F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-113 Talak Bagian Ketujuh

Audio ke-113 Talak Bagian Ketujuh - Kitabul An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 24 Rajab 1444 H | 15 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-113

📖 Talak Bagian Ketujuh

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat, peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa ta’ālā.

Al-Imam Abu Syuja' mengatakan,

ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية

Redaksi perceraian yang lugas (tegas) karena selalu digunakan untuk mengutarakan keinginan memutus hubungan nikah oleh suami, maka bila suami telah mengutarakan kata-kata tersebut secara jelas, tidak samar sedikit pun. Maka jatuhlah perceraian walaupun suami tidak bermaksud. Walaupun suami tidak bermaksud untuk memutus hubungan pernikahan mereka.

Kenapa? Karena reaksinya tegas artinya tidak samar sedikit pun, sehingga harusnya sebagai seorang yang mukallaf (berakal sehat) ketika dia telah mengatakan kata-kata, " طلقتك” (saya talak engkau), maka jatuhlah perceraian, walaupun di dalam dirinya tidak ada niat untuk menjatuhkan perceraian.

Klaim jatuhnya perceraian atas istri lelaki yang telah mengatakan, "طلقتك, saya talak kamu", ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan fuqaha Syafi'iyyah, fuqaha Hanabilah, Hanbali dan yang lainnya. Sehingga walaupun di dalam hatinya tidak ada maksud untuk menceraikan karena dia takut diintimidasi oleh orang atau was-was (dalam kondisi was-was).

Ada sebagian orang karena was-was dia mengucapkan kata-kata perceraian, padahal sebenarnya dia tidak mau, tidak ingin untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi karena dia terbayang-bayang, baru saja menghadiri tema kajian tentang perceraian, tentang talak. Dia terbayang (terngiang-ngiang) di nalar (pikirannya) sampai akhirnya terucap. Padahal dia tidak sepenuhnya memaksudkan perceraian tersebut.

Maka menurut penjelasan Al-Muallif dan ini merupakan madzhab mayoritas ulama bahwa, walaupun dia tidak mempunyai niat langsung divonis jatuh talaknya, karena dia telah mengucapkan.

Selama telah terucap redaksi cerai maka jatuhlah cerai walaupun dalam niat yang berbicara tidak ada, tidak ada niat dalam dirinya untuk menceraikan istrinya.

Kenapa demikian?

Karena selama dia seorang yang mukallaf (berakal sehat) idealnya orang yang berakal sehat adalah orang yang ketika mengucapkan suatu kata-kata dia memahami artinya, dia menginginkan arti dari kata-kata tersebut, dia paham konsekuensi dari arti yang terucap dari lisannya.

Sehingga kalau sampai dia mengatakan bahwa, "Saya ceraikan, saya talak kamu", tapi kemudian dia mengingkari maksudnya, "Saya tidak ingin memutus ikatan nikah" tapi maksud saya adalah saya telah mengajarimu atau saya telah membebaskanmu dari penjara atau dari ikatan.

Maka bagi banyak masyarakat akan dikatakan orang ini (mungkin) cacat nalarnya. Jelas-jelas mengatakan, "Saya talak kamu, kemudian tiba-tiba dia mengatakan saya cinta kamu", maksudnya saya setia padamu. Tentu bagi banyak orang ini mencerminkan dia tidak waras (tidak sehat).

Sehingga ketika dia mengatakan, "Tidak, saya justru dalam kondisi sehat, saya tahu apa arti yang saya ucapkan", (maka) ini berarti satu fakta satu bukti bahwa dia adalah orang sehat. Ketika dia berkata-kata artinya dia harus komitmen dengan ucapannya. Karena ini salah satu indikasi orang itu dikatakan berakal sehat adalah ketika dia paham apa yang dia ucapkan, apa yang dia lakukan. Dia komitmen dengan apa yang dia ucapkan.

