F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-110 Talak Bagian Keempat

Audio ke-110 Talak Bagian Keempat - Kitabul An-Nikah Matan Abu Syuja
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT | 19 Rajab 1444 H / | 10 Februari 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-110

📖 Talak Bagian Keempat

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدالله وصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allah Subhānahu wa ta’ālā.

Para ahli Fiqih dari berbagai madzhab menyatakan bahwa perceraian itu secara tinjauan hukum syar'i, hukumnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan motivasi serta tata-cara terjadinya perceraian tersebut.

Bisa jadi perceraian itu sesuatu yang mubah bila dengan alasan-alasan yang dibenarkan tanpa ada dosa-dosa yang mengiringinya, bisa jadi justru perceraian itu menjadi suatu hal yang disunnahkan.

Seperti yang disampaikan bila memang maslahatnya lebih besar dibanding mempertahankan pernikahannya, sedangkan mempertahankan pernikahan mudharat (kerugian) nya lebih besar dibanding maslahatnya dan bisa jadi sampai jatuh pada tingkat wajib menceraikan.

Kapan itu? Ada beberapa alasan (kondisi) di mana suami wajib menceraikan istrinya. Bila istrinya tidak lagi menjaga kesucian rumah tangga tersebut, sehingga istrinya berpotensi menyusupkan anak orang lain ke dalam rumah tangga yaitu dengan cara berzina (selingkuh).

Maka ini potensi mencelakakan suami karena dia bisa jadi hamil dari hasil hubungan gelap dengan lelaki lain, tetapi tidak ketahuan akhirnya anak yang terlahir dari air mani lelaki lain tersebut dinasabkan kepada suaminya, padahal ini adalah sesuatu yang haram hukumnya.

Karena itu ketika salah seorang sahabat datang kepada Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ امْرَأَتي لاَ تَرُدُّ يَدَ لاَمِسٍ
"Ya Rasulullah, istriku itu tidak pernah punya sikap berani menolak siapa pun lelaki yang menggodanya."
Maka Nabi menyatakan, " طَلِّقْهَا Kalau memang demikian ceraikan dia".

Kemudian sahabat tadi (setelah) mendapatkan arahan untuk menceraikan istrinya, ia menyatakan,

يا رسول الله إني أحبها خشيت ان تتبعها نفسى
"Ya Rasulullah, kalau aku ceraikan aku terlanjur mencintainya, aku khawatir justru aku akan menjadi satu dari sekian banyak laki-laki yang selalu membuntutinya (terjatuh dalam perzinaan dengan mantan istriku ini)."
Maka Nabi shallallāahu 'alayhi wa sallam memberikan arahan,

أَمْسِكْهَا

Bila demikian, bila engkau justru khawatir kalau diceraikan akan berzina dengan dia maka pertahankan! Tentu dengan apa? Dengan upaya membentengi istri agar tidak terjatuh dalam perbuatan zina. Subhanallah.

Di antara bentuk perceraian yang harus dilakukan adalah bila suami telah dengan terang-terangan menuduh istrinya berbuat zina, maka kalau itu sampai terjadi hanya ada satu pilihan yaitu perpisahan melalui proses Li'an sebagaimana yang akan kita bicarakan selanjutnya.

Di antara alasan yang menguatkan agar suami memutuskan untuk mengakhiri pernikahan melalui proses perceraian yaitu bila suami tidak lagi mampu menunaikan hak-hak istri karena dia jatuh miskin, tidak lagi mampu menafkahi istrinya atau dia mengalami penyakit sehingga dia tidak mampu menggauli istrinya dengan baik.

Sehingga dengan dipertahankannya dia sebagai istri bisa jadi menjatuhkan istrinya dalam perbuatan zina, karena dia tidak merasa mendapatkan haknya dalam hubungan badan. Akhirnya dia mencari saluran dengan berzina. Kalau itu dikhawatirkan, maka akan lebih baik bagi suami untuk menceraikannya, agar dia tidak terjatuh dalam perbuatan dosa karena tidak memberikan hak istri.

Dan kalau memang suami tidak dengan terbuka memberikan atau melepaskan ikatan pernikahan maka istri seperti yang dijelaskan sebelumnya berhak untuk mengajukan gugatan cerai melalui proses Khulu'. Namun perceraian juga bisa jadi makruh bila perceraian itu diambil secara tergesa-gesa padahal kedua belah pihak masih mampu (masih bisa), masih ada alternatif (solusi-solusi) bagi problem yang mendera rumah tangga mereka.

Banyak dari kaum muslimin bahkan yang sekarang terjadi di pengadilan-pengadilan agama, keputusan menceraikan istri itu banyak sekali diambil secara spontanitas, emosional sesaat, ketergesa-gesaan atau karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan secara tinjauan syari'.

