F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-114 Talak Bagian Kedelapan

Audio ke-114 Talak Bagian Kedelapan - Kitabul An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 25 Rajab 1444 H | 16 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-114

📖 Talak Bagian Kedelapan

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat, peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa ta’ālā.

Telah kita sampaikan pada sesi sebelumnya bahwa dalam literasi fiqih seorang suami yang telah melontarkan kata-kata cerai secara lugas, tegas dengan redaksi yang betul-betul menggambarkan tentang apa yang ada dalam hati suami berupa keinginan untuk memutus (mengakhiri hubungan pernikahan), maka bila suami telah melakukan hal itu (telah mengucapkan kata-kata semacam itu) berarti pernikahan itu telah berakhir, pernikahan itu telah putus.

Dan idealnya dalam kondisi normal ketika suami telah mengucapkan kata-kata cerai secara lugas dan tegas tidak ada samar sama sekali maka idealnya dia betul-betul sadar akan konsekuensi dari ucapan tersebut. Sehingga apa yang terlontar dari lisannya itu betul-betul menggambarkan itu adalah ekspresi, itu adalah luapan. Dari apa? Isi hatinya.

Karenanya tidak perlu untuk ditelusuri tidak perlu untuk ditanya lebih lanjut apa maksud dari ucapan tersebut. Karena memang kata-kata tersebut jelas kandungan maknanya. Dan idealnya, manusia (lelaki yang normal, berakal sehat) dia sadar dan dia tahu dan dia juga berkomitmen dengan apa yang terlontar dari lisannya.

Sehingga menurut mayoritas ulama selama kata-kata yang semacam itu telah terlontar maka hukum asalnya telah jatuh cerai. Kalau sampai suatu saat suami mengatakan, “Saya tidak berniat untuk menceraikan, saya hanya bermain-main, saya hanya bersenda gurau, saya hanya menakut-nakuti.” Maka hukum asalnya, klaim ini pengakuan ini tidak bisa diterima alias tertolak.

Kenapa? Karena pengakuan ini bertentangan dengan kaidah asal, bertentangan dengan tradisi yang sudah berlaku turun-temurun dan dalam berbagai tempat di semua orang bahwa hukum asal ucapan seseorang yang berakal sehat sadar, tanpa paksaan. Dia itu betul-betul memahami apa yang dia ucapkan dan dia juga betul-betul menginginkan terjadinya apa yang dia ucapkan.

Sehingga bila kemudian hari dia mengatakan, “Saya tidak bermaksud, saya tidak bertujuan.” maka klaim ini bertentangan dengan kaidah umum. Alias tidak wajar sehingga hukum asalnya tertolak tidak perlu ditanyakan apa niatnya. Karena sudah jelas.

Karena kalau kita selalu mempertanyakan apa maksud dan tujuan, padahal redaksinya lugas dan tegas maka ini akan berefek pada hilangnya kepercayaan, hilangnya kejelasan status hukum dalam berbagai macam urusan manusia. Karena orang dengan mudah mengatakan, “Saya tidak bermaksud, saya tidak sengaja, saya pura-pura, saya tidak berniat.”

Maka kalau ini sampai dibuka (ruang semacam ini) maka akan menimbulkan kekacauan dan Islam tentu tidak merestui adanya sikap yang mencerminkan akan permain-mainan, memperolok-olok, mempermainkan agama Allah, mempermainkan hukum Allah Subhānahu wa ta’ālā. Allah mengatakan,

وَلَا تَتَّخِذُوۡٓا اٰيٰتِ اللّٰهِ هُزُوًا‌
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan.” (QS. Al-Baqarah : 231)
Jangan sekali-kali kalian menjadikan ayat-ayat Allah, agama Allah sebagai perolok-olokkan.

Namun demikian, ketetapan umum ini yang berlaku dalam kondisi normal ini tentu dalam kondisi-kondisi tertentu bila didukung oleh indikator, qarinah (bukti-bukti yang otentik, yang meyakinkan) maka sewajarnya bila kondisi tersebut berubah atau ketentuan hukum itu berubah sesuai dengan kondisi dan indikator yang ada.

Misalnya orang dalam kondisi terlalu girang. Ketika istrinya misalnya mendapatkan satu nikmat yang besar atau dia mendapatkan satu kenikmatan yang sangat besar terlalu girang. Dia mengatakan, “Saya ceraikan kamu.” Padahal dia ingin mengatakan, “Saya sangat ceria dengan kedatanganmu.

Mungkin saja terjadi karena ketika orang terlalu girang, itu seringkali dia lepas kontrol, salah ucap bahkan kadangkala nama istrinya saja dia lupa. Kenapa? Blank.

Begitu juga ketika dia berada dalam kondisi ketakutan. Bisa jadi kondisi ini menyebabkan dia salah ucap. Dia ingin mengatakan, “Saya carikan kamu.” Misalnya kendaraan. “Saya carikan untukmu ini dan itu.” Tapi karena begitu takut, karena mungkin istrinya terluka parah, suaminya panik ketakutan dengan apa yang terjadi pada istrinya.

Dia ingin mengatakan, “Saya akan carikan obat, carikan obat”. Namun karena salah ucap, dia mengatakan “Saya ceraikan kamu.” Maka dalam kondisi ini tentu semua orang pun akan memaklumi kalau kemudian dia mengklaim bahwa dia salah ucap. Karena orang panik itu seringkali salah tingkah, salah ucap, salah berbuat, salah sikap. Dan itu tentu wajar.

Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.