F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-103 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Keempat

Audio ke-103 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Keempat
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT| 22 Jumadal Ula 1444H | 16 Desember 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-103

📖 Ketika Istri Ingin Berpisah dari Suami Bagian Keempat

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Pada sesi sebelumnya saya telah mengajak Anda berbincang-bincang perihal gugat cerai, bilamana seorang istri berkesimpulan bahwa ia tidak lagi mampu untuk mempertahankan rumah tangga, ia tidak lagi kuasa untuk berada di bawah kepemimpinan suaminya.

Kenapa demikian? karena dia merasa pernikahan ini mudharatnya lebih besar dibanding maslahatnya, kerugiannya lebih besar dibanding keuntungannya. Bisa jadi karena suaminya yang tidak menunaikan hak-hak istri atau suami yang justru malah menyakiti, bukannya melindungi bukannya mendidik, namun suami justru malah mengajak istri untuk berbuat dosa atau mencelakakan istri.

Atau bisa jadi sudah tidak terjadi keharmonisan yang idealnya rumah tangga itu dibangun di atas kesetiaan, kesepahaman untuk saling mendukung, melengkapi, melindungi, menyayangi, mencintai, sehingga mereka bisa bergandengan tangan untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis. Mendidik generasi masa depan yang sholeh dan sholehah.

Namun ternyata itu tidak terwujud yang ada justru malah kobaran api kebencian, kekecewaan, dendam, permusuhan maka tentu secara logika dan kaidah umum syari’ah mempertahankan pernikahan seperti ini tidak ada baiknya, justru hanya akan memperpanjang memperluas dan memperbesar mudharat dan kerugian.

Makanya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan, bahwa boleh bagi wanita bila berada dalam kondisi semacam ini untuk apa? untuk menggugat cerai, meminta agar pernikahan di antara mereka segera diakhiri kalau memang suami tidak berkenan untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka dengan perceraian.

Maka istrilah yang berhak. Istri bisa diberikan kewenangan secara syariat untuk mengajukan gugatan cerai namun dengan konsekuensi istri mengembalikan mas kawin yang pernah dia dapat dari suaminya,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ


Kalau kalian mengkhawatirkan jikalau kedua orang (Suami-istri, ed) itu tidak lagi mampu menunaikan حُدُودَ ٱللَّهِ (ketetapan-ketetapan Allah) syariat Allah dalam urusan rumah tangga, maka tidak mengapa bila istri memberikan tebusan (menebus dirinya) agar ikatan pernikahan antara mereka diakhiri atau berakhir pada proses tersebut. Dan ini dikenal dalam literasi ilmu fiqih dengan sebutan الخلع (gugat cerai).

Kalau sampai terjadi istri betul-betul mengajukan gugatan cerai dan gugatan cerai tersebut beralasan. Ada alasan yang melatarbelakangi. Bukan karena istri tergoda dengan lelaki lain, tidak!

Tetapi betul-betul dia sadar bahwa pernikahan yang dia jalani tidak lagi mendatangkan maslahat, tapi justru malah menambah dosa menambah celaka memperlebar kerugian maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan. Kepada siapa?

Kepada suaminya tentu, karena memang menurut para ulama khulu' itu tidak harus ditunaikan di majelis hakim tetapi istri boleh mengadakan kesepahaman dengan suami untuk dirinya menebus atau istri menebus dirinya agar dia dibebaskan dari ikatan pernikahan yang telah terjalin di antara mereka.

Sebagaimana pada awal proses pernikahan, pernikahan juga tidak harus ke pengadilan. Secara tinjauan syariat, nikah sah walaupun tidak dihadiri oleh hakim, tidak dilaksanakan di majelis hakim ataupun tidak dihadiri oleh petugas yang berwenang.

Secara hukum, pernikahan sah walaupun tidak dihadiri oleh hakim ataupun tidak dilakukan di majelis hakim dan juga tidak dihadiri oleh aparat yang berwenang dalam hal ini KUA (misalnya) secara hukum, walaupun sekali lagi saya selalu menekankan agar ketika Anda menikah, menikahlah dengan cara-cara formal sesuai dengan Hukum Administrasi yang berlaku di negara kita.

Untuk apa? Untuk menjamin hak-hak istri, melindungi hak-hak anak keturunan dan juga membentengi keduanya, membentengi anak keturunannya.

Dari apa? dari image negatif tuduhan yang negatif agar tidak ada lagi celah bagi siapapun untuk mengatakan mereka kumpul kebo.

Apalagi mereka dalam kondisi hidup berjauhan ketemu sesekali sepekan (misalnya) atau sekali sebulan tentu ini potensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Namun secara tinjauan fiqih sekali lagi pernikahan tidak harus di majelis hakim.

Sebagaimana khulu' (gugat cerai) ketika istri merasa sudah tidak lagi mampu melanjutkan pernikahan atau dia tidak lagi mampu menahan rasa kebencian kekecewaan kepada suaminya ia boleh membuat kesepakatan baik-baik dengan suami agar ikatan pernikahan mereka di akhir sampai di sini.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan taufik hidayah kepada anda. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf

بالله توفيق بالهدايه
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.