F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-112 Talak Bagian Keenam

Audio ke-112 Talak Bagian Keenam - Kitabul An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 23 Rajab 1444 H | 14 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-112

📖 Talak Bagian Keenam

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat, peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa ta’ālā.

Al Imam Abu Syuja' mengatakan :

فالصريح ثلاثة ألفاظ الطلاق، والفراق، والسّراح. ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية

Katanya, redaksi yang tegas, lugas, sharih (jelas) untuk mengutarakan putusnya hubungan pernikahan itu ada 3 redaksi (ada 3 kata-kata).
  1. Yang pertama kata-kata talak,
  2. Yang kedua kata-kata firaq (pisah)
  3. Wa sarah yang memiliki arti yang sama.
Kenapa 3 redaksi ini dalam Mazhab Syafi'i dikatakan sebagai redaksi yang lugas dan tegas? Karena ketika redaksi ini digunakan dalam Al-Qur'an untuk mengutarakan terjadinya pemutusan hubungan nikah.

Misalnya Allah Subhānahu wa ta’ālā,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula)” (QS. Al-Baqarah : 231)
Bila mereka telah mencapai masa akhir iddahnya maka engkau punya wewenang untuk
فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ

Mempertahankan yaitu merujuk kembali istri yang telah kau ceraikan.

أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

Atau membiarkan mereka berlalu mengakhiri masa iddahnya dan tanpa dirujuk.

Dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan kepada istri-istrinya. Pertama Allah memberikan opsi,

وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ الْاٰخِرَةَ
Artinya : “Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat.” (QS. Al-Ahzab : 29)
Kalau kalian menginginkan kehidupan dunia dan akhirat maka kalian akan tetap menjadi istri Nabi. Tetapi sebaliknya, bila kalian menginginkan harta, kekayaan dan kemewahan dunia,

فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ
Artinya : “Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah” (QS. Al-Ahzab : 28)
Kemarilah, akan aku berikan kekayaan harta.

وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Artinya : “Dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (QS.Al-Ahzab : 28)
Tetapi setelah kalian aku berikan harta, kalian akan aku biarkan, aku lepaskan dengan cara-cara yang baik, dengan cara-cara yang terhormat.

Pada ayat-ayat ini dan yang lainnya, Allah Subhānahu wa ta’ālā menggunakan kata-kata sarah ( سَرَاحٌ) untuk mengungkapkan satu arti yaitu berakhirnya masa pernikahan, putusnya pernikahan atau hubungan pernikahan antara suami dan istri. Karena redaksi ini digunakan dalam Al-Qur'an maka oleh para ulama termasuk para tokoh Syafi'iyah itu dianggap sebagai redaksi yang lugas, tegas atau sharih.

Demikian juga kata-kata firaq,

فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ

Kalau wanita-wanita itu telah mencapai masa akhir dari iddahnya maka kalian punya hak untuk mempertahankannya dengan merujuk ataupun,

فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ

Atau pisahlah, putuslah hubungan pernikahan antara engkau dengan dia.

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, rujuklah dengan mereka secara baik atau lepaskanlah mereka secara baik. (QS. At-Talaq : 2)
Ini 3 redaksi menurut para ulama Syafi'i sebagai redaksi yang sharih, tegas dan lugas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa alasan atau klaim bahwa 3 redaksi ini, 3 kata-kata ini adalah kata-kata yang sharih itu dasarnya adalah karena ketiga redaksi ini digunakan dalam Al-Qur'an untuk mengungkapkan makna perpisahan atau putusnya, berakhirnya atau makna pemutusan hubungan nikah yang dilakukan oleh suami.

Tetapi klaim bahwa ketiga redaksi ini merupakan redaksi yang sharih karena digunakan dalam Al-Qur'an untuk mengutarakan putusnya hubungan nikah, oleh sebagai ulama dikritisi. Kenapa demikian? Karena misalnya dalam ayat,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍۢ
(QS. Al-Baqarah : 231)

Kalau wanita-wanita yang telah engkau ceraikan mencapai masa akhir iddahnya maka selama masa iddah itu berlangsung atau belum berakhir atau mendekati tapi belum berakhir maka engkau punya hak untuk mempertahankannya kembali. Yaitu merujuk atau membiarkannya berlalu pergi.

