F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-98 Ketika Suami Kurang Sayang pada Istri Bagian Kedua - Istri Bersikap Bijak, Move On

Audio ke-98 Ketika Suami Kurang Sayang pada Istri Bagian Kedua - Istri Bersikap Bijak, Move On
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 JUM’AT| 15 Jumadal Ula 1444H | 09 Desember 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-098

📖 Ketika Suami Kurang Sayang pada Istri Bagian Kedua


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Pada sesi sebelumnya kita telah berbicara dan mengkaji penjelasan Al Imam Abu Syuja' Rahimahullahu Ta'ala berkaitan dengan sikap sebagian istri yang tidak patuh kepada suami, dan bagaimana solusi dan kiat untuk menghadapinya agar permasalahan tersebut tidak meruncing dan kemudian berakhir dengan perceraian.

Pada kesempatan ini saya mengajak anda untuk berpikir dari sisi yang berbeda, dengan tema yang serupa yaitu bila suami dianggap kurang setia, kurang sayang kepada istri, kurang peduli dengan istri.

Istri harus move on. Dia harus tahu apa yang menyebabkannya itu, dia harus ikut berempati. Sebisa mungkin istri tidak egois, harus tahu bahwa ternyata semakin hari tanggung jawab suami semakin besar, problematika yang dilalui semakin banyak, semakin kompleks. Beban rumah tangga yang harus dipikul oleh suami juga semakin besar, interaksi suami semakin luas, yang ini tentu akan menyita banyak energi yang sebelumnya dicurahkan suami untuk istri.

Sehingga istri harus realistis, sebisa mungkin justru istri harus berkorban untuk ikut menyelesaikan sebagian permasalahan yang dihadapi oleh suami. Misalnya urusan anak, dia selesaikan agar tidak membebani suami. Urusan rumah tangga apa yang bisa dia tunaikan tanpa harus melibatkan suami.

Begitu juga hal-hal yang lain. Bagaimana istri tetap berada pada fungsi utamanya bahwa istri adalah tempat kembali, istri adalah tempat berlindungnya suami, istri adalah tempat suami mencari kedamaian dan ketentraman dari hiruk-pikuk dunianya, hiruk-pikuk pekerjaannya.

Seperti yang Allah gambarkan dalam Al-Qur'an, ketika anda menikah saya yakin anda mendengarkan ayat ini dilantunkan pada prosesi pernikahan anda.

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. [QS Ar-Rum: 21]
Di antara tanda keagungan Allah adalah Allah menciptakan dari diri kalian wahai kaum pria, istri-istri kalian yang istri-istri kalian itu kelak kalian menjadikan istri sebagai tempat mendapatkan sakinah.

لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا

Agar kalian mendapatkan kedamaian, ketenangan di hadapan ketika berada di sisi istrimu.

Baik ketenangan masalah seksual, ketenangan batin, ketenangan fisik, ketenangan dalam hal-hal yang lain

Maka istri yang tidak mampu move on, tidak mampu menyesuaikan diri, bahwa dia harus menjadi tempat berlindungnya suami yang mengayomi, menenangkan, menentramkan perasaan suami, maka rumah tangganya tidak akan pernah harmonis.

Tapi istri yang mampu selalu menjadi bagaikan sebagai ibu yang mengayomi anaknya, melindungi anaknya, istri yang menjadi partner suami yang mampu memberikan, mengembuskan semangat positif.

Seperti yang dicontohkan oleh Khadijah Radhiyallahu ta’ala Anha. Ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam kondisi galau, ketakutan, was-was ketika pertama kali menerima wahyu dari malaikat Jibril dalam pemandangan yang begitu dahsyat, Beliau dipeluk erat oleh malaikat Jibril sampai tidak bisa bernafas.

Pengalaman spiritual yang begitu luar biasa menjadikan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam kebingungan, galau dan ketakutan.

Ketika pulang kepada istrinya, Subhanallah. Ketika Khadijah mendapatkan Nabi dalam kondisi galau, kekhawatiran Khadijah menunjukkan sikap sebagai seorang istri yang idaman.

Beliau mendengarkan dengan setia keluhan dan cerita suaminya yaitu Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutarakan kekhawatiran dan kegalauannya, Khadijah dengan kelembutan dan kemesraan seorang istri Beliau mengatakan,

كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا فَوَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
Tidak. Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu demi selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah, memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu dan membela kebenaran. [HR Bukhari: 4572]
Tidak mungkin Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan menyengsarakan dan mencelakakan. Engkau Wahai Nabi Muhammad senantiasa menolong, membantu, selalu hadir dalam momentum-momentum kebenaran.

Engkau selalu membantu orang yang kesusahan, engkau senantiasa menghormati tamu, engkau memiliki perilaku yang baik, akhlak yang baik. Tidak mungkin Allah mencelakakan kamu.

