F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-87 Pembahasan Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Tidak Ditimpa Rasa Kantuk dan Tidak Pula Tidur

Audio ke-87 Pembahasan Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Tidak Ditimpa Rasa Kantuk dan Tidak Pula Tidur
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA| 19 Jumadal Ula 1444 H | 13 Desember 2022 M
🎙 Oleh: Ustadz DR. Abdullah Roy M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-87

📖 Pembahasan Bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla Tidak Ditimpa Rasa Kantuk dan Tidak Pula Tidur


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله واصحابه، ومن والاه

Anggota grup whatsup Dirasah Islamiyyah yang semoga dimuliakan oleh Allāh.

Kita lanjutkan pembahasan kitab aqidah ahlus sunnah wal jama'ah yang ditulis oleh Fadhilatu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.

Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh. Beliau rahimahullah mengatakan:

ونؤمن بأنه: لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ

Dan kami (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) beriman bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak ditimpa rasa kantuk dan Allāh tidak ditimpa oleh tidur.

لكمال حياته

Yang demikian karena sempurnanya kehidupan Allāh dan sempurnanya qayumiyyahnya Allāh. Sifat qayumiyyah, sifat berdiri sendiri. Sifat tegaknya Allāh maka ini sangat sempurna.

Di dalam ayat yang mulia ini, yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebutkan di dalam surat Al-Baqarah. Allāh Subhānahu wa Ta’āla menafi'kan dari dirinya سنة (rasa kantuk), muqadimmah dari tidur, awal dari tidurnya seseorang dimulai dari rasa ngantuk.

Maka kita beriman yaitu Ahlus Sunnah, bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak ditimpa rasa ngantuk ini. Dan Allāh Subhanahu wa Ta'ala tidak ditimpa tidur (ولانوم), artinya Allāh Subhanahu wa Ta'ala tidak tidur. Kita nafi'kan dua sifat ini dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla menafi'kan di sini, di ayat ini demikian pula ayat sebelumnya,

Para ulama menjelaskan di sini ada yang dinamakan dengan sifat salbiyah (sifat yang dinafi'kan oleh Allāh) dan ada juga yang menamakan sifat al-manfiyah (sifat yang dinafi'kan oleh Allāh).

Jadi di sana ada dua jenis sifat Allāh:
  1. Sifat Tsubutiyah
  2. Sifat Salbiyah Manfiyah
Sifat Tsubutiyah maksudnya adalah sifat yang ditetapkan oleh Allāh dan Rasul-Nya.

Allāh atau Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengabarkan tentang satu diantara sifat Allāh maka ini dinamakan dengan tsubutiyah (ditetapkan)

Sifat Salbiyah Manfiyah, sifat yang dinafi'kan oleh Allāh.

Contoh:

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
Tidak ada yang serupa dengan Allāh, berarti Allāh menafi'kan dari dirinya al-mitsliyah (Tidak ada yang serupa dengan Allāh).
Kalau yang dimaksud dalam ayat ini (لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ) yang Allāh nafi'kan adalah سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ. Rasa kantuk adalah سنة kemudian نوم adalah tidur. Allāh menafi'kan dari diri-Nya dua sifat ini.

Para ulama menjelaskan bagaimana kita menyikapi sifat Tsubutiyah dengan sifat Salbiyah?

