F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-104 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Kelima

Audio ke-104 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Kelima
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 25 Jumadal Ula 1444H | 19 Desember 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-104

📖 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Kelima

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Al muallif Imam Abu Syuja' mengatakan,

وتملك به المرأة نفسها ولا رجعة له عليها إلا بنكاح جديد

Kalau kedua belah pihak (suami dan istri) telah bersepakat untuk mengakhiri pernikahan melalui proses khulu'. Istri mengembalikan membayar uang tebusan baik senilai dengan mas kawin yang pernah dia dapat, atau kurang dari itu, atau bahkan bisa jadi keduanya bersepakat agar istri membayar tebusan lebih besar dibanding mas kawin yang pernah dia dapatkan.

Karenanya pada penjelasan ini Al muallif Al Imam Abu Syuja' dan ini merupakan pendapat yang diajarkan dan dianut dalam Mazhab Syafi’i, bahwa uang tebusan yang diberikan oleh istri kepada suami untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka itu dikembalikan kepada kesepakatan kedua belah pihak.

Baik kesepakatan itu akhirnya mengharuskan istri mengembalikan mas kawin, atau mengganti nilainya saja, atau memberi harta yang lebih banyak, atau lebih sedikit dibanding mas kawin selama itu disepakati kedua belah pihak, maka boleh yaitu secara hukum boleh karena dalam ayat Allah dengan tegas mengatakan,

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ
Tidak ada celaan kepada keduanya bila istri memberikan tebusan kepada suami untuk mengakhiri hubungan pernikahan di antara mereka. [QS Al-Baqarah: 229]
Ayat ini tidak memberikan batasan berapa maksimal dan berapa minimal tebusan yang harus diberikan oleh istri dan yang boleh diterima oleh suami, tidak ada batasannya.

Karenanya dalam mazhab Syafi'i dikatakan nominal tebusan itu bebas dikembalikan kepada kesepakatan. Namun di administrasi hukum, Administrasi negara kita ketika Anda menikah, di halaman terakhir buku nikah anda di sana telah dijelaskan bahwa, administrasi pemerintahan kita telah memberikan/menertibkan untuk tidak terjadi sengketa membuka luka baru dan permasalahan baru.

Pemerintah kita menetapkan bahwa tebusannya hanya sepuluh ribu rupiah yang kemudian sepuluh ribu rupiah itu ditasyarufkan (dipercayakan) kepada departemen Agama untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Dan ini telah disepakati oleh kedua belah pihak di awal pernikahan.

Maka itu,

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ

Hukum asal kaum muslimin itu wajib memenuhi kesepakatan yang telah mereka capai, kesepakatan yang telah mereka ambil.

Kalau suami telah menyetujui maka sejak terjadi kesepakatan untuk adanya tebusan maka istri

تملك به المرأة نفسها

Sejak kesepakatan itu dan istri membayarkan uang tebusan maka istri betul-betul memiliki kewenangan mutlak atas dirinya untuk menentukan sikap, ia betul-betul terbebas dari belenggu dari ikatan pernikahan.

Suami betul-betul lagi kehilangan kontrol tidak lagi punya kewenangan untuk mengatur atau membatasi ruang gerak wanita tersebut karena sejak saat itu ikatan pernikahan itu telah sirna telah diputuskan (fasakh) diurai kembali dibatalkan.

Sehingga sejak itu mereka berstatus sebagai orang lain atau ajnabi. Tidak ada hubungan pernikahan lagi sesama mereka, sehingga mereka tidak boleh lagi berkumpul, mereka tidak boleh lagi berjabatan tangan, mereka tidak boleh lagi berduaan, mereka tidak boleh lagi safar berduaan, mereka tidak lagi boleh berhubungan badan, dan seterusnya.

Sebagaimana suami tidak punya hak maka istri juga tidak punya hak atas suami, nafkah, tidak punya hak untuk mendapatkan kiswah (pakaian), ataupun suknah, ataupun tempat tinggal, karena memang dengan adanya khulu' itu mereka telah bersepakat untuk mengurai kembali menghapuskan ikatan pernikahan yang telah mengikat antara mereka berdua.

ولا رجعة له عليها

Sebagaimana suami juga tidak punya kewenangan untuk rujuk, kalau sudah disepakati "iyaa", kemudian istri membayar uang tebusan maka sejak itu suami tidak lagi bisa membatalkan ataupun merujuk istrinya mengatakan, “saya rujuk dari keputusan saya”. Tidak! Tidak ada kewenangan untuk itu

Karena memang dalam literasi fiqih Syafi'i khulu' itu fasakh, khulu' itu adalah pembatalan akad bukan talak.

Dan sebagai konsekwensinya istri yang telah bersepakat dengan suami dan telah menebus dirinya memberikan tebusan kepada suami untuk mengakhiri pernikahan ini yaitu khulu' (gugat cerai) ini, istri tidak wajib menjalani masa Iddah tetapi dia hanya berkewajiban menjalani masa penantian selama sekali masa haid.

Untuk apa? Untuk memastikan bahwa ketika dia bersepakat dengan suami ketika dia menebus dirinya dari suaminya dia dalam kondisi tidak sedang hamil sehingga tidak terjadi potensi percampuran nasab atau kesamaran pada anak yang mungkin dia kandung. Sehingga ini yang dikenal dengan istibra' dia berkewajiban menanti satu periode haid (sekali haid) untuk memastikan bahwa dia tidak sedang dalam kondisi hamil.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan taufik hidayah kepada anda. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله توفيق بالهدايه
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.