Subhanallah. Sehingga hembusan semangat positif yang dihembuskan Khadijah kepada Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam menjadikan Nabi tenang.

Dan kemudian Khadijah mencari solusi. Suaminya yaitu (Nabi Shalallahu'Alaihi Wa Sallam) dibawa ke pamannya, seorang ahli kitab seorang ahli orang Arab yang memiliki pengalaman dan wawasan yang sangat luas dan penguasaan terhadap kitab. Dia seorang Yahudi. Diajak diskusi, Subhanallah.

Inilah yang seharusnya dilakukan oleh istri. Jangan sampai istri ketika suaminya sedang galau, pusing. Sampai di rumah, “Bang, Abah, atau Ayah kita harus belanja, kita butuh ini, butuh itu, anak ini nakal, bikin ini pecahkan ini itu”.

Bukannya istri menjadi solusi, tempat pelarian suami, tempat suami melepaskan kepenatan dan kegalauannya di luar rumah, di tempat dia bekerja dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Justru ketika sampai di rumah istri adalah bagian dari masalah, melipatgandakan masalah, kegalauan suami.

Seharusnya istri bersikap bijak, move on, dia adalah tempat berlindung suami. Dia tenangkan suaminya. “Bagaimana pekerjaan hari ini?” Dilayani, dihidangkan minuman, ditepuk-tepuk, dipijat punggungnya, kemudian ditenangkan perasaannya. “Bagaimana? Jangan khawatir.”

Kemudian tenangkan perasaan, apa yang bisa saya bantu. Dengan kata, yang maa syaa Allah lembut. Sehingga ini akan semakin harmonis

Tapi ketika istri, egois, menuntut dan menuntut. Sehingga setiap ketemu dengan suami, istri hanya mengeluh, istri hanya menuntut, istri hanya mengadu, tidak menjadi pengayom. Maka rapuhlah hubungan rumah tangga itu.

Karena itu dalam ayat ini Allah katakan,

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗ ﴿النساء : ۱۲۸﴾

Istri harus bisa menata, dia realistis waktu suami semakin minim untuk dirinya, perhatian suami semakin minim untuk dirinya. Bukan karena suami tidak sayang, tetapi karena memang tanggung jawab suami semakin besar, perhatian suami semakin tercurah untuk hal-hal yang lain. Dan itu juga untuk kemaslahatan rumah tangga mereka.

Karena itu, maafkan. Lupakan sebagian hak istri. Istri harus realistis. Perhatiannya jangan lagi seperti dulu. Setiap sore, habis Ashar sampai Maghrib duduk bersama. Tidak selalu suami bisa memberikan itu.

Istri harus realistis, harus bisa beradaptasi dengan perkembangan suaminya. Tenaga suaminya juga semakin tua, semakin berkurang. Mungkin juga tanggung jawab suami semakin besar, sehingga tidak lagi porsi untuk istri itu seperti dulu ketika masih pengantin baru.

Karena itu Allah tekankan,

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗ

Sepatutnya istri itu win win solution dengan suaminya.

Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'la berikan penjelasan bahwa,

وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ

Tapi problemnya, jiwa manusia itu seringkali kikir tidak mau realistis. Manusia itu pelit, idealisme, manusia itu senantiasa menuntut “man anwahat” (meminta) tapi tidak juga bisa beradaptasi, tidak bisa memberi solusi, tidak bisa bersikap secara proporsional.

Perhatian dia minta lebih, tapi dia juga tidak memberi perhatian lebih kepada suami di saat suami memiliki tanggung jawab, pekerjaan, problem yang semakin besar.

Dia ingin seperti dulu pengantin baru, dilayani terus, seperti ketika suaminya belum memiliki banyak tanggung jawab, banyak problem, banyak ikatan. Dia ingin seperti itu.

Padahal seharusnya istri realistis. Dulu suaminya pekerjaannya masih menjadi bawahan, sekarang suami sudah menjadi pimpinan. Apa yang harus dilakukan?

Dia harus move on. Jangan memposisikan diri, suami saya masih karyawan. Padahal sekarang sudah jadi pimpinan di bidangnya atau kepala cabang atau yang lainnya. Sudah jadi RT, dulu jadi warga biasa. Tentu tanggung jawab dan pekerjaan, perhatian, pikiran suami sudah bercabang. Sehingga istri harus bisa adaptasi. Jangan ego seperti dulu harus perhatiannya.

Ini tentu biang terjadinya perseteruhan. Dan kalau itu terus dipertahankan ujung-ujungnya akan terjadi perceraian.

Wallāhu Ta'āla A'lam

Ini yang bisa kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya untuk mengantarkan kita sampai satu kondisi Baiti Jannaty. Bahwa Rumahku adalah Surgaku, itu betul-betul nyata dalam rumah tangga kita.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.