F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-101 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Kedua - Mengembalikan mahar

Audio ke-101 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Kedua
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 20 Jumadal Ula 1444H | 14 Desember 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-101

📖 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Kedua

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Para ulama berselisih pendapat, apakah hukum menceraikan istri tanpa sebab? Sebagian ulama mengatakan, “Suami berkewajiban mempertahankan rumah tangganya demi mewujudkan, demi mencapai, mendapatkan maslahat yang sangat besar dari pernikahan. Adanya anak keturunan, adanya perjuangan, nafkah, pendidikan dan seterusnya.”

Sehingga bila tanpa sebab suami haram hukumnya menceraikan istri. Karena itu akan menyebabkan anak dan istrinya telantarkan atau terancam pendidikan, agama, nafkahnya terancam akan terbengkalai.

Sebagaimana sebaliknya istri juga dibebani untuk mempertahankan rumah tangga. Tidak sepatutnya, tidak halal bagi istri untuk gegabah (ceroboh) minta cerai atau memiliki keinginan untuk mengakhiri hubungan rumah tangga dengan mengatakan:

“Saya sudah capek, ingin hidup mandiri, ingin hidup bebas tanpa ada ikatan, tidak terbebani dengan melayani suami, tidak terbebani dengan kewajiban taat kepada suami, ingin hidup bebas, mandiri”.

Apalagi bisa jadi secara finansial sebagian wanita merasa mampu untuk hidup sendiri. Dia seorang wanita karir atau bahkan mungkin pengusaha. Tetapi tentu mempertahankan rumah tangga maslahatnya lebih besar.

Karena berarti ketika anda mempertahankan rumah tangga, anda berarti mempertahankan kelangsungan masa depan anak cucu anda. Anda juga mempertahankan banyak pahala yang Allah buka dengan pernikahan. Ini hukum asalnya.

Tetapi ketika terjadi kondisi yang tidak lagi memungkinkan keduanya bertahan, apalagi istri yang merasa terdzalimi, merasa terintimidasi, tereksploitasi atau terancam maka dia mendapatkan akses.

Allah memberikan jalan keluar baginya untuk bisa mengakhiri ikatan yang ternyata terbukti menjadikan dia terjerembab dalam kondisi yang memprihatinkan, merugikan, mengancam bahkan mencelakakan. Itu yang disebut dengan الخلع (khulu').

Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” [HR Abu Daud no. 2226, Tirmidzi no. 1187 dan Ibnu Majah no. 2055. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih].
Siapapun wanita yang bila tanpa sebab tanpa alasan dibenarkan kemudian dia meminta cerai dari suaminya, maka haram baginya untuk mencium bau surga.

Tetapi dalam ayat, Allah tegaskan

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ

Bila kedua suami dan istri khawatir tidak lagi mampu mewujudkan mashlahat pernikahan, tidak lagi mampu memperjuangkan tercapainya cita-cita ikatan nikah di antara mereka berdua, maka Allah tegaskan,

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ
Tidak mengapa bila keduanya akhirnya bersepakat untuk istri menebus ikatan pernikahan tersebut dengan cara mengembalikan mas kawin atau dengan yang lainnya. [QS Al-Baqarah: 229]
Suatu hari Sahla Hammin bintu Suhail Radhiyallahu Ta'ala Anha, pagi-pagi hari betul ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam keluar dari rumah Beliau untuk menunaikan sholat subuh, Beliau terkejut ternyata di depan pintunya, di depan pintu Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam, Sahla Hammin bintu Suhail telah menanti keluarnya Nabi dari rumah.

Maka Nabi langsung memahami bahwa kehadiran Sahlah bintu Suhail di pagi hari, di dini hari tersebut pasti ada suatu hal yang penting yang harus segera diselesaikan sekedar Sahlah bintu Suhail berjumpa dengan Nabi, Sahlah bintu Suhail langsung mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ

Yaa Rasulallah, sudah aku tidak lagi bisa bertahan hidup bersama Tsabit Ibnu Qois Ibnu Syamas Radhiyallahu Ta'la Anhu.[HR Bukhari: 4869]
Mendengar pengaduan Sahlah bintu Suhail yang memperhatinkan ini, Nabi berusaha mencari tahu. Mengapa? Mengapa Sahlah bintu Suhail begitu menggebu untuk mengakhiri rumah tangganya?

Sahlah bintu Suhail ketika ditanya alasannya, beliau mengatakan,

لا أوتيكه قره أو بغضا
Yaa Rasulullah, aku sudah tidak lagi tahan. Tidak lagi mampu menahan rasa benciku kepada dia.
Dikisahkan dalam beberapa riwayat alasan Sahlah bintu Suhail begitu membenci suaminya karena ternyata suatu hari Tsabit Ibnu Qois Ibnu Syamas yang dikenal temperamen (emosional, mudah marah).