Namun sekali lagi tema ini secara hukum asal memang seperti apa yang dikatakan muallif, ketika suami secara redaksi sudah mengatakan talak, maka idealnya jatuh perceraian, putus hubungan pernikahan mereka. Akan tetapi dalam beberapa kasus bisa jadi suami, walaupun telah mengatakan saya ceraikan kamu, dia tidak bermaksud untuk menceraikan istrinya.

Kenapa? Karena ada indikator lain yang menunjukkan bahwa suami tidak ingin menjatuhkan cerai. Misalnya, suaminya adalah seorang guru agama yang sedang berceramah mengajari tema fiqih nikah (fiqih perceraian) kepada banyak orang, salah satunya adalah istrinya.

Ketika suami yang sedang mengajar ini mengatakan (mencontohkan kepada muridnya) bahwa, "طلقتك atau طلقت زوجتي aku ceraikan istriku", dia sama sekali (tidak ada niat) untuk memutuskan hubungan pernikahan dirinya dengan istrinya. Tetapi sebatas mencontohkan.

Ini sebagai contoh konkret, bahwa walaupun suami telah mengatakan kata-kata talak tetap saja harus ditelusuri niat dan maksudnya, harus ada kepastian bahwa dia memang menginginkan putusnya hubungan nikah.

Tetapi ketika dia menginginkan arti yang lain seperti (misalnya) sekedar mencontohkan, mengajarkan ilmu, maka itu masih bisa diterima. Selama ada indikator, ada fakta-fakta yang mendukung klaim bahwa dia tidak menginginkan putusnya hubungan nikah tetapi dia hanya sebatas mengajarkan.

Sehingga tidak masalah seorang suami mengajarkan tema perceraian kepada istrinya, kepada anak-anaknya, kepada masyarakat, selama dia tidak meniatkan ingin mengakhiri hubungan nikahnya dengan istrinya, maka tidak masalah walaupun dalam satu forum tersebut dia mengatakan, "Saya ceraikan istriku, saya ceraikan istriku". Karena ini hanya sekedar contoh, maka tidaklah jatuh perceraian itu.

Karena itu klaim bahwa redaksi yang lugas tegas atau sharih, bila telah diucapkan oleh suami maka jatuhlah perceraian secara mutlak tanpa perlu menanyakan niat, tanpa perlu mempertimbangkan niatnya. Ini hanya berlaku pada kondisi-kondisi normal, bila tidak ditemukan indikator-indikator lain.

Tetapi bila ada indikator-indikator yang menguatkan bahwa suami tidak ingin memutuskan hubungan pernikahannya dengan istri tetapi dia hanya sebatas mengajar, mencontohkan redaksi perceraian, karena dia sedang konteknya berceramah, konteknya mengajar, perkuliahan atau yang serupa maka tentu fakta-fakta ini harus diakomodir.

Tidak sepatutnya kita menutup mata, bahwa dia pasti sudah menceraikan, tidak! Karena tentu seperti sabda Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam,

إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ

Setiap amalan itu pasti ada maksud dan tujuannya.

وإنَّما لِكلِّ امرئٍ ما نوى

Dan setiap orang itu hanya mendapatkan hasil, hanya dibebani konsekuensi hukum berdasarkan niat dan maksud dari amalan dan ucapan yang dia ucapkan.

Kalau (ternyata) niatnya hanya sebatas mencontohkan bukan mengakhiri pernikahan dia dengan istrinya, maka tidak sepatutnya (tidak tepat) bila kita kemudian apapun niatnya tetap jatuh cerai.

Karenanya yang lebih tepat, dalam kondisi normal redaksi yang lugas, tegas, akan berkonsekuensi memutus hubungan pernikahan, tetapi bila ditemukan fakta-fakta, qorinah, indikator-indikator yang menguatkan pernyataan suami bahwa dia tidak punya niat untuk memutus pernikahannya dengan istri, maka ini tetap harus diakomodir dan diterima. Sehingga tidak dianggap sebagai perceraian

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga Allah Subhānahu wa ta’ālāmenambahkan taufik, hidayah kepada kita semuanya. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.