Suu'dzhan yang berlebihan atau karena kecemburuan yang tidak pada tempatnya atau justru karena perbuatan zhalim dari suami (menzhalimi istrinya) ingin mengambil hartanya, tidak rela bila istrinya berbuat baik kepada orang tuanya, kepada saudarinya atau yang lainnya. Terjadi kecemburuan yang tidak pada tempatnya.

Maka memutuskan hubungan pernikahan dengan alasan yang semacam ini, mafsadahnya lebih besar dibanding maslahahnya padahal kedua belah pihak masih bisa mempertahankan rumah tangga itu dengan komunikasi (membangun ulang, menata ulang komunikasi) di antara mereka agar rumah tangga itu bisa betul-betul kembali pada relnya yang benar untuk kemudian menjadi rumah tangga yang sakinah mawadah dan warahmah.

Namun ternyata kadang ego sesaat, ego pribadi menjadikan mereka memilih untuk mengakhiri pernikahan melalui perceraian, maka ini makruh dan bila keputusan menceraikan itu dilakukan karena murni kesewenang-wenangan (arogansi suami) maka ini bentuk dari kezhaliman.

Istri yang baik, shalihah, nurut patuh kepada suami, namun ternyata suami masih ingin memaksakan kehendaknya, mengambil harta istri, tidak menunaikan nafkahnya dan lain sebagainya, maka ini adalah kezhaliman.

Karenanya Allah Subhānahu wa ta’ālā menyatakan,

فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ

Kalau istrimu sudah tunduk dan patuh kepadamu (tentu dalam hal yang ma'ruf) maka,
فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ

Jangan engkau mencari-cari alasan untuk apa? Untuk menekan (mengintimidasi, mengintervensi) dan apalagi sampai menzhalimi (memaksakan kehendak) yang akhirnya menjerumuskan istri (menjatuhkan istri) dalam kerugian baik materi ataupun yang lainnya. (QS. An-Nisaa': 34)

Di antara salah satu alasan, suatu perceraian dikatakan haram adalah bila keputusan menceraikan itu dilakukan secara tergesa-gesa sehingga dijatuhkan di saat istrinya sedang haidh. Tentu ini salah satu indikasi bahwa keputusan menceraikan itu diputuskan secara tergesa-gesa.

Makanya dahulu, ketika Abdullah bin Umar radhiyallahu ta'ala 'anhuma memutuskan perceraian secara tergesa-gesa Umar bin Khaththab yang sadar bahwa ini adalah keputusan yang salah, mengadu kepada Nabi shallallāahu 'alayhi wa sallam untuk mencari petunjuk apa yang harus dilakukan.

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Perintahkan putramu untuk merujuk kembali istrinya!”
ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا
“Kemudian dia pertahankan istrinya tersebut”
حَتَّى تَطْهُرَ
sampai dia suci dari haidhnya.
ثُمَّ تَحِيضَ

Kemudian melalui satu masa suci kemudian haidh lagi حَتَّى تَطْهُرَ sampai suci yang kedua kali, baru setelah suci kedua kali.

إِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ

Kalau memang setelah melalui masa suci yang kedua dan tiba masa suci kedua kalau masih ingin memutuskan bercerai maka silakan dia ceraikan dalam kondisi istrinya suci sebelum sempat dia gauli di satu masa suci tersebut.

Di antara kondisi di mana satu perceraian itu diharamkan adalah bila perceraian itu dilakukan di masa, di mana suami baru saja menggauli istrinya. Istrinya suci tidak sedang haidh tetapi pada periode suci tersebut dia (suami) baru saja menggauli istrinya.

Pada periode suci suami sudah menggauli istrinya, sehingga perceraian ini menimbulkan atau membuka masalah baru yang lebih besar dibanding problematika rumah tangga yang mungkin menjadi alasan untuk suami menceraikannya. Kebuntuan komunikasi yang menjadikan suami memutuskan untuk menceraikan yaitu munculnya kemungkinan istri dalam kondisi hamil yang itu berpotensi bila nanti masa iddahnya berlalu istri menikah lagi dengan laki-laki lain dalam kondisi hamil.

Yaitu potensi terjadi اختلاف النسب potensi terjadinya percampuran nasab karena istrinya mengira sudah berlalu masa haidh kemudian menikah dengan laki-laki lain padahal dia dalam kondisi hamil karena biasanya wanita hamil tidak haidh.

Maka bisa jadi istrinya mengira bahwa dia sudah menopause (tidak lagi haidh) sehingga dia menjalani masa Iddah selama tiga bulan berturut-turut kemudian dia memutuskan menikah dengan laki-laki lain padahal dia tidak haidh bukan karena sudah menopause tetapi dia dalam kondisi hamil.

Perceraian ini membuka lembaran masalah baru yang mafsadahnya sangat besar, maka menceraikan istri dalam kondisi suci tidak haidh namun dalam kondisi telah digauli pada masa suci tersebut termasuk perceraian yang diharamkan.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga Allah Subhānahu wa ta’ālāmenambahkan taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.