Ketika dicermati dengan seksama, maka kata-kata sarah ( سَرَاحٌ) pada ayat ini tidak berarti bercerai. Namun arti yang lebih tepat adalah membiarkan istri yang telah dicerai berlalu mengakhiri masa iddahnya tanpa dirujuk. Sehingga ini satu arti yang berbeda dengan kata-kata talaq, yang artinya adalah menjatuhkan atau memutus hubungan pernikahan yang terjalin. Tetapi kata sarah ( سَرَاحٌ) di sini artinya adalah membiarkan istri yang telah dicerai berlalu tanpa dirujuk.

Demikian pula kata-kata firaq (فراق ) semakna dengan sarah ( سَرَاحٌ). Sehingga klaim bahwa ini adalah redaksi yang lugas, tegas untuk mengatakan atau mengungkapkan arti pemutusan ikatan nikah ini tidak sepenuhnya dapat diterima. Karenanya menurut sebagian ulama membatasi redaksi perceraian yang dianggap sebagai redaksi yang sharih, lugas, tegas hanya ada pada tiga redaksi ini.

Baik bagi orang yang memang komunikasi sehariannya adalah bahasa Arab ataupun komunikasi sehariannya adalah dengan bahasa lain. Ini secara tinjauan dalil dan secara tinjauan kaidah-kaidah fiqih kurang begitu tepat. Kenapa? karena ternyata redaksi-redaksi ini banyak digunakan untuk mengungkapkan kata-kata selain pemutusan ikatan nikah.

Karenanya sebagian ulama mengatakan, “Suatu redaksi dikatakan sharih, tegas itu tidak hanya berdasarkan redaksinya, tetapi harus dikaitkan dengan siyaq (سياق) dan sibak (صباغ) konteks pembicaraan.

Ketika suami dan istri sedang berbicara tentang tema mengakhiri hubungan pernikahan, kemudian suami mengatakan, “Saya talak atau فارقتك atau سرحتك” maka konteks pembicaraan ini menjadi pendukung, menjadi alat bantu untuk menetapkan makna arti dari ungkapan suami.

Tetapi ketika konteks pembicaraan antara keduanya berkaitan dengan upaya melepas ikatan, upaya mengurai buhul simpul satu tali yang menjerat. Misalnya pakaian istri atau kaki istri yang serupa. Atau istri yang sedang terkurung di kamar karena kuncinya rusak, suami berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan istrinya, melepaskan istrinya. Setelah susah payah kemudian berhasil.

Saking girangnya suami mengatakan طلقتك. Padahal dia ingin mengatakan اطلقتك aku berhasil melepaskanmu. Tetapi karena saking girang, tergesa-gesa dia salah ucap dan mengatakan طلقتك. Maka kata-kata فارق , kata- kata طلّق itu tidak sepenuhnya menjadi lugas tegas untuk mengungkapkan arti perpisahan, memutus hubungan nikah, tetapi yang menyebabkan dia tidak diragukan maksud dan tujuannya, artinya bahwa itu adalah proses pemutusan hubungan nikah itu adalah karena faktor konteks, konteks pembicaraan, tema dan lain sebagainya atau indikator-indikator lain.

Karenanya menurut sebagian ulama mengatakan bahwa yang lebih tepat adalah bila kita menyatakan, mengembalikan redaksi yang mengungkapkan arti pemutusan hubungan nikah itu kepada bahasa masing-masing masyarakat.

Bisa jadi satu masyarakat seperti di Indonesia misalnya tidak memahami arti kata sarah, arti kata firaq, tetapi memahami arti perceraian, arti pegatan, arti perpisahan. Walaupun secara redaksi tidak semakna atau tidak sama dengan kata sarah atau firaq. Tetapi itu mengungkapkan arti yang sama.

Sehingga karena pernikahan, perceraian itu bukan hal ibadah. Maka sebagian ulama di antaranya Al Imam Ibnu Taimiyah mengembalikan kata-kata atau mengembalikan redaksi perceraian itu kepada tradisi setiap daerah, setiap masyarakat. Bahasa apa saja, kata apa saja yang di masyarakat selalu digunakan untuk mengutarakan pemutusan hubungan nikah maka itu sharih. Walaupun keluar dari tiga opsi kata-kata ini.

Tidak harus dengan kata-kata itu. Misalnya dalam bahasa Jawa dikatakan dengan bahasa pegatan, dalam bahasa Indonesia dikatakan perceraian, dan dalam bahasa lain mungkin dengan kata-kata yang lain. Sehingga sesuai dengan redaksi yang ada di masing-masing daerah.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allāh Subhānahu wa ta’ālā menambahkan Taufik dan Hidayah kepada kita semuanya. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.