Sifat Tsubutiyah jelas kita tetapkan bahwasanya sifat Allāh sesuai dengan keagungan-Nya.
  • Allāh memiliki tangan, kita tetapkan iya, Allāh memiliki tangan.
  • Allāh memiliki dua mata, kita tetapkan sesuai dengan keagungan-Nya.
Kalau kita menemui sifat yang Salbiyah, di sana ada kaidah. Apa kaidahnya?
  1. Kita harus menafi'kan sifat tadi dari Allāh, jika Allāh menafikan maka kita harus menafi'kan. Jika Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menafi'kan maka kita harus menafi'kan.
  2. Kita tetapkan kesempurnaan lawan dari sifat tadi. Kita tetapkan dan kita yakini kesempurnaan lawan dari sifat tadi.
Misalnya:
  • Kalau Allāh Subhānahu wa Ta’āla menafi'kan (mengingkari) dari dirinya سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ (rasa kantuk dan tidur) maka kita harus nafi'kan sifat itu dari Allāh.
  • Kemudian kita harus meyakini kesempurnaan kebalikannya. Apa kebalikan dari سِنَةٌ dan نَوْمٌ ? Kebalikannya adalah حية dan قيم. Kebalikan dari rasa kantuk dan tidur adalah kesempurnaan hidup dan kesempurnaan ketegakkan (qayumiyyah) atau berdiri sendiri.
Jadi selain kita menafi'kan rasa kantuk dan tidur dari Allāh, maka kita harus meyakini bahwa kehidupan Allāh adalah kehidupan yang sempurna. Qayumiyyah Allāh adalah qayumiyyah yang sempurna, Allāh berdiri tegak sendiri dengan sempurna.

Berbeda dengan makhluk yang mereka hidup tetapi kehidupan mereka adalah kehidupan yang tidak sempurna. Hidup diawali dengan ketidak-adaan, diiringi dengan kematian, hidup yang di sana ada rasa kantuk dan tidur.

Demikian pula mereka bisa berdiri sendiri tetapi terbatas, mereka masih butuh dengan orang lain, tidak bisa mereka hidup sendiri (mereka membutuhkan orang lain).

Misalnya dalam makanannya, pakaiannya dalam kehidupannya tidak mungkin mereka bisa hidup sendiri. Itu kita (makhluk).

Tetapi Allāh Subhānahu wa Ta’āla sempurna kehidupan-Nya dan juga qayumiyyah-Nya. Ayat ini sebelumnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ
"Allāh, tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Dia, Dialah Al-Hayyu (ٱلۡحَيُّ) Al-Qayyum (ٱلۡقَيُّومُۚ) Yang Maha Hidup dan Maha berdiri sendiri atau Maha Menegakkan yang lain.”
Dan setelahnya Allāh mengatakan:

لَا تَأۡخُذُهُۥ سِنَةٞ وَلَا نَوۡمٞۚ

Maka ini adalah kaidah, kaidah di dalam setiap sifat-sifat yang Salbiyah Manfiyah yang dinafi'kan oleh Allāh, kita nafi'kan sebagaimana Allāh atau Rasul nafi'kan, kemudian kita tetapkan kesempurnaan lawan dari sifat tadi.

Jadi tidak cukup jika kita hanya menafi'kan saja, karena kalau menafi'kan saja maka ini bukan pujian. Karena menafi'kan banyak sebabnya, terkadang seseorang tidak melakukan karena memang dia tidak mampu, terkadang seseorang tidak melakukan karena memang dia bukan tempatnya untuk melakukan hal tersebut.

Misalnya:

Ada orang yang sakit stroke, sakitnya sudah lama dan tidak sembuh. Kemudian kita katakan, "Oh, si fulan ma sya Allāh, dia tidak pernah memukul orang", maka kita katakan ini bukan pujian. Dia tidak memukul orang, karena dia tidak mampu (kondisi dia dalam keadaan sakit stroke) tangannya tidak bisa bergerak, ini bukan pujian.

Kapan merupakan pujian?

Ketika dia mempunyai kemampuan untuk memukul orang, tetapi dia bisa menahan dirinya. Orangnya sabar, ramah, padahal dia mampu untuk menzhalimi orang lain. Maka seperti ini adalah pujian.

⇒ Tidak semua penafi'an isinya adalah sebuah pujian.

Di sini kaidah yang disebutkan oleh para ulama, setiap sifat manfiyah (sifat yang dinafi'kan oleh Allāh dan juga Rasul-Nya) maka harus kita ikuti dengan menetapkan kesempurnaan kebalikan dari sifat tadi.

Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, in sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya pada waktu dan keadaan yang lebih baik.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.