Ketika suatu hari dia marah, dia memukul istrinya dengan pukulan yang cukup keras yang menjadikan Sahlah bintu Suhail merasa kehilangan arti dari rumah tangga ini. Suami yang seharusnya melindungi justru menyakiti. Maka Sahlah bintu Suhail sejak saat itu tidak lagi mampu mempertahankan rasa bencinya, dia kecewa.

Maka Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam setelah mengetahui bahwa Sahlah bintu Suhail betul-betul tidak lagi bisa didamaikan kembali dengan suaminya, maka Nabi bertanya kepada Sahlah bintu Suhail,

فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ

Wahai Sahlah bintu Suhail, apakah engkau berkenan? Apakah engkau siap? Apakah engkau mampu untuk mengembalikan mas kawinnya yang berupa sebidang ladang yang pernah dia berikan kepadamu?

Maka Sahlah bintu Suhail mengatakan,

إن حديقة هو عندي

Yaa Rasulullah, ladang yang dulu pernah dia berikan kepadaku sebagai mas kawin masih utuh ada di tanganku akan kuberikan, aku akan kembalikan.

Maka segera Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam memanggil Tsabit Ibnu Qois Ibnu Syamas, kemudian mengatakan kepadanya,

اقبل الحداقه واطلقها طليقة

Wahai Tsabit, terimalah kembali ladangmu dan ceraikanlah dia, berpisahlah dari dirinya.

Dalam kisah ini begitu dikisahkan begitu bencinya Sahlah bintu Suhail kepada suaminya. Karena dia telah merasa kehilangan atau ilfeel (kehilangan rasa) kepada suami yang telah menyakitinya.

Maka Sahlah bintu Suhail ketika ditanya kesanggupannya mengembalikan mas kawin justru Beliau mengatakan,

ان شاء لزدته

Kalau memang dia menuntut lebih dari sekedar mas kawin yang telah dia berikan, aku siap memberi lebih. Yang penting aku berpisah darinya.

Kemudian Nabi mengatakan,

أما زيادة فلا

Kalau tambahan tidak perlu, tidak perlu anda menambah. Cukup kembalikan mas kawin saja.

Ini satu fakta, satu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam yang membuktikan bahwa, “Istri bila memiliki alasan yang kuat maka boleh dia menggugat cerai suaminya.” Karena memang ikatan rumah tangga pernikahan itu bukan satu ikatan yang bersifat kaku, tetapi itu adalah satu ikatan, satu akad yang memiliki tujuan, memiliki alasan kenapa kita harus menikah? Untuk apa kita menikah?

Maka ketika tujuan pernikahan tidak tercapai, justru yang terjadi sebaliknya, mendatangkan mafsadat (kerugian), mencelakakan, mengancam, maka tidak tepat bila pernikahan tetap dipertahankan.

Maka Islam memberi ruang kepada wanita untuk memutuskan ikatan pernikahan antara dia dengan suaminya melalui prosedur khulu’, yaitu dengan cara mengembalikan mas kawin.

Dan ketetapan ini perlakuan khulu' ini di negeri kita telah diakomodir. Kalau anda lihat di buku pernikahan anda, di halaman terakhir. Anda akan dapat di sana beberapa poin, bila suami tidak menafkahi selama sekian bulan atau menyakiti fisik atau menyakiti, menodai harga diri istri dan lain sebagainya, tidak menafkahi secara batin atau tidak menggauli sekian lama, maka istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan agama.

Ketetapan ini atau yang dikenal di negeri kita shighotut ta'lik ini, ini diakomodir, diadopsi dari hukum khulu' ini, walaupun kemudian dalam ketetapan shighatut ta'lik tersebut dijelaskan sejarah lugas, secara tegas bahwa:

“Bila istri menggugat dan gugatan dibenarkan secara Pengadilan Agama maka dia menggantikan mengembalikan mas kawin atau mengganti mas kawin dengan senilai Rp10.000 yang kemudian itu oleh suami dipercayakan kepada pengadilan agama untuk disedekahkan”.

Dan kemudian secara aturan gugatan cerai ini atau shighatut ta'lik ini di negeri kita di tetapkan sebagai perceraian, sebagai talak 1.

Sedangkan dalam literasi fiqih Syafi'i khulu' itu tidak dianggap sebagai perceraian tetapi sebagai fasakh (sebagai pembatalan akad) bukan memutus akad. Artinya mengurai akad yang telah terjadi seakan-akan tidak ada. Karena apa? Karena ternyata istrinya mengembalikan mas kawin.

Sehingga tidak lagi ada ikatan pernikahan mereka. Dengan demikian, dalam literasi fiqih Imam Syafi'i, wanita yang menggugat cerai tidak berkewajiban untuk menjalani masa iddah, tetapi dia berkewajiban menjalani istibra' yaitu menanti datangnya sekali haid dan selanjutnya dia boleh untuk menikah dengan lelaki lain.

Untuk apa? Untuk memastikan bahwa dia tidak sedang dalam kondisi hamil sehingga tidak terjadi percampuran nasab di kemudian hari bila dia menikah dengan lelaki lain.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang lebihnya saya mohon maaf.

بالله توفيق بالهدايه
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.