan.” Maka, redaksi itu bisa diterima sebagai redaksi perceraian. Itu bisa diterima dan perceraiannya bisa jatuh dengan kata-kata semacamnya.

Tetapi bila suami kemudian menjabarkan (menjelaskan) maksud dari ucapan dengan arti yang wajar bisa diterima secara tradisi, logis maka tidak bisa jatuh cerai atau tidak jatuh cerai. Klaim suami (penafsiran suami) dari ucapan dia bisa diterima secara hukum.

Namun tentu penjelasan bahwa redaksi yang bersifat kinayah yang multitafsir tidak lugas, penafsirannya dikembalikan kepada niat dan maksud atau tujuan suami. Ini tentu tidak serta-merta kita tutup mata, kita mengabaikan akan fakta-fakta lain berupa indikator-indikator yang mendukung yang juga itu bisa dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami maksud dari ucapan suami.

Ketika suami cekcok, marah, banting piring, gebrak meja misalnya, gedor pintu kemudian dia mengatakan, “Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu, saya pulang kan kamu ke orang tuamu. Kita pisah ranjang.” Misalnya. Maka adanya indikator marah, cekcok, banting piring, banting meja apalagi bila didukung oleh ucapan istri, “Ceraikan aku.”

Kemudian suami mengatakan, “Saya pulang kan kamu ke rumah orang tuamu. Pulanglah kamu ke orang tuamu.” Maka qarinah ini, indikator-indikator ini menguatkan maksud adanya pemutusan hubungan pernikahan.

Apalagi bila ternyata ucapan itu merupakan respon jawaban dari permintaan istri agar suami menceraikannya. “Ceraikan aku.” Dan kemudian suami menjawabnya, dengan apa? “Silakan kamu pulang ke rumah orangtuamu. Aku pulangkan kamu orang tuamu.” Dan seterusnya.

Atau mengatakan bahwa, “saya akan segera urus surat-suratnya di kantor pengadilan”. Ini merupakan indikator yang mengarah kepada penafsiran redaksi ucapan suami tadi dengan arti perceraian, pemutusan hubungan pernikahan.

Demikian pula bila didapatkan indikator lain misalnya musim liburan. Misalnya istri minta izin untuk berbelanja, misalnya istri merasa ketakutan di rumah baru tersebut karena tidak ada yang menemani ketika suami bekerja. Maka ketika suami merespon perkataan istri, “Saya takut tinggal di rumah ini sendirian. Ada gangguan di sini, kurang nyaman, kurang aman dan seterusnya.”

Kemudian suami mengatakan, “Baik. Kalau begitu saya akan pulangkan kamu ke rumah orang tuamu.” Maka indikator ini menguatkan arti bahwa suami tidak ingin menceraikan, tetapi dia ingin apa? Ingin mengembalikan istri kepada rumah orang tuanya agar dia merasa aman, tidak merasa terancam. Bukan bermaksud apa? Bukan bermaksud menceraikan.

Atau ketika istri meminta izin untuk keluar rumah berbelanja, shopping, atau wisata. Kemudian suami mengatakan, “Silakan pergi, pergilah.” Maka ini tentu menguatkan arti bahwa dia tidak ingin menceraikan namun merestui istrinya pergi ataupun wisata ataupun berbelanja.

Sehingga dalam menafsiri perkataan suami tentu keberadaan indikator-indikator semacam ini sangat penting terlebih secara faktual. Betapa banyak suami yang ketika dia melafadzkan (mengucapkan) kata-kata semacam di atas kemudian di lain hari, di lain waktu dia menyesal. Ketika dia cekcok, emosi, terbakar oleh rasa tersinggung dan seterusnya. Istri kemudian menantang, mengatakan “Kalau memang kamu laki-laki, ceraikan aku.”

Kemudian suami dengan merasa tersinggung, merasa ego, merasa terhina kemudian mengatakan, “Kalau begitu, pulanglah kamu. kalau gitu saya akan urus, saya akan segera urus surat-suratnya di Pengadilan Agama. Pergilah, keluarlah dari rumah ini.”

Namun seringkali ketika suasana rumah tangga sudah mulai reda, percekcokan sudah berakhir, suami sudah duduk termenung mulai memikirkan konsekuensi dari perceraian dan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Anak-anaknya yang broken home, dia akan bermasalah dengan dua keluarga besar (keluarga dia sendiri dan juga keluarga mertua), dan sebagainya.

Seringkali suami menyesali, suami ketakutan, suami merasa tidak mampu memikul dampak dari perceraian. Maka mulailah suami berusaha atau kadang tidak jujur (bersikap tidak jujur) mengatakan, “Saya tidak maksud menceraikan, saya hanya hanyut dalam marah, saya hanya tersinggung atau alasan yang lain.” Padahal ketika dia mengucapkan redaksi tersebut betul-betul ada niat perceraian. Betul-betul ada niat untuk mengakhiri hubungan pernikahan.

Kadang suami dengan mengatakan, “Siapa takut. Saya akan urus suratnya. Pulanglah kamu ke orangtuamu. Saya tidak butuh, saya akan kawin lagi. Masih banyak wanita lain. Saya akan segera cari pengganti. Saya tidak lagi butuh pada kamu dan seterusnya.” Ada kata-kata semacam itu.

Namun karena kadang kejujuran dan nyali yang ciut menganggap bahwa masalah ini bisa diselesaikan dengan apa? Dengan bermain. Mengesankan bahwa dia terdzolimi, dia tidak sadar, dia tidak paham akan konsekuensi ucapannya. Membuat alibi-alibi yang semacam ini.

Tentu sebagai seorang muslim yang sadar akan konsekuensi hukum bahwa hukum jatuh cerai atau tidak jatuh cerai itu bukan kesepakatan, bukan suka-suka, bukan barang dagangan yang bisa ditawar. Tetapi itu adalah ketetapan hukum Allah Subhānahu wa ta’ālā. Kalau memang sudah diniatkan, ya jatuh.

Dan kalau jatuh itu ada konsekuensi hukum berkurangnya hitungan perceraian, istri wajib memasuki masa iddah. Dan kalau itu sudah terulang 3 kali maka berarti mereka tidak lagi bisa berkumpul dan seterusnya. Maka ini tentu menuntut adanya kejujuran, adanya shidqu an niyah ( صدق النية ), shidqu al-qoul ( صدق القول )

Suami istri harus jujur, karena permasalahan rumah tangga tidaklah bisa diselesaikan dengan cara mempermainkan agama Allah Subhānahu wa ta’ālā. Mencari celah-celah, mencari atau bermain kata-kata. Tidak bisa.

Karena Allah Maha Tahu apa yang ada di dalam hati kita, apa yang kita sembunyikan di dalam niat-niat kita. Dan Allah pasti akan memintai pertanggungjawaban tentang apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita niatkan.

Kelak di Hari Kiamat Allah Subhānahu wa ta’ālā akan membungkam lidah kita, lisan kita. Sehingga tidak lagi bisa bermain kata-kata. Yang akan menjadi saksi (bersaksi) adalah anggota tubuh kita.

Karenanya seorang suami, seorang mufti, seorang istri, kalau memang telah terjadi terlontar kata-kata semacam ini, Jujurlah. Ingatlah bahwa ini bukan kompromi, ini bukan tawar-menawar dagang. Tetapi ini adalah ketetapan hukum Allah yang harus kita indahkan dan kita jalankan. Permainan bermain kata-kata, membuat alibi itu tidaklah menjadikan masalah kita selesai bahkan menjadi semakin buruk.

Kalau pun kemudian masalah itu selesai secara perdata, istri memaafkan, suami rela, keluarga besar kemudian sepakat untuk berdamai dan kemudian Mufti, Ustadz ataupun Kyai yang bisa dimintai pertanyaan itu kemudian akhirnya meralat jawabannya dan menganggap tidak terjatuh perceraian, maka itu tidak menyelesaikan hukum di akhirat kelak